Nikmatnya Pindang di Warung Apung Sungai Musi Palembang
Siapa pun yang datang ke Palembang belum lengkap jika belum merasakan sensasi kuliner khas di rumah makan apung yang ada di Sungai Musi. Nikmatnya pindang air tawar bakal tersaji, ditemani alunan gelombang Sungai Musi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Palembang masih mempertahankan tradisi kuliner yang berpijak pada peradaban sungai. Salah satunya tampak dalam sensasi nikmatnya pindang ikan air tawar yang dihidangkan di perahu yang berlabuh di Sungai Musi.
Tepat di waktu makan siang, Sukana (35) bersama tujuh orang saudaranya datang ke Rumah Makan Terapung “Mbok Sri” yang bersandar di tepian Sungai Musi kawasan Pasar 16 Palembang, Jumat (27/8/2021). Mereka baru saja pulang dari Lampung dan hendak kembali ke kediamannya di Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka mampir sejenak mencicipi olahan ikan air tawar di rumah makan terapung itu.
Di dalam rumah makan berukuran 7 meter x 2,5 meter itu, mereka memesan beragam hidangan yang tertera di daftar menu. Mereka memilih pindang ikan air tawar seperti ikan patin, gabus, dan toman.
Hanya butuh waktu lima menit makanan yang mereka pesan terhidang, karena sang “koki” hanya tinggal menyiramkan kuah pindang yang kaya rempah bercampur kesegaran nanas dan tomat ke atas olahan ikan yang telah direbus matang sebelumnya.
Kenikmatan pindang ikan itu terasa kian lengkap kala ditemani sebakul nasi dan sepiring lalapan segar. Tak lupa sambal terasi dan bekasam. Olahan fragmentasi ikan berwujud saus khas Palembang yang mulai sulit dicari itu sengaja disediakan Buchori (59) dan Sri (54),pasangan suami-istri pemilik rumah makan terapung, untuk melengkapi kekhasan hidangan.
Dalam waktu sekitar 30 menit, hidangan di atas meja makan ludes tersantap. “Makan di sini, serasa menikmati ikan yang baru saja dipancing dari Sungai Musi,” kata Sukana. Sensasi makan pindang di atas rumah makan apung tentu akan sulit ditemui di kota lain. Apalagi harganya cukup ramah di kantong yakni sekitar Rp 20.000-Rp 30.000 per porsi.
Warung apung itu dibuka pada 2005 setelah pemerintah Kota Palembang yang kala itu dipimpin oleh Eddy Santana, memberikan izin untuk membuka rumah makan di atas Sungai Musi. Kehadirannya diikuti tiga rumah makan terapung lainya yang juga menawarkan hidangan yang hampir sama. “Setiap rumah makan memiliki keunggulan tersendiri. Tujuannya, agar konsumen ada pilihan,” kata Buchori.
Rumah makan itu Buchori bangun untuk meneruskan usaha mertuanya yang sebelumnya membuka warung makan pindang di darat. Oleh karena itu, urusan masakan pun ditangani Sri, istrinya, yang memang sudah memiliki pengalaman memasak pindang sejak 30 tahun lalu secara turun-temurun. “Kemampuan dalam membuat pindang saya dapatkan dari orangtua,” ujar ibu empat anak ini.
Makan di sini, serasa menikmati ikan yang baru saja dipancing dari Sungai Musi. (Sukana)
Untuk modal awal, Buchori membeli perahu berbentuk rumah makan beratapkan seng seharga sekitar Rp 40 juta. Sejak awal berdiri hingga kini, Buchori telah mengganti kapal empat kali. “Karena terus diterpa air, lambat-laun pasti lapuk,“ucapnya.
Dia juga perlu menyiapkan sarana agar pelanggan nyaman masuk ke dalam rumah makan terapung nya. Dia membuat jerambah untuk memudahkan pelanggan masuk ke kapal.
“Saat itu kawasan Pasar 16 belum sebaik sekarang ini, jalannya masih tanah merah dan tentu membutuhkan perjuangan untuk bisa membuat jerambah yang kokoh,” ujar Bochori yang merupakan pensiunan dari sebuah perusahaan energi di Lahat.
Sebelum pandemi, Sri bisa merengkuh omzet sekitar Rp 4 juta per hari. “Ketika pandemi melanda Sumsel, omzet kami turun hingga 60 persen,” ujarnya. Namun dia bersyukur masih bisa berjualan. Karena tetap menjaga kekhasannya, warga tetap meluangkan waktu untuk makan di warung apung.
Selain di kawasan Pasar 16 Palembang, warung apung juga ada di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) yang berjarak hanya 500 meter dari rumah makan sebelumnya. Di sana, ada tiga unit perahu yang disulap menjadi warung apung. Adapun makanan yang dihidangkan lebih sederhana yakni beragam jenis pempek, model, tekwan, dan gorengan.
Merry (45) salah satu pemilik warung apung bercerita jika dia sudah 11 tahun berjualan di tepian Sungai Musi .“Sebelumnya saya berjualan di darat. Tetapi ketika ada tawaran dari Pemerintah Kota untuk berjualan di perahu, kesempatan itu tidak disia-siakan,” kata Merry.
Menurutnya, konsep makan di atas perahu memberikan sensasi berbeda bagi wisatawan. Prediksinya pun tepat. Sebelum pandemi, ratusan pengunjung mampir untuk menikmati beragam hidangan khas Palembang di atas perahu. Apalagi harga yang ditawarkan pun sangat terjangkau. Satu pempek dihargai Rp 1.000 per butir sedangkan makanan termahal yakni pempek kapal selam hanya Rp 10.000 per porsi.
Dari hasil berjualan itu, dia memperoleh omzet sekitar Rp 4 juta per hari, ketika akhir pekan, dia memperoleh omzet sampai Rp 5 juta per hari.
Di masa pandemi ini, meskipun jumlah pelanggan turun drastis, ia bisa bertahan. Sensasi makan di warung apung tetap dicari warga baik warga Palembang maupun dari luar Palembang.
Untuk merawat warung itu, ia mengganti perahu setidaknya empat tahun sekali. Harga satu perahu bisa mencapai Rp 125 juta per unit. “Saya berharap kondisi pandemi segera berakhir dan perekonomian kembali pulih,” ujarnya.
Kreasi warga
Penelusur Sejarah dari Universitas Sriwijaya Muhammad Ikhsan menuturkan, warung apung yang ada di Palembang merupakan ragam kreasi pelaku usaha kecil untuk memberikan daya tarik kepada wisatawan yang menginginkan sensasi berbeda dalam menikmati wisata kuliner.
Fenomena ini berkesesuaian dengan pola hidup masyarakat Palembang baik di masa Kesultanan Palembang atau kolonial Belada, yang menjadikan sungai sebagai pusat kegiatan mereka.
Sebagai daerah yang dikenal dengan julukan Kota Terapung, kehidupan masyarakat Palembang sangat dekat dengan sungai. Sebelum tahun 1930-an masih banyak warga pendatang yang hidup di atas sungai. Karena itu, banyak warga membangun rumah rakit.
Aktivitas jual-beli pun dilakukan di atas perahu. Setiap pedagang mejajakan dagangannya ke setiap rumah dengan mendayung perahunya. Sampai sekitar tahun 1970-an masih ada pasar terapung di kawasan Muara Ogan.
Namun seiring sudah pesatnya pembangunan infrastruktur di darat kebiasaan itu kian terkikis. Dengan adanya rumah makan dan warung terapung, wisatawan bisa merasakan bagaimana kehidupan warga Palembang di masa lalu.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang Isnaini Madani mengatakan, keberadaan rumah makan warung apung di Palembang memang menjadi salah satu daya tarik wisata di Palembang. Karena itu keberadaannya terus dilestarikan.
Maka, saat Kementerian Perhubungan hendak melakukan penataan tepian Sungai Musi, pemkot meminta agar keberadaan warung apung tersebut dipertahankan. Karena, wisatawan ingin merasakan bagaimana menikmati kuliner Palembang ditemani alunan gelombang Sungai Musi.