Tol Trans-Sumatera Harus Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi Baru
Pusat pertumbuhan ekonomi baru terus berkembang di Sumut dengan didukung jalan tol yang semakin baik. Saat ini sudah 112,6 kilometer tol yang beroperasi di Sumut. Di sisi lain, UMKM terpuruk akibat dampak tol.
Oleh
NIKSON SINAGA/RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru terus berkembang di Sumatera Utara lewat dukungan infrastruktur jalan tol yang semakin baik. Saat ini, sudah 112,6 kilometer tol yang beroperasi, menghubungkan Kota Medan dengan berbagai daerah. Namun, tantangan besar dihadapi usaha mikro kecil menengah di jalan arteri yang terpuruk setelah ada jalan tol.
Saat ini, ada tiga ruas tol yang beroperasi di Sumut. Ruas itu adalah Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa (Belmera) sepanjang 34 kilometer, Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi (MKTT) (61,8 kilometer), dan Medan-Binjai 16,8 kilometer.
Ketiganya sudah tersambung seluruhnya dan menghubungkan Kota Medan dengan Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Jalan tol memberikan efek berganda kepada ekonomi daerah.
”Kawasan strategis kini terhubung tol, seperti Pelabuhan Belawan, Bandara Kualanamu, Kawasan Industri Medan, dan semakin dekat ke Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei di Kabupaten Simalungun,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumatera Utara Parlindungan Purba, Sabtu (2/9/2021).
Parlindungan yakin infrastruktur yang semakin baik akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Sumut, terutama setelah pandemi usai. Ia pun meminta beberapa hal dibenahi, khususnya mempermudah perizinan dan menurunkan suku bunga bank.
Di tengah potensi pertumbuhan ekonomi, pembangunan jalan tol juga berdampak pada usaha mikro kecil menengah (UMKM), salah satunya di Pasar Bengkel, Kabupaten Serdang Bedagai. Sejak Tol MKTT beroperasi, banyak pusat oleh-oleh di jalan arteri itu terpuruk.
Di pusat oleh-oleh di Pasar Bengkel kini banyak kios yang tutup. Tidak terlihat mobil pribadi dan penumpang yang biasanya berjejer membeli oleh-oleh, khususnya dodol dan keripik.
”Kami sebelumnya punya dua toko oleh-oleh. Satu sudah tutup permanen,” kata Misniarti (45), pedagang setempat.
Sebelum Tol MKTT beroperasi, kata Misniarti, omzetnya sekitar Rp 10 juta per hari. Namun, saat ini, hanya kurang dari Rp 1 juta per hari. Apabila sebelumnya punya 12 pegawai, ia hanya memperkerjakan seorang pegawai.
Misniarti mengatakan, sejumlah pedagang sudah pernah mencoba pindah ke tempat istirahat (restarea) di Tol MKTT, tetapi penjualan mereka tidak mampu menutupi tingginya biaya sewa.
Tol Sumsel
Keberadaan tol juga meningkatkan perekonomian di Sumatera Selatan. Namun, beberapa hal masih perlu dibenahi untuk memaksimalkan manfaat tol.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sumsel Haris Jumadi mengatakan, Tol Trans-Sumatera membuat waktu tempuh lebih singkat. Apabila sebelumnya angkutan logistik Palembang-Jakarta membutuhkan waktu 36 jam, kini hanya dibutuhkan 12 jam.
Dari potensi kerawanan keamanan, tol relatif lebih bersahabat ketimbang Jalan Lintas Sumatera (JLS). Namun, masih ada pemalakan dan pemerasan membuat pengemudi enggan beristirahat di tol.
”Kami berharap tindak kejahatan di dalam tol bisa segera ditanggulangi,” kata Haris, yang juga menjabat Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia.
Haris berpendapat, bagi pengusaha, tarif tol masih belum kompetitif. Hal ini membuat JLS masih menjadi pilihan utama bagi mereka yang tidak diburu waktu.
Keberadaan tol juga membuat jalur pengiriman ke luar Sumsel meningkat hingga 40 persen dibandingkan sebelumnya. Saat ini, rata-rata pengiriman dari Pulau Jawa ke Palembang mencapai 320 ton per hari. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen di antaranya dikirim ke Jawa.
Akan tetapi, ujar Haris, masih terjadi ketimpangan saat pengiriman dari Palembang-Jawa jauh lebih sedikit dibandingkan sebaliknya. ”Kerap kali pengiriman dari Jawa ke Palembang penuh dengan barang tapi di arah sebaliknya kosong. Ini tentu menelan biaya dua kali lipat,” ujarnya.
Karena itu, Haris berharap keberadaan tol ini bisa diimbangi dengan pemerataan investasi sehingga industri manufaktur tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, dia berharap keberpihakan pemerintah terhadap warga lokal yang harus kehilangan usaha akibat keberadaan tol.
”Mereka harus diajak masuk ke dalam rest area, bukan mencari UMKM dari daerah lain,” katanya.