Antisipasi Banjir, Sungai di Kalteng Butuh Perhatian
Banjir di Kalimantan Tengah juga bisa disebabkan oleh kerusakan sungai-sungai di Kalteng. Butuh komitmen tinggi semua pihak untuk menjaga dan memperbaikinya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
POLDA KALTENG
Aparat Polda Kalteng membawa bantuan untuk korban banjir di Kalteng, Senin (6/9/2021) pagi. Belasan ribu orang terdampak banjir karena luapan air sungai.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kondisi sungai-sungai di Kalimantan Tengah kian buruk akibat banyaknya aktivitas ilegal maupun legal di sekitarnya. Hal itu dinilai menjadi salah satu penyebab banjir di Kalteng kian parah dari tahun ke tahun. Perlu komitmen bersama untuk memperbaiki dan menjaga sungai yang menjadi urat nadi masyarakat di Kalimantan Tengah.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Borneo Nature Foundation (BNF) dengan tema ”Mengenal Sungai sebagai Ibu Kehidupan Borneo” di Palangkaraya, Kamis (30/9/2021). Hadir sebagai pembicara, yakni Antropolog Dayak Marko Mahin dan Kepala Seksi Evaluasi Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (DASHL) di Balai Pengelolaan DASHL Kahayan Janatun Naim.
Banjir melanda 11 kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah lebih kurang selama satu bulan. Data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng menunjukkan, banjir merendam 482 desa dan kelurahan berikut 42.169 bangunan baik rumah maupun fasilitas publik. Sebanyak 74.163 keluarga atau 211.649 orang terdampak, sebanyak 1.164 orang diantarnya mengungsi.
Janatun Naim mengungkapkan, banyak faktor yang menjadi penyebab banjir, namun salah satu yang paling kelihatan adalah keadaan morfologi wilayah di lokasi banjir. Ia menyebutkan, banjir di Kabupaten Katingan yang setiap tahun terjadi karena adanya pasang surut air laut.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kondisi salah satu anak Sungai Kapuas, yakni Sungai Kalaman, di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Sabtu (25/1/2020). Sungai-sungai ini rusak akibat penambangan liar di sekitar sungai.
”Saat intensitas hujan tinggi lalu ketemu dengan air pasang pasti banjir dan itu akan bergilir mulai dari hulu sampai hilir, setiap tahun begitu,” kata Janatun.
Pantauan Kompas, kondisi beberapa sungai di Kalimantan Tengah memang kian buruk. Di Desa Pujon, Kotawaringin Timur, anak-anak Sungai Mentaya rusak di bagian hulu akibat aktivitas pertambangan ilegal. Para pencari emas menghisap dasar sungai hingga pasir-pasirnya terangkat. Sungai pun menjadi dangkal.
Tak hanya di Kotawaringin Timur, di Kabupaten Gunung Mas, anak-anak Sungai Kahayan pun mulai rusak karena aktivitas yang sama. Namun, tak hanya aktivitas ilegal, aktivitas seperti perkebunan sawit dan pertambangan pun menyumbang kerusakan.
Kerusakan sungai akibat aktivitas pertambangan juga terjadi pada hulu Sungai Paku di Kabupaten Barito Timur. Sementara di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, banjir berkali-kali melanda daerah itu dalam dua tahun terakhir karena hutannya dibabat untuk perkebunan sawit.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu penambang liar melintas di salah satu lubang pertambangan dekat SMPN 3 Kapuas Tengah, Desa Hurung Pukung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Sabtu (25/01/2020). Mereka sudah menambang di lokasi tersebut selama setahun belakangan.
Sementara di Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau, banjir juga terjadi karena kondisi bentang alam di wilayah itu berbentuk cekung dan merupakan kawasan gambut dalam. Wilayah tersebut memang tidak cocok menjadi permukiman.
Janatun pun tak menampik akan adanya kerusakan di bagian hulu sungai. Meskipun demikian, sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sungai.
Hal itu, misalnya, kewajiban bagi pemegang izin untuk melakukan penanaman pohon sesuai dengan luasan izin yang diberikan. Sebulan setelah izin keluar mereka sudah harus menanam pohon di kawasan sekitarnya, itu belum termasuk upaya perbaikan pascatambang.
Namun, yang utama adalah komitmen berbagai pihak untuk menjaga sungai. ”Diperlukan komitmen tinggi baik dari pemerintah, pihak swasta, juga masyarakat untuk menjaga sungai dan memperbaiki yang rusak,” kata Janatun.
Orang Dayak sendiri pun kali ini berubah, dari yang harusnya menjaga malah berkontribusi terhadap kerusakan itu sendiri. (Marko Mahin)
Dalam konteks masyarakat adat, Marko menjelaskan, pada dasarnya banjir bisa terjadi kapan saja, bahkan bisa jadi sudah terjadi pada ratusan tahun lalu. Hal itu terlihat dari bagaimana masyarakat adat membuat rumah yang tinggi dan panjang. Salah satunya untuk mengantisipasi banjir.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu penambang menggunakan alat tradisional untuk menambang emas di salah satu lubang Desa Hurung Pukung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Sabtu (25/01/2020). Penambangan itu sudah berlangsung selama setahun belakangan.
”Memang belum ada buktinya banjir terjadi ratusan tahun lalu, ya, tetapi bisa dilihat dari pola hidup masyarakat Dayak, bahwa itu adalah kejadian yang sudah lama terjadi,” ungkap Marko.
Marko menjelaskan, sungai adalah urat nadi kehidupan masyarakat Dayak. Tak hanya sebagai tempat mencari nafkah tetapi juga menjadi sarana transportasi hingga ritual adat. Kerusakan yang terjadi saat ini tentunya juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat.
”Orang Dayak sendiri pun kali ini berubah, dari yang harusnya menjaga malah berkontribusi terhadap kerusakan itu sendiri,” kata Marko.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono perlu ada evaluasi perizinan dan penegakan hukum yang masif yang mampu menjaga fungsi sungai.
”Cuaca ekstrem itu hanya pemicu, jadi bukan satu-satunya penyebab banjir. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan pertambangan legal maupun ilegal merupakan masalah utamanya,” ungkap Dimas.