Aroma rempah tercium dari kuah masakan sega becek yang masih panas mengepul, dengan daging kambing sebagai elemen utamanya, serasa sayang untuk dilewatkan saat berkunjung ke Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Berkunjung ke Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, serasa belum lengkap jika belum menjajal kuliner khas sega becek. Masakan yang diolah dari daging kambing itu cukup menggugah selera. Selain empuk, bumbu rempahnya serasa memanjakan lidah.
Aroma rempah tercium dari kuah masakan sega becek yang masih panas mengepul. Tampilan kuah bersantan yang kaya bumbu rempah ini mengingatkan pada masakan kari atau gulai kambing, dengan cita rasa yang berbeda.
Sega becek khas Nganjuk merupakan sajian nasi dengan taburan sayuran (kol, taoge, kucai) kemudian disiram gulai kambing, tersaji bersama sate kambing dengan bumbu kacang dan sambal, serta taburan bawang merah mentah. Salah satu yang menyajikan kuliner khas ini adalah Kedai Sate Kambing dan Nasi Becek Pojok yang ada di sudut perempatan Jalan Dr Soetomo-Jalan A Yani.
”Saya generasi ketiga,” kata Rohman, pengelola kedai. Ia adalah cucu dari Jamin, yang sekitar tahun 1970 berjualan sega becek di situ.
Meski secara umum disebut sega becek, yang tersaji di kedai ini bisa jadi berbeda dari yang tersaji di kedai atau rumah makan yang lain. Di sejumlah tempat, masakan berkuah yang disiramkan bisa berupa gulai kambing, kari kambing, atau soto kambing. Dengan begitu, cita rasanya bisa berbeda-beda. Mana yang otentik, sepertinya tidak perlu banyak diperdebatkan karena yang pasti tetap nikmat dan menjadi kekayaan kuliner Nusantara.
Di kedai Rohman, kuah masakan yang disiramkan merupakan gulai kambing. Bahan dan bumbu relatif sama seperti gulai pada umumnya. Gulai kambing kedai ini lebih banyak memanfaatkan jeroan atau organ dalam hewan tersebut. Walakin, ada proses memasak yang sedikit berbeda.
”Biasanya, orang membuat gulai kambing bumbunya digongso (ditumis agak lama), tetapi kalau saya tidak. Bumbu-bumbu langsung nyemplung ke kuah rebusan,” kata Rohman.
Bagi orang yang kurang sensitif, mungkin tidak akan terasa perbedaannya antara gulai dan bumbu yang ditumis lama dan yang tidak ditumis. Yang pasti, daging kambing yang tersaji empuk dan bumbunya meresap ke dalam daging. Sayuran kol, taoge, kucai, dan irisan bawang merah mentah menambah cita rasa masakan. Daging yang disate juga empuk karena pemanggangannya atau pembakarannya yang matang dan sempurna.
Sajian penutup berupa es dawet jabung melengkapi menu sega becek. Minuman dingin dengan cita rasa manis, kecut, gurih, dan segar terasa dari perpaduan dawet, tape ketan, santan, dan gula cair ditambah es serut atau es batu.
Dawet atau cendol dari tepung beras dan atau sagu yang kenyal bercita rasa bergantung pada bahan lainnya. Ada gurih karena santan. Manis dari gula cair. Sedikit asam dan beraroma kuat dari tape ketan yang terfermentasi. Ada sedikit sepat dari dawet. Sejuk dan segar karena es meleleh.
Biasanya, orang membuat gulai kambing bumbunya digongso (ditumis agak lama), tetapi kalau saya tidak. Bumbu-bumbu langsung nyemplung ke kuah rebusan. (Rohman)
Untuk menikmati sajian ini, harganya relatif terjangkau. Seporsi sega becek dengan sate kambing lima tusuk ala Kedai Pojok harganya Rp 35.000. Kedai ini buka pukul 08.00-15.00 dan pukul 16.00-21.00.
Merunut sejarah kuliner sega becek tidaklah mudah. Referensi mengenai sega becek juga masih minim. Seperti kebanyakan kuliner di Nusantara, sulit diketahui siapa sosok yang pertama kali meracik sajian ini. Rohman bercerita, semasa sang kakek hidup di zaman kolonial, masakan ini sudah ada dan dijual ala pikulan.
Dalam buku Monggo Dipun Badhog karya Dukut Imam Widodo tentang kuliner Jawatimuran-Suroboyoan masa lalu, sega becek tidak ditemukan.
Pelaksana Tugas Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi pernah mengatakan, meski belum mengetahui jejak sejarah perjalanan sega becek, kuliner ini telah menjadi salah satu kebanggaan ”Bumi Anjuk Ladang”, julukan Nganjuk. Di Jatim, masyarakat tidak keberatan mengakui sega becek merupakan kuliner khas Nganjuk seperti halnya semanggi atau lontong balap Surabaya, pecel Madiun, sate Madura, dan bakwan (bakso) Malang.
”Ketika orang datang ke Nganjuk, semoga mereka mau mencicipi kekayaan kuliner di sini. Selain sega becek, ada juga asem-asem kambing, sate kenul, pecel bledek, dan kue dumbleg,” kata Marhaen.
Secara geografis, Nganjuk berada di Jatim bagian barat daya. Sentra bawang merah dan porang di Jatim ini wilayahnya berbatasan dengan Bojonegoro, Lamongan, Jombang, Kediri, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek.
Dalam konteks pembudayaan, menurut mendiang antropolog Ayu Sutarto dari Universitas Jember, Nganjuk berada dalam kawasan kebudayaan atau tlatah Mataraman. Di Jatim ada empat tlatah besar, yakni Mataraman, Arek, Madura (Pulau), dan Pandalungan. Ada juga enam tlatah kecil, yakni Panaragan, Osing, Tengger, Madura Bawean, Madura Kangean, dan Samin (Sedulur Sikep). Jika dilihat dari posisi geografisnya, Nganjuk selain dipengaruhi Mataraman, juga terpapar Arek (Jombang) dan Panaragan (Ponorogo).
Masakan gulai yang tersaji dalam sega becek dimungkinkan adanya pengaruh daerah di sekitar Nganjuk. Pemakaian irisan kol, taoge, dan bawang merah amat mungkin dipengaruhi unsur Mataraman dari Madiun yang terkenal dengan pecelnya.
Sega becek seolah mengambil unsur pecel, yakni irisan kol dan taoge. Irisan bawang merah bolehlah diterima sebagai kekayaan daerah sebagai sentra komoditas tersebut di Jatim. Bumbu satenya yang cenderung gurih-pedas juga lebih mendekati gaya serupa kulineran di kawasan Mataraman dan Panaragan.
Masakan gulai yang tersaji dalam sega becek dimungkinkan adanya pengaruh daerah di sekitar Nganjuk. Pemakaian irisan kol, taoge, dan bawang merah amat mungkin dipengaruhi unsur Mataraman dari Madiun yang terkenal dengan pecelnya.
Dalam aspek kesejarahan, Nganjuk adalah tempat ditemukannya sejumlah prasasti peninggalan Pu Sindok, maharaja dan pendiri Medang atau Mataram Kuno periode Jatim. Ada Prasasti Kinawe 928 Masehi, Prasasti Hering 934 Masehi, dan Prasasti Anjuk Ladang 937 Masehi.
Di antara ketiga prasasti itu, yang amat terkenal adalah Anjuk Ladang. Prasasti ini diberikan oleh Pu Sindok kepada kalangan warga ketika mereka membantu Medang menghadapi serbuan tentara dari Sumatera-Jawa.
Belum bisa diketahui apakah pada masa kerajaan itu sudah ada kuliner sega becek. Minimnya literatur membuat penelusuran sejarahnya menjadi tidak mudah. Walakin, apa pun sejarahnya, yang pasti saat berkunjung ke Nganjuk, kuliner sega becek terlalu sayang untuk dilewatkan.