Warga Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah, menggantungkan hidup dari ladang emas liar yang mereka tambang selama puluhan tahun. Tidak sepenuhnya sejahtera, kehidupan mereka justru dihantui bencana dan konflik.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·5 menit baca
Pertambangan liar di Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, berlangsung sejak tahun 1980-an. Hampir 90 persen warga di kecamatan itu menambang liar, atau minimal menyewakan tanahnya untuk ditambang secara ilegal. Sedangkan sisanya berharap pada pohon karet yang harganya jatuh bangun.
Salah satu yang paling dikenal di Kalteng adalah Desa Pujon. Di desa yang berjarak 190 kilometer dari Kota Palangkaraya ini warga desa terlihat begitu sejahtera. Sebagian besar warga punya mobil atau minimal dua sampai tiga motor dalam satu rumah.
Itom (45), Warga Desa Pujon, mengaku sudah menambang emas sejak tahun 1990. Dalam sehari ia bisa menghasilkan satu sampai dua gram emas dengan harga Rp 450.000 per gram.
”Untuk sekolah anak, beli ini-itu memang cukup. Tapi kan ada biaya operasionalnya, beli bahan bakar, uang makan, dan yang lainnya,” kata Itom Sabtu (25/1/2020).
Sekarang susah karena semua orang sudah menambang.
Saat hari menjelang petang Itom mengendarai motor menuju rumah. Ia baru saja memantau ladang tambang seluas setengah hektar miliknya. ”Saat lagi untung bisa dapat lima gram, tapi sekarang susah karena semua orang sudah menambang,” ungkap Itom.
Tak hanya di Desa Pujon, Desa Hurung Pukung di kecamatan yang sama juga demikian. Emas menjadi mata pencaharian utama warga setempat.
Kepala Desa Hurung Pukung Sinarti pun mengungkapkan, saat belum menjadi kepala desa, ia juga ikut menambang. Ia berhenti menambang setelah dirinya dipercaya warga setempat untuk menjadi pemimpin.
Meskipun demikian, ia masih menyimpan peralatan menambang. Kini, lahannya masih penuh lobang bekas tambang dan belum bisa dipulihkan atau dihijaukan kembali.
”Masih ada tanah lain yang bisa digarap untuk berkebun,” ujarnya.
Di kawasan itu, sebagian besar penambang menggunakan peralatan tradisional dan raksa atau merkuri untuk memurnikan emas. Raksa didapat dari para penadah emas. ”Kalau penadah, rata-rata itu punya toko emas. (Mekuri) Bisa dari mana saja,” ungkapnya.
Peralatan tradisional yang digunakan untuk menghisap pasir dari dasar sungai atau lubang-lubang yang berisi air dinamakan kato angkat. Lalu, ada alat kasbuk yang berfungsi untuk memisahkan air dan material yang diisap tadi. Di dalam kasbuk tersebut terdapat karpet dan di karpet itulah emas serta zirkon akan menempel.
”Untuk memisahkannya memang harus ada raksa itu,” ungkap Sinarti.
Banjir
Baik Sinarti maupun Itom menyadari bahaya yang ada di depan mata mereka. Setiap tahun kawasan itu selalu disinggahi banjir. Bahkan beberapa ruas jalan dipasang papan peringatan banjir bagi warga.
Kalau tidak kuat ya hati-hati aja hidup di sini.
Hutan-hutan sebagai penyangga air di kawasan itu hampir musnah. Selain ditebangi, hutan-hutan sekitar sudah berubah menjadi lokasi penambangan.
Selain banjir, dari data Polsek Kapuas Tengah selama tahun 2019 terdapat dua kejadian pembunuhan karena berebut lahan. Bahkan, pada tahun 2016 terdapat kasus pembunuhan sadis yang dilakukan beberapa penambang kepada salah seorang penadah karena bersiteru persoalan upah.
”Kalau tidak kuat ya hati-hati aja hidup di sini, perseteruan antar keluarga itu biasa,” ungkap Itom.
Kepala Polsek Kapuas Tengah Inspektur Satu (Iptu) Catur Winarno menjelaskan, warga memang melakukan penambangan secara ilegal. Selain menggunakan kawasan hutan, tidak ada satu pun izin pertambangan rakyat yang keluar dari pemerintah daerah.
”Ini kan sudah berlangsung lama, bagaimana mau menghentikannya. Pendekatan yang kami lakukan juga tidak bisa langsung represif, bisa hancur polsek ini diserang warga sini,” kata Catur.
Menurut Catur, setidaknya terdapat 1.000 penambang liar di kecamatan itu. Di banding personelnya yang hanya 16 orang, pihaknya kesulitan menegakkan hukum. ”Kalau sosialisasi sudah sering dilakukan, butuh kerja sama semua pihak untuk bisa menghentikan ini,” ungkapnya.
Kepala Dinas Pertambangan dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Tengah Subhan mengungkapkan, pihaknya berupaya untuk menerbitkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di lokasi tertentu. Dengan demikian, diharapkan pada masa yang akan datang tidak ada lagi lokasi pertambangan baru. Selain itu, pertambangan lebih teratur.
”Kalau dipaksa atau ditangkapi percuma juga mereka akan kembali, selain WPR harus ada solusi lain atau pendampingan penuh agar mereka bisa mencari mata pencaharian lain,” kata Subhan.
Pihak Dinas Pertambangan dan SDM Kaltim sedang mengupayakan adanya WPR dengan melakukan identifikasi di berbagai wilayah. Namun, hal itu juga butuh koordinasi dengan pemerintahan daerah untuk melakukan pemetaan lokasi yang cocok untuk WPR. Selain di Pujon, Kalteng memiliki begitu banyak lokasi penambangan liar yang berdampak buruk pada lingkungan.
Sungai rusak
Akibat penambangan emas liar yang berlangsung puluhan tahun, sedikitnya terdapat dua sungai yang rusak. Dua sungai itu merupakan anak-anak Sungai Kapuas, yakni Sungai Meliau dan Sungai Kalaman.
Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang nomor dua setelah Sungai Barito di Kalimantan Tengah. Panjangnya mencapai 600 kilometer atau seperti jarak dari DKI Jakarta ke Yogyakarta. Sungai ini memiliki begitu banyak anak-anak sungai yang melintas di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Barito Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Gunung Mas.
”Dulu semua air minum dan tempat tangkap ikan ya d Sungai Meliau dan Kalaman itu, tetapi sekarang tidak bisa lagi karena surut, sisa pasir saja,” kata Itom.
Saat Kompas melintas di sungai itu, debit airnya sangat kecil, mengalir di antara hamparan pasir-pasir putih. Menurut Itom, pasir putih tersebut sebelumnya berada di dasar sungai yang kemudian naik karena sungai terus diisap untuk menambang.
Kondisi kedua sungai tersebut sudah demikian sekitar lima sampai enam tahun lamanya. Usai ditambang sungai ditinggalkan begitu saja dan tidak bisa digunakan.
”Kalau musim kemarau ya kering, kalau musim hujan ada airnya tapi sedikit juga. Lagi pula tidak ada yang mau konsumsi air sungai lagi, kan sudah tercampur raksa,” kata Itom.
Masyarakat memang menyadari dampak buruk dari raksa atau merkuri. Meskipun demikian, dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, mereka tetap menambang. Alasan penyambung hidup menjadi yang utama meski mereka tahu hidup di ladang emas penuh petaka.