Pembukaan Kebun di Pinggir TNBS Munculkan Konflik Manusia dan Harimau
Pembukaan kebun sawit oleh salah satu korporasi hampir melindas batas Taman Nasional Berbak Sembilang. Akibatnya, konflik harimau sumatera dan masyarakat di pinggir hutan itu merebak.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Sebulan terakhir, masyarakat di pinggiran Taman Nasional Berbak-Sembilang dirundung khawatir. Sejumlah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) keluar dari hutan itu dan memangsa ternak warga. Keluarnya harimau disebut-sebut karena terganggu oleh pembukaan kebun sawit baru.
Pembukaan kebun sawit oleh salah satu korporasi hampir melindas batas taman nasional gambut itu. ”Hasil pengecekan di lapangan, kami temukan pembukaannya (kebun sawit) ada yang hanya berjarak hanya 20 meter dari batas kawasan (taman nasional),” ujar Kepala Balai Taman Nasional Berbak-Sembilang (TNBS) Pratono Puroso, Senin (27/9/2021).
Terkait itu, Pratono meminta perusahaan untuk tidak membukanya berjarak minimal 500 meter dari batas taman nasional. ”Agar disediakan areal khusus HCV (high conservation value) sebagai penyangga taman nasional,” lanjutnya.
Menurut Anto, warga Desa Air Hitam Laut, Tanjung Jabung Timur, yang berada di pinggiran TNBS, harimau tampak menjelajah dalam areal yang tengah dibuka dengan alat berat perusahaan. ”Areal itu akan dibuka menjadi kebun sawit,” katanya.
Kehadiran harimau sempat tertangkap kamera ponsel warga. Tampak harimau meringkuk di balik pohon yang terletak tidak jauh dari areal yang telah diratakan alat berat.
Padahal, lanjut Anto, masyarakat selama turun-temurun tidak mau membuka areal tepi taman nasional. Sebab, warga mengetahui kawasan itu sebagai satu kesatuan dalam lanskap Berbak-Sembilang yang menjadi habitat satwa kunci, salah satunya harimau sumatera.
Apalagi, kawasan berareal gambut itu seharusnya tidak dibuka untuk perkebunan kelapa sawit karena fungsi kawasan sebagai penyerap karbon. Belum lagi, moratorium kelapa sawit masih berlaku.
Laporan yang masuk ke petugas Balai TNBS, sudah delapan sapi ternak mati dimangsa harimau. Terkait meningkatkan konflik, Pratono mengimbau agar masyarakat berhati-hati. Warga diminta tidak keluar rumah selepas sore agar menghindari ancaman serangan satwa.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi Rahmat Saleh membenarkan bahwa areal itu merupakan jalur jelajah satwa yang seharusnya tidak dibuka untuk menjadi kebun sawit. ”Satwa pasti akan terganggu kalau habitatnya dirusak. Seharusnya ini menjadi pertimbangan perusahaan sebelum membuka kebun,” ujarnya.
Padahal, kata Rahmat, ekosistem Berbak dan Sembilang merupakan habitat tersisa dataran rendah. Jika penyangganya dirusak, akan berdampak pada merebaknya konflik satwa liar dan manusia.
Jika penyangganya dirusak, akan berdampak pada merebaknya konflik satwa liar dan manusia. (Rahmat Saleh)
Dalam sejumlah kasus, pihaknya kesulitan mengatasi konflik. Sebab, biasanya konflik selalu berujung mengorbankan satwa. Pihaknya berharap ada ketegasan dari pemerintah daerah untuk menjaga habitat tersisa itu.
TNBS seluas 202.000 hektar merupakan kawasan konservasi hutan rawa gambut terluas di Asia Tenggara. TNBS sekaligus menjadi rumah bagi sejumlah spesies penting. Selain harimau, ada pula beruang, tapir, buaya muara (Crocodilus porosus), senyulong atau buaya sepit (Tomistoma schegelii), dan kura-kura gading (Orlita borneisnsis).
Kawasan itu juga merupakan ekosistem lahan basah yang kerap disinggahi burung air migran. Burung-burung tersebut biasanya muncul sepanjang Oktober hingga Februari. Hasil riset mendapati kawasan itu disinggahi 28 spesies burung air migran, mulai dari burung biru laut, burung gajahan, hingga burung cerek.