65 Ekor Satwa Selundupan di Sumsel Dikembalikan ke Habitat Alaminya
Sebanyak 47 ekor satwa dilindungi dan 18 ekor satwa tidak dilindungi dikembalikan ke habitatnya di Papua, Papua Barat, dan Maluku. Satwa ini diselamatkan dari upaya penyelundupan ke pasar gelap di luar negeri.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak 47 ekor satwa dilindungi dan 18 ekor satwa tidak dilindungi dikembalikan ke habitat alaminya di Papua, Papua Barat, dan Maluku. Satwa-satwa ini diselamatkan dari upaya penyelundupan ke pasar gelap di luar negeri dari Palembang, Sumatera Selatan. Jika tidak terungkap, negara berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 1,3 miliar.
Hal ini disampaikan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan Ujang Wisnu Barata di Kargo Angkasa Pura Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Selasa (5/10/2021). Satwa yang dikembalikan itu terdiri dari tujuh jenis satwa dilindungi dan satu jenis satwa tidak dilindungi.
Satwa yang dilindungi ialah dua ekor ayam mambruk victoria (Goura victoria) dengan wilayah sebaran di Papua bagian utara, tiga ekor kasturi kepala hitam (Lorius lory) dengan wilayah sebaran di dataran rendah Papua dan Papua Niugini, dan dua ekor kakatua raja (Probosciger aterrimus) dengan wilayah sebaran di seluruh Papua.
Selain itu, 17 ekor soa payung (Chlamydosaurus kingii) dengan wilayah sebaran di Marauke-Wasur, empat ekor nuri hitam (Chalcopsitta atra) dengan wilayah sebaran Papua Barat, 13 ekor kasturi ternate (Lorius garrulus) dengan wilayah sebaran di Maluku Utara, dan enam ekor kakatua maluku (Cacatua moluccensis) dengan wilayah sebaran habitat di Maluku Selatan.
Adapun untuk satwa yang tidak dilindungi ialah 18 ekor kadal panama (Tiliqua gigas) dengan sebaran habitat di Maluku dan Papua.
Jumlah satwa yang dikembalikan ini jauh berkurang dibandingkan dengan saat pertama kali ditemukan di Jalan Soekarno-Hatta Palembang, Senin (6/9/2021), yang berjumlah 114 ekor. Hal ini disebabkan matinya 38 ekor satwa dan 11 ekor burung jenis nuri ara besar (Psittacula Rostris desmarestii) karena terjangkit flu burung.
Temuan itu didapat dari hasil pemeriksaan PCR avian influenza (PCR-AI). Sesuai prosedur, satwa yang terjangkit flu burung itu pun segera dimusnahkan. ”Jadi, yang bisa dikirim hanya 65 ekor,” kata Ujang.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PHDI) Sumsel Jafrizal, yang juga merawat satwa tersebut, menuturkan, kematian satwa ini disebabkan kondisi satwa yang stres dan juga proses pengepakan yang tidak baik oleh para penyelundup. ”Belum lagi ketika satwa ini datang, kami masih mencari-cari jenis makanan apa yang cocok,” ujarnya.
Menurut dia, hewan yang dipaksa keluar dari habitatnya pasti akan mengalami stres dan rentan terserang penyakit, salah satunya flu burung. Akibatnya, risiko kematian satwa pun tinggi. Pengembalian satwa ke habitatnya juga harus melalui sejumlah tahapan yang tidak mudah. ”Butuh waktu adaptasi 7-14 hari sebelum dilepaskan ke alam liar,” ujar Jafrizal.
Ujang menuturkan, aktivitas ilegal para penyelundup ini berpotensi merugikan negara, baik secara materiil dan immateriil. Untuk materiil, ungkap Ujang, jika satwa ini diperdagangkan di pasar lokal (dalam negeri), kerugian negara bisa mencapai Rp 300 juta.
Bayangkan saja, untuk satu ekor kakatua raja bisa dihargai hingga Rp 20 juta.
Sementara jika penyelundupan ini lolos hingga ke pasar gelap luar negeri, kerugian negara bisa tiga kali lipat lebih besar, yakni mencapai Rp 1,3 miliar. Masih tingginya penyelundupan satwa disebabkan masih adanya peminat lantaran satwa ini dianggap eksotis. ”Bayangkan saja, untuk satu ekor kakatua raja bisa dihargai hingga Rp 20 juta,” ujar Ujang.
Namun, yang tidak kalah merugikan adalah risiko punahnya satwa yang diperdagangkan. Banyak di antara satwa yang diselundupkan ini hanya bisa hidup di habitat aslinya. Karena itu, ketika satwa tersebut dibawa paksa keluar dari habitatnya, mereka akan sakit atau mati.
Dia menjelaskan, kematian satwa dilindungi ini akan sangat merugikan ekosistem. Di habitatnya saja, populasinya sudah terbatas. Jika terus diburu, jumlahnya tentu akan semakin berkurang sehingga kepunahan tinggal menunggu waktu. ”Karena itu, peran semua pihak sangat dibutuhkan untuk mengentaskan aktivitas ilegal ini,” ucap Ujang.
Kepala Subdirektorat IV Tipidter Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumsel Ajun Komisaris Besar Rahmat Sihotang mengatakan, sampai kini pihaknya terus memburu pelaku penyelundupan satwa dilindungi ini. ”Kami masih memeriksa pemilik kendaraan guna menelusuri siapa pelaku sesungguhnya,” katanya.
Penelusuran ini terus dilanjutkan mengingat ketika petugas datang, mereka hanya menemukan mobil dan satwa di pinggir jalan, sementara pelaku sudah melarikan diri. Dari kejadian ini, ungkap Rahmat, pengawasan harus ditingkatkan mengingat Sumsel sudah menjadi perlintasan bagi penyelundup untuk membawa satwa dilindungi ke pasar gelap.