Pempek, makanan khas Palembang merupakan hasil dari akulturasi beragam budaya. Panganan berbahan utama ikan dan sagu ini diduga telah ada sejak Kedatuan Sriwijaya ada di Palembang sekitar abad ke VII masehi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Dalam sepiring pempek, aneka budaya tersaji. Panganan berbahan utama ikan dan sagu ini ditengarai telah ada di Palembang sejak Kedatuan Sriwijaya sekitar abad ke VII Masehi. Namanya terkenal karena pedangang Tionghoa bernama Apek, seratus tahun lalu, mengkomodifikasikannya. Kini pempek menjadi makanan wajib setiap hari raya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pempek Kapal Selem yang menjadi salah satu hidangan di warung Pempek 311 yang terletak di Kawasan 10 Ulu, Palembang, Kamis (11/2/2021). Pempek merupakan hasil akulturasi antara beragam budaya. Bahkan proses akulturasi sudah terjadi sejak masa Kedatuan Sriwijaya.
Tangan Happy (32) tampak cekatan mengolah adonan pempek berbahan campuran sagu, garam, air, gula, dan ikan gabus di warungnya, Kamis (11/2/2021). Warung yang diberi nama Pempek 311 itu terletak di Kawasan 10 Ulu, Palembang, di samping Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi (Soei Goeat Kiang).
Dengan celemek yang berlumuran tepung sagu, Happy membagi adonan menjadi bulatan-bulatan kecil, kemudian menekan bulatan itu dengan jari manis. Di ruang bekas jarinya itu, dituangkan cairan kuning telur, lalu ditutup. Jadilah adonan pempek telokkecik (telor kecil).
Teknik berbeda Happy terapkan ketika membuat pempek keriting. Dia menggunakan alat yang dinamakan pirikan pempek. Alat berbahan kuningan ini memiliki beberapa lubang kecil di tengahnya. Saat adonan ditekan dengan pirikan maka terbentuklah pempek keriting.
Dari satu kilogram (kg) adonan, Happy bisa menghasilkan 60 buah pempek berukuran kecil. Hasil adonan kemudian direbus dalam air mendidih.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pemilik Warung Pempek 311 di 10 Ulu, Palembang Happy (32) sedang membuat beragam jenis pempek, Kamis (11/2/2021). Pempek merupakan hasil dari akulturasi antara Melayu, Jawa, dan China. Bahkan proses akulturasi sudah terjadi sejak masa Kedatuan Sriwijaya.
Hanya butuh waktu lima menit, adonan yang awalnya tenggelam kemudian mengambang. “Itu tandanya pempek telah matang,” kata ibu tiga anak itu. Pempek dibiarkan mengambang selama dua menit, lalu ditiriskan.
Tak sulit bagi warga Palembang keturunan Tionghoa ini untuk membuat pempek. Hanya dalam waktu 2,5 jam Happy sudah mengolah 11 kg adonan yang berarti 660 pempek ukuran kecil. Ia dibantu suami, Eddy, warga Palembang keturunan Jawa Timur.
Kemampuan Happy mengolah pempek ia peroleh ketika ia duduk di kelas III sekolah dasar. “Ibu saya dulu hidupnya susah, mau tidak mau saya harus membantunya mencari uang. Salah satunya dengan membuat pempek. Namun, sekarang baru saya sadari, kemampuan ini membawa berkah,” ucap Happy.
Ibunya mendapatkan ilmu meracik pempek saat bekerja pada seorang warga Palembang pemilik warung pempek. “Orang dulu tidak pelit berbagi resep,” kisahnya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pemilik Warung Pempek 311 di 10 Ulu, Palembang Happy (32) sedang membuat pempek telor, Kamis (11/2/2021). Pempek merupakan hasil dari akulturasi antara Melayu, Jawa, dan China. Bahkan proses akulturasi sudah terjadi sejak masa Kedatuan Sriwijaya.
Setiap hari, lanjut Happy, dirinya bisa membuat 20 kilogram adonan pempek. Namun, saat pandemi, dia hanya membuat 10 kg. Pempek dijual Rp 10.000 per mangkuk untuk pempek besar seperti pempek kapal selam dan lenjer. Sedangkan pempek kecil seperti pempek adaan, kulit, pistel, atau pempek tahu dijual Rp 3.000 per buah.
Saat perayaan Imlek pesanan biasanya melonjak karena pempek sudah menjadi makanan wajib yang harus disediakan saat hari raya. Ia bisa mengabiskan 50 kg adonan pempek per hari. Demikian juga saat Natal dan Idul Fitri. Pada perayaan Idul Fitri, pesanan bisa mencapai 150 kg.
Namun karena pandemi, pesanan di hari raya pun anjlok, termasuk saat Imlek. Namun demikian ia tetap meproduksi pempek karena sudah pempek tidak bisa dilepaskan saat perayaan Imlek.
Di keluarga Siti Dewita Anggraini (27), warga Lemabang, Palembang misalnya. Keluarganya selalu menyediakan pempek saat perayaan Imlek. “Kalau tidak ada pempek tidak lengkap rasanya,” ujar Siti.
Seorang pegawai sedang menyiapkan pempek di salah satu toko pempek yang ada di sentra pempek yang berada di kawasan 26 Ilir Palembang, Rabu (30/1/2019). Penjualan pempek menurun hingga 50 persen akibat aturan kenaikan tarif kargo dan juga kebijakan bagasi berbayar.
Tak sulit untuk menyajikan pempek karena sang bunda, Roseni, mahir membuat pempek. Bagi Siti menikmati pempek sembari menyeruput sausnya yang disebut cuko, menjadi tradisi di setiap perayaan Imlek. Pempek bagai perekat keluarga ketika perayaan Imlek datang, sama halnya dengan kue keranjang dan asinan.
Pempek kemungkinan tercipta dari hasil akulturasi antara Melayu, Jawa, dan China. (Vebri Al Lintani)
Pemerhati Budaya dan Anggota Tim Pengusulan Pempek sebagai Warisan Dunia Vebri Al Lintani menuturkan, pempek kemungkinan tercipta dari hasil akulturasi antara Melayu, Jawa, dan China. “Memang pempek merupakan kreasi perempuan Palembang tetapi pasti ada pengaruh China di dalamnya,” ucapnya. Adapun nuansa Jawa didapat dari saus pempek yakni cuko yang merupakan campuran dari gula merah dan asam.
Sejak zaman Sriwijaya
Akulturasi budaya itu diduga telah muncul sejak zaman Kedatuan Sriwijaya melalui proses perdagangan, pergaulan, dan perkawinan. Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim terbuka bagi segala bangsa. Akulturasi pun terjadi.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Pedagang pempek di Pasar 26 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (3/6/2017). Pempek lahir dari pertautan budaya Melayu yang terbiasa memakan sagu dan Tionghoa yang mahir mengolah ikan. Hingga kini, pempek diterima luas dan menjadi identitas yang tak bisa dipisahkan dari Bumi Sriwijaya, Palembang.
Vebri mengatakan pempek kemungkinan terinspirasi dari masakan China. ”Saya menduga pempek bermula dari olahan sagu yang dijadikan bahan pengawet ikan tangkeleso (Scleropage formasus). Panganan itu menjadi bekal bagi pasukan Sriwijaya yang berlaga di medan perang,” tuturnya.
Bahan baku pembuat pempek seperti sagu dan ikan tersedia melimpah di Palembang. Namun belakangan ikan tangkeleso kian terbatas jumlahnya. Bahan baku pempek pun berubah menjadi ikan belida, gabus, tenggiri, dan beragam ikan lainnya.
Peneliti dari Balai Arekeologi Sumatera Selatan Sondang Martini Siregar terkait bahan baku pempek, Prasasti Talang Tuwo yang ditulis dalam aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno menuliskannya. Prasasti mengisahkan adanya sebuah taman yang dinamakan Taman Sriksetra. Taman itu dibuat pada 606 tahun Saka atau 684 Masehi, sekitar dua tahun setelah Kedatuan Sriwijaya berdiri di Palembang dipimpin oleh pendirinya, Damputa Hyang Sri Jayanasa.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Replika Prasasti Talang Tuo di Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (29/10/2019). Prasasti berisi instruksi raja untuk menanam sejumlah tanaman/pohon di Taman Sriksetra agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu tanaman itu ialah sagu. Sagu itu diyakini turut menjadi bahan baku membuat pempek di masa Sriwijaya.
Di taman itu tumbuh beragam tanaman seperti niyur (kelapa), pinam (pinang), hanau (enau/aren), rumwiya (sagu), yam kayu nimakan wuahna (kayu yang dimanakan buahnya), haur, dan wuluh pattum (bambu, buluh betung). Hal itu menunjukkan terdapat dua bahan pembuat pempek dan cuko yang berasal dari tanaman sagu dan aren ada di taman itu.
"Pohon sagu memang biasanya berada di tepi sungai. Apalagi Palembang dialiri oleh Sungai Musi dan beragam anak-anak sungai. Tentu saat itu, sagu sangat berlimpah demikian juga dengan ikannya," kata Sondang.
Sebuah makanan selalu muncul dari kreasi sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Pempek pun muncul dari campuran sagu dan ikan.
Sebelum dikenal dengan nama pempek, panganan itu dikenal dengan istilah kelesan. Dikatakan begitu karena adonan diolah dengan cara dikeles, atau pengolahan makanan dengan menggunakan alat tradisional seperti damparan (telenan) dan iseran (alat giling manual) untuk menghaluskan bahan pempek.
Kompas
Menu pempek lenjeran di rumah makan pempek Cawan Putih, Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Vebri menengarai istilah pempek baru santer terdengar sekitar tahun 1900-an. Saat itu ada seorang pedangang keturunan Tionghoa yang menjual kelesan yang akrab disapa Apek. Warga memanggilnya Pek…Pek…Apek. Lambat laun, panganan yang dijualnya pun dikenal dengan istilah pempek.
Seturut perubahan jaman, pempek pun terus berinovasi. Aneka ragam jenis pempek bermunculan seperti pempek adaan, lenjer, lenggang, panggang, telok, kapal selam, pempek kulit, pistel, dan sebagainya.
Perkembangan itu juga menunjukkan dinamika manusia di Kota Palembang. Kota yang tumbuh dengan beragam suku bangsa yang berdampingan telah memunculkan akulturasi budaya dan kreasi. “Sampai kini Palembang tetap beragam dan tidak pernah terjadi konflik antaretnis. Mereka saling melengkapi,” ujar Vebri.
Seperti tecermin dalam sepiring pempek dengan cukonya.