Menjaring Kearifan dengan Pancing Layangan
Setengah dari hidupnya, Sadri dan rekan-rekan memenuhi kebutuhan hidup mengandalkan pancing layang-layang. Mereka mempertahankan tradisi, menggunakan metode penangkapan berkelanjutan, di tengah berbagai tantangan.
Di tengah modernisasi perikanan, tradisi menangkap ikan masih dipertahankan nelayan di Sulawesi Tenggara. Salah satunya adalah mereka yang memancing ikan dengan layang-layang. Mereka bertahan dengan mengambil secukupnya, di kondisi perairan yang kian hari kian terancam.
Di atas perahu sepanjang 4 meter, tangan Sadri (32) menjulur ke kaki kanan yang merentang. Kaki kirinya terlipat di atas geladak, serupa sedang pemanasan sebelum berolahraga. Di jempol kakinya, tali pancing memanjang hingga ke tangannya.
Gulungan tali pancing sepanjang 20 meter tergeletak di lantai perahu. Ia merapikan tali pancing yang sebentar lagi digunakan. Tepat di ujung tali pancing, umpan berbentuk cumi-cumi menggantung. Umpan dari karet bekas ini digunakan untuk menarik perhatian ikan-ikan permukaan.
Di ujung tali satunya, sebuah layangan dengan diameter sepanjang lengan tergeletak di geladak. Layangan dengan plastik berwarna biru dari plastik murahan ini diikat di bilah bambu yang telah diserut halus.
”Kalau pakai layang-layang, umpan itu akan melompat-lompat di atas air. Jadi ikan-ikan tertarik untuk makan. Kalau dalam bahasa kami di Wakatobi, disebutnya Ngalaya,” ucap bapak dua anak ini, pekan lalu, di Toronipa, Konawe, Sulawesi Tenggara. Bersama empat rekannya, mereka sedang bersiap untuk berangkat memancing ikan subuh nanti, pertengahan September lalu.
Saban pukul 03.00 dini hari, Sadri dan rekan-rekannya memacu bodi, perahu tanpa atap dengan mesin tempel, menuju sekitar perairan Labengki, Konawe Utara. Melahap pesisir utara Bumi Anoa, mereka menempuh perjalanan sekitar empat jam untuk sampai di perairan yang masih ramah ikan itu.
Saat matahari mulai menampakkan diri, di atas perahu yang mengikuti ayunan ombak, Sadri menerbangkan layang-layang buatannya. Ia mematok tinggi layang-layang setinggi pohon kelapa, atau sekitar 20 meter. Lebih tinggi dari itu, sedikit sulit dikendalikan terlebih saat angin bertiup kencang.
Ikan cakalang, dan baby tuna adalah buruannya. Ikan-ikan permukaan ini senang dengan umpan yang melompat-lompat. Jika nasib berpihak, ia bisa mendapat hingga 40 kilogram untuk dibawa pulang.
”Cukup untuk dijual penuhi kebutuhan keluarga. Kadang juga tidak dapat sama sekali. Kalau begitu, kami kadang cuma kasih terbang layang-layang, sambil cerita sama teman-teman. Biar menghibur kalau tidak ada ikan,” tuturnya cengengesan.
Sekarang pesisir banyak yang rusak. Ada yang lautnya merah, tempat lewat kapal tongkang, atau pembom ikan. Padahal kalau kami ini hanya ambil yang seadanya saja.
Memancing dengan layang-layang, telah dilakukan Sadri setengah dari hidupnya. Sejak remaja, ia diajar oleh ayahnya yang juga nelayan dengan teknik yang sama. Meski ia kini bermukim di Lengora, Konawe Kepulauan, teknik ini masih menjadi andalannya.
Ansar (31), rekannya, menambahkan, memancing dengan layang-layang tidak memerlukan banyak bahan dan biaya. Hasilnya juga dirasa cukup ketika menemukan tempat yang tepat.
Hanya saja, saat hujan deras tiba, mereka terpaksa menurunkan layangan dan memancing biasa. Belum lagi jika tidak kunjung menemukan tempat berkumpulnya ikan meski telah jauh melaut.
”Sekarang pesisir banyak yang rusak. Ada yang lautnya merah, tempat lewat kapal tongkang, atau pembom ikan. Padahal kalau kami ini hanya ambil yang seadanya saja,” katanya.
Tradisi
Hasaruddin (31), pengajar sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, menjabarkan, tradisi layang-layang melekat lama dengan kultur masyarakat di Sultra, khususnya di wilayah kepulauan. Sejak dulu, mereka telah mengenal layang-layang yang tidak hanya digunakan untuk bermain, tetapi juga membantu dalam mata pencaharian.
Sejak kecil, tutur Hasruddin, ia sering melihat nelayan memancing dengan layangan di wilayah Baubau, hingga Buton secara keseluruhan. Akan tetapi, saat itu layangan tidak menggunakan plastik, tetapi daun dari tanaman paku yang disebut katemboka.
”Daunnya lebar dan biasa ditemukan di pohon kelapa. Itu yang dulu dipakai banyak orang untuk memancing sampai 90-an. Sekarang sudah pakai plastik,” katanya.
Dalam sejarah maritim Sultra, masyarakat sangat dekat dengan tradisi menangkap ikan, termasuk layang-layang. Hal ini terus bertahan meski evolusi alat tangkap terus terjadi seiring perkembangan zaman.
Layang-layang bahkan juga digunakan masyarakat sejak dulu, baik untuk memancing atau berkebun. Di daerah Muna, dikenal layang-layang Kagati yang dibuat dari daun kalope. Bahkan, terdapat sebuah goa yang disebut goa layang-layang, atau dikenal dengan Goa Sugi Patani.
Dalam goa ini terdapat sebuah coretan yang menyerupai orang bermain layang-layang di dekat pohon kelapa. Seorang penggemar layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck datang ke goa ini melihat Coretan tersebut. Ia meyakini usia Coretan ini lebih tua dari layang-layang yang pertama kali ditemukan di China 2.400 tahun lalu.
Baca juga : Separuh Jalan Trans-Papua yang Mulai Menampakkan Bentuknya
Bieck juga diketahui menuliskan hasil kunjungannya dalam artikel berjudul ”The First Kiteman” di sebuah majalah Jerman tahun 2003. Kesaksian Bieck memang masih perlu diteliti lagi untuk membuktikan kebenarannya. Beberapa ahli arkeologi di Indonesia belum bisa memastikan apakah usia lukisan di goa itu jauh lebih tua dari temuan layang-layang di China yang berusia 2.400 tahun (Kompas, Sabtu, 18 Juni 2011).
”Memang perlu penelitian lebih lanjut terkait temuan tersebut. Apakah layang-layang Muna lebih tua dari China, mana yang duluan digunakan masyarakat katemboka atau kalope, dan lainnya,” kata Hasaruddin. ”Yang jelas, tradisi masyarakat di sini sangat dekat dengan layang-layang yang terus dipertahankan masyarakat, salah satunya dalam memancing.”
Muslim Tadjudah, pakar perikanan tangkap di Fakultas Perikanan dan Kelautan UHO, menjelaskan, memancing dengan layangan, serupa menjaga kearifan dalam menangkap ikan. Sebab, nelayan hanya menangkap ikan di permukaan, tidak merusak karang, dan tanpa penangkapan berlebih. Mereka mengambil secukupnya untuk kebutuhan harian.
Para nelayan ini, kata Muslim, juga jauh dari praktik ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur (IUU Fishing). Dengan alat tangkap yang sedikit rumit, mereka mencari ikan di pesisir dengan hasil yang secukupnya. Nelayan hanya menangkap ikan di permukaan khususnya cakalang dan tuna di mana kondisi perairan masih baik. Kedua ikan ini memang senang dengan umpan yang bergerak seperti umpan yang dipasang di layang-layang.
Pancing layang-layang sendiri merupakan bagian dari alat tangkap tradisional yang masih bertahan di wilayah Sultra. Meski belum ada yang melakukan penetian khusus terhadap sejarah alat tangkap ini, sampai sekarang masih bisa ditemukan di masyarakat di Wakatobi, Buton, dan Muna.
Di satu sisi, tradisi menangkap ini terus tergerus dan terpinggirkan. Beberapa hal yang menjadi tantangan adalah laku penangkapan berlebih, cara tangkap ilegal, sampai kondisi perairan yang rusak. Hal ini membuat nelayan dengan pancing layang-layang kesulitan untuk bertahan menangkap ikan.
Baca juga : Penanaman Karang Hias untuk Melestarikan Ekosistem Laut
Dengan kondisi perairan yang mulai rusak, ikan di pesisir semakin sulit ditemukan. Limbah tambang dan ratusan kapal tongkang yang hilir mudik membuat kondisi perairan semakin hari kian tepengaruh. Akibatnya, nelayan harus melaut jauh dan seringkali pulang dengan hasil yang kurang.
”Padahal, tradisi memancing ini merupakan cara memancing yang berkelanjutan, dan mengambil secukupnya. Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih agar tradisi ini bertahan, sekaligus membuat kondisi perairan pesisir semakin baik,” kata Muslim.
Bagi para nelayan seperti Sadri dan rekannya, mereka tentu hanya ingin mendapatkan ikan yang cukup, dengan cara menangkap ikan yang mereka tahu. Mereka terus bertahan di tengah segala tantangan dan ancaman. ”Kami tahunya menangkap ikan dengan pakai layang-layang. Pokoknya sampai tidak lagi dapat ikan, mungkin kami baru akan pindah ke alat tangkap lain,” kata mereka.