Industri Bantu Pusat Pengumpulan Sampah Hasilkan Profit
Pemerintah telah memfasilitasi infrastruktur pengelolaan sampah dengan pembangunan TPS 3R. Demi memperkuat ekosistem tersebut, pelaku industri terjun untuk membuat TPS 3R yang memiliki nilai bisnis.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keuntungan dari pusat pengumpulan atau collection centre berperan strategis dalam menjaga kontinuitas pengelolaan sampah yang memenuhi prinsip ekonomi sirkular. Oleh sebab itu, industri pengguna kemasan terjun untuk membantu pelaku-pelaku pusat pengumpulan dalam menciptakan nilai tambah.
Menurut General Manager Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO) Zul Martini Indrawati, pemerintah telah memfasilitasi infrastruktur pengelolaan sampah dengan membangun tempat pengolahan sampah reduce, reuse, recycle (TPS 3R) hingga ke tingkat desa. ”Dari ekosistem tersebut, kami ikut mendukung pengembangan collection center menjadi bisnis yang menghasilkan profit,” katanya dalam diskusi virtual berjudul ”The Importance of Multistakeholder Partnership to Accelerate Circular Economy in IndonesiaV yang diadakan IPRO, Rabu (21/7/2021).
Dari segi sumber daya manusia, dia menilai, pelaku usaha pusat pengumpulan sampah menjadi ujung tombak karena berhadapan langsung dengan masyarakat. Oleh sebab itu, mereka perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan mengelola sampah agar dapat ditransfer ke masyarakat sekitar.
Organisasi IPRO merupakan wadah yang diinisiasi Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE) yang berdiri pada Agustus 2020. Saat ini, IPRO beranggotakan Coca-Cola Indonesia, Danone Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, Tetra Pak Indonesia, PT Unilever Indonesia Tbk, dan PT HM Sampoerna Tbk.
Dalam menggandeng mitra di lapangan, Martini mengatakan, perlu ada identifikasi komitmen yang berorientasi pada pengembangan sosial dan ekonomi dalam pengelolaan sampah. Salah satu pola kemitraan yang ditawarkan bernama Kategori A. Pada kemitraan Kategori A, IPRO akan memberikan insentif kepada agregator ataupun pendaur ulang agar dapat meningkatkan pengumpulan di atas rata-rata bisnis (business as usual).
Kemitraan Kategori B menitikberatkan pada peningkatan kapasitas pusat pengumpulan, seperti TPS 3R, sehingga terdapat program penguatan teknis, pengelolaan keuangan, hingga menaikkan tingkat kualitas produk hasil sampah. Dengan demikian, ada nilai tambah atau manfaat yang dihasilkan pusat pengumpulan tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, IPRO juga menandatangani nota kesepahaman dengan Program Rethinking Recycling Academy dari McKinsey.org, ecoBali Recycling, dan Bali PET yang berada di Bali. Bali PET menjadi mitra dalam Kategori A, sedangkan dua organisasi lainnya menjadi mitra Kategori B.
Dalam memperkuat bank sampah sebagai unit bisnis, Program Manager ecoBali Paola Cannucciari menilai, standar material yang diterima masih menjadi tantangan. Padahal, nilai ekonomi dan manfaat material yang berasal dari sampah tersebut tergantung dari kualitasnya. ”Oleh sebab itu, bank sampah induk perlu membuat jaringan bank sampah unit kecil yang memiliki sistem pengumpulan dengan kualitas barang yang konsisten. Jangan sampai barang yang dikumpulkan belum dipilih serta masih tercampur dan kotor,” katanya.
Perwakilan Rethinking Recycling Academy- McKinsey.org Dhia Fani mengatakan, organisasinya mendorong masyarakat desa mentransformasi infrastruktur pengelolaan sampah. Transformasi tersebut berupa pengaturan rute sopir penjemput, pengelolaan sampah organik, dan penjadwalan pengambilan sampah terpilah yang disepakati dengan masyarakat.
Selain itu, lanjutnya, organisasi juga menggencarkan edukasi pengelolaan sampah ke masyarakat dari rumah ke rumah. Dalam 4-5 bulan terakhir, terdapat 800-1.000 rumah yang didatangi. Penghuni rumah tersebut juga telah memilah sampah.
Sementara itu, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mendorong para pelaku ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah turut memanfaatkan layanan pembiayaan dari perbankan. ”Sejumlah lembaga pembiayaan dan perbankan telah masuk ke ekosistem ekonomi sirkular. Dengan demikian, terdapat dukungan pembiayaan, salah satunya untuk sistem pengumpulan (sampah), ujarnya.