Penguatan bank sampah, reduksi sampah rumah tangga menjadi ”biodigester”, hingga penambangan TPA diharapkan bisa menjadi solusi.
Oleh
Reny Sri Ayu
·5 menit baca
Sebagai kota yang berkembang pesat, sampah jadi salah satu persoalan pelik yang dihadapi Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Di tengah geliat kota yang nyaris tanpa jeda, produksi sampah terus bertambah. Sementara di Tempat Pengolahan Akhir atau TPA Tamangapa, satu-satunya ”muara” sampah kota, timbulan sampah kian menggunung.
Di tengah matahari yang membakar, Senin (20/9/2021) siang itu, Ambo Ali (45), sibuk mengais sampah. Dari jauh, dia seolah menyatu dengan gunungan sampah yang memenuhi TPA Tamangapa. Di sebelahnya tampak tumpukan botol dan gelas plastik. Ada pula kardus, kertas, potongan besi, hingga aluminium.
Di hamparan sampah ini, Ambo tak sendiri. Ada ratusan pemulung yang seolah berlomba-lomba dengannya. Di bagian lain, truk-truk berukuran besar bolak-balik membawa sampah. Setiap kali truk datang, para pemulung menyambut. Mereka membantu menurunkan sampah dan langsung memilih yang bernilai.
”Tumpukan sampah di sini sudah terlalu banyak dan padat. Kami jadi kesulitan mengambil bagian bawah. Makanya, kalau ada sampah baru, kami langsung pilih dan pilah. Butuh tenaga lebih untuk mengambil sampah yang tertumpuk,” kata Ambo.
Rustam (38), pemulung lain, melakukan hal yang sama. Memilih dan memilah sampah baru akan dia utamakan ketimbang mengais sampah yang sudah padat tertumpuk.
TPA di Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, itu memang menjadi sumber mata pencarian bagi ratusan orang. Setiap pagi, para pemulung menyebar di gunungan sampah untuk mencari sampah yang bisa menghasilkan uang.
Dari sampah, mereka bisa mendapatkan sedikitnya Rp 100.000 per hari. Ini jika sampah yang mereka kumpulkan dijual gelondongan. Jika kuat mencari dan lebih banyak menghabiskan waktu di TPA, hasilnya lebih banyak.
”Sebenarnya jika mereka mau lebih sabar dengan benar-benar memilah sampah lebih teliti, uang yang didapatkan bisa lebih banyak lagi. Tapi, banyak yang memilih menjual gelondongan dan menunggu pengepul menjemput. Apalagi jika hari itu mereka benar-benar tak punya uang atau ada kebutuhan mendesak,” kata Makmur, Direktur Yayasan Pabbata Ummi, Makassar, Senin (20/9/2021).
Selama lebih dari 20 tahun, Yayasan Pabbata Ummi aktif memberi pendampingan kepada para pemulung di Tamangapa. Pemberdayaan pemulung dan pendidikan anak-anak mereka jadi salah satu fokus pendampingan.
”Kami mendampingi mereka untuk benar-benar memilih dan memilah sampah agar bisa lebih banyak menghasilkan uang. Toh, itu sudah jadi pekerjaan tetap. Sebagian kami latih membuat berbagai kreasi dari sampah,” kata Makmur.
Makassar pun masih berjibaku mengatasi sampah yang terus bertambah dari hari ke hari. Timbulan di Tamangapa juga kian tinggi. Mencari lahan baru pun tak bisa jadi satu-satunya solusi. Maka, mengelola sampah diharapkan membantu mereduksi aliran sampah ke TPA.
Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto, Selasa (21/9/2021), mengatakan, saat ini persoalan sampah terus diatasi dan dikelola lebih serius dari hulu ke hilir. Faktanya, beban TPA Tamangapa yang luasnya 16,8 hektar kian berat. Saat ini, timbulan sampahnya sudah hampir mencapai ketinggian 30 meter.
Kondisi ini memaksa pemerintah kota menyiapkan lahan seluas 2,3 hektar di sekitar Tamangapa walau belum digunakan. Bahkan, lahan lain juga sudah diincar dengan luasan hampir sama dengan yang ada saat ini.
Saat ini, produksi sampah Makassar sebanyak 1.000-1.300 ton per hari. Sebanyak 800-1.100 ton masuk ke TPA. Selebihnya dikelola bank sampah, mal sampah, dan berbagai lembaga yang bergerak dalam pengolahan sampah. Muara reduksi sampah ini adalah industri daur ulang. Ada pula yang dikirim ke industri di Pulau Jawa.
”Kalau bicara produksi sampah tanpa reduksi, setiap hari ada 1.100 ton sampah masuk ke TPA. Dengan kondisi seperti ini, kita butuh lahan dua kali lipat dari yang ada sekarang. Tapi, menambah luas TPA atau membuat TPA baru juga bukan solusi,” kata Ramdhan.
Dia menambahkan, dari produksi sampah ini, 57 persen adalah sampah sisa makanan dan sampah pasar. Lalu, 11 persen adalah sampah yang bisa diolah lagi, seperti plastik, kertas, besi, dan aluminium.
Ramdhan mengatakan, fakta bahwa lebih separuh sampah adalah sisa makanan membuat solusi pembakaran sampah menjadi energi juga mustahil. Butuh panas hingga lebih dari 2.000 derajat celsius dengan bahan bakar yang banyak untuk membakarnya. Biayanya tentu menjadi mahal.
Sebenarnya, lima tahun lalu, Pemkot Makassar bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait teknologi biodigester dari sampah rumah tangga. Caranya adalah mengolah sampah rumah tangga menjadi gas. Saat itu, hasil penelitian menunjukkan, sekitar 3 persen sampah rumah tangga bisa diolah jadi biodigester. Di beberapa rumah di Makassar, hal ini sudah diuji coba dan berhasil.
Hanya saja, program ini sempat terhenti saat Makassar belum memiliki wali kota definitif. Hal ini turut berimbas pada program bank sampah. Dua tahun lalu, terdapat sedikitnya 1.000 bank sampah aktif di Makassar dengan 57.000 nasabah. Jumlah ini berkurang hingga saat ini tersisa sekitar 24.000 nasabah dengan lebih dari 200 bank sampah.
Bank sampah tidak hanya jadi solusi lingkungan, tapi juga sosial dan ekonomi.
Ramdhan mengatakan, jika di kota lain pengelolaan sampah di TPA bisa selesai dengan menghitung sampah, kapasitas, dan produksi, lalu membakarnya dan dapat fee, Makassar tidak bisa karena konten sampahnya.
”Dengan kondisi seperti ini, kami akan memperkuat bank sampah. Mengembalikan seperti dulu dengan nasabah yang lebih banyak. Bank sampah tidak hanya jadi solusi lingkungan, tapi juga sosial dan ekonomi. Adapun uji coba biodigester yang pernah dilakukan akan dilanjutkan dan skalanya diperbesar,” kata Ramdhan.
Dia menambahkan, manajemen pengelolaan sampah di Makassar akan didorong agar produksi 57 persen sampah makanan bisa selesai di rumah tangga dan bank sampah. Jika perlu, pemerintah akan membantu bank sampah dengan memberi mesin pencacah sederhana untuk memproduksi sampah basah menjadi kompos.
Ramdhan mengatakan, Pemkot Makassar juga sedang menjajaki untuk menambang kembali TPA untuk memilah mana yang bisa dibakar dan mana yang bisa diambil untuk daur ulang.
Dalam hitungan yang sudah dilakukan, jika sampah bisa direduksi secara berjenjang mulai dari rumah tangga serta TPA terus ditambang, 10 tahun ke depan timbulan sampah di TPA Tamangapa bisa jauh berkurang. Ini akan membuat pemerintah tak perlu membeli lahan TPA baru. Anggaran pembelian lahan TPA bisa diinvestasikan pada pengelolaan sampah. Ini dinilai lebih menguntungkan.
”Intinya, sampah makanan bisa jadi biodigester dan kompos. Sampah plastik, kertas, besi, aluminium, dan lainnya masuk ke bank sampah. Bank sampah bisa dibina jadi UMKM, bahkan dijadikan start up. Tentu harus didukung, dibina dari hulu ke hilir. Adapun residunya dan TPA bisa jadi energi. Tentu bukan kejar listriknya, tapi solusi sampah,” kata Ramdhan.