Rindu ”Ngirup Cuko” dan Pempek Palembang
Larangan mudik membuat banyak ”wong Pelembang” yang ada di rantau tidak bisa ”balik dusun” (pulang kampung). Mereka tidak bisa berkumpul bersama keluarga, termasuk mencicipi pempek dan ”ngirup” (meminum) ”cuko”-nya.
Larangan mudik membuat banyak wong Pelembang yang ada di rantau tidak bisa balik dusun (pulang kampung). Mereka tidak bisa berkumpul bersama keluarga, termasuk mencicipi pempek dan ngirup (meminum) cuko-nya. Pempek bukan sekadar kuliner biasa, melainkan menjadi perekat persaudaraan bagi mereka yang menikmatinya.
Bagi Mutia Muchlisah (27), sedih rasanya tidak bisa berkumpul bersama keluarga di Palembang karena adanya larangan mudik. Padahal, setiap tahun, dia selalu kembali ke kampung halaman untuk bersilaturahmi bersama keluarga dan handai tolan. ”Setiap tahun saya pulang empat sampai lima kali ke Palembang, salah satunya di hari Lebaran,” kata Mutia dihubungi dari Palembang, Minggu (9/5/2021).
Banyak sekali kenangan yang terekam ketika Lebaran datang, salah satunya menikmati pempek buatan orangtuanya di rumah. ”Makan pempek buatan Ibu menjadi kenangan yang tidak terlupakan,” kata Mutia yang berprofesi sebagai seorang dokter gigi di Tangerang.
Lahir dari keluarga Palembang, pempek seakan menjadi hidangan yang selalu menemani perjalanan hidupnya. Tidak hanya pada hari raya lebaran, hampir setiap hari, ujar Mutia, sang ibu selalu membuat pempek untuk disantap. ”Ketika di Palembang, saya selalu membawa pempek ke Tangerang untuk dimakan di rumah,” katanya.
Kini, ketika tidak bisa merayakan Lebaran di Palembang, Mutia pun meminta keluarga mengirimkan pempek dari Palembang untuk mengobati rasa rindunya pada penganan berbahan dasar ikan dan tepung tapioka itu. ”Memang ada restoran yang menjual pempek seenak di Palembang, tetapi harganya tiga kali lipat lebih mahal,” kata Mutia.
Baca juga : Mengecap Lezatnya Akulturasi Pempek Palembang
Di sisi lain, Jati Purwanti (28), warga Palembang, lebih sering menerima pesanan pempek dari teman-temannya yang tinggal di beberapa kota, seperti Majalengka, Surabaya, dan Indramayu. ”Mereka tidak bisa ke Palembang, jadi minta dikirimkan pempek,” ucap Jati yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta ini.
Menurut rekannya, memang banyak orang yang menjual pempek di tempat mereka tinggal, tetapi rasanya tidak senikmat pempek di Palembang. ”Ya, kalau mau mencoba pempek enak, harus datang ke kota asalnya,” ucap Jati bercanda.
Memesan secara daring dari sejumlah perusahaan marketplace menjadi pilihan baginya. ”Kalau dilihat dari harga, sepertinya lebih murah membeli dari toko daring daripada mengirim dari resto pempeknya langsung,” ucapnya.
Dipromosikan Presiden
Pempek memang sudah terkenal di seantero negeri. Bahkan dalam ajakannya membeli kuliner Nusantara secara daring, Presiden Joko Widodo juga mempromosikan pempek Palembang di antara beberapa kuliner Nusantara lainnya, seperti gudeg Yogyakarta, bandeng Semarang, siomay Bandung, dan bipang Ambawang dari Kalimantan.
Ketenaran pempek itu membawa berkah bagi Noviyanti (33), penjual pempek di sentra penjualan pempek di Jalan Mujahidin, Pasar 26 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang. Dia mengaku Idul Fitri menjadi salah satu momen untuk memanen rezeki. Sebelum pandemi, biasanya Noviyanti bisa menjual 60-80 kilogram adonan pempek setiap harinya.
Satu kilogram adonan bisa untuk membuat 100-130 pempek. Satu pempek dijual dengan harga Rp 800. ”Biasanya banyak wisatawan yang datang menjadikan pempek sebagai oleh-oleh atau untuk persiapan Lebaran,” ucapnya. Pembelinya tidak hanya warga Palembang, tetapi dari luar kota, mulai dari Jambi, Lampung, Jakarta, hingga Padang.
”Namun, karena ada larangan mudik, kali ini kami hanya mengandalkan konsumsen lokal,” kata Novy yang sudah empat tahun berjualan pempek di lokasi tersebut.
Hal serupa juga dirasakan oleh Agus Amiruddin (34), pemilik Resto Pempek Mang Din 679 yang terletak di Jalan Radial, Palembang. Dia mengatakan, pemesanan pempek baik daring maupun pembelian secara langsung tidak seramai masa Lebaran sebelum pandemi. Pada Lebaran tahun ini, penjualan pempek hanya sekitar 20 kg per hari.
Jumlah itu jauh dibandingkan sebelum pandemi saat dirinya bisa menjual hingga 50 kg adonan pempek. Walau demikian, ujar Agus, kondisi ini lebih baik dibandingkan hari lebaran tahun 2020. Saat itu, dia tidak bisa menjual lebih banyak pempek karenasaat itu Palembang sedang dalam pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca juga : Pempek Palembang Menolak Tenggelam
Kebanyakan dari pemesan adalah mereka yang merupakan reseller di beberapa kota, seperti Lampung, Bandung, Yogyakarta, Bekasi, dan Muara Enim. ”Di sini menjadi pilihan karena bahan bakunya dari ikan gabus sungai,” kata Agus.
Untuk menjaga kualitas agar pempek tidak basi dalam perjalanan, dia sudah menggunakan sistem vakum untuk mengemas pempeknya. ”Jika langsung disimpan di lemari beku, pempek ini bisa bertahan hingga beberapa minggu bahkan sampai satu bulan,” ujar Agus.
Jimmy Devaten dari Humas Asosiasi Pengusaha Pempek Palembang (Asppek) menuturkan, pempek seolah menjadi penganan pemersatu warga Palembang. Tidak hanya di hari Lebaran, di perayaan lainnya pun pempek menjadi hidangan utama, bahkan lebih sering diincar dibandingkan penganan pendamping. ”Bagi warga Palembang, pempek adalah hidangan utama,” katanya.
Hal ini terbukti, di setiap hari raya tiba, pemesanan pempek Palembang naik signifikan. ”Walau memang di masa pandemi pemesanan jauh berkurang,” ucapnya. Sebelum pandemi, biasanya produksi pempek di Palembang mencapai 36 ton per hari. Dari jumlah itu sekitar 16 ton yang dikirim ke luar Palembang. Namun, di masa pandemi, jumlahnya jauh berkurang. ”Sekarang rata-rata produksi pempek sekitar 12 ton per hari dengan pengiriman ke luar kota Palembang hanya 2-5 ton per hari,” katanya.
Ini terjadi karena pembatasan kegiatan tidak hanya berlaku di Palembang, tetapi juga beberapa kota lain. Pempek Palembang pun mulai tersohor ketika perhelatan SEA Games ke-26 pada 2011 lalu di Palembang. ”Saat itu, beragam restoran yang menjadikan pempek sebagai produk utamanya mulai menjamur,” ucapnya. Kondisi itu terus berkembang hingga puncaknya terjadi pada perhelatan Asian Games ke-18 pada tahun 2018, kala Palembang menjadi tuan rumah bersama Jakarta.
Hasil akulturasi
Peneliti dari Balai Arekeologi Sumatera Selatan, Sondang Martini Siregar, menduga cikal bakal pempek sudah ada ketika zaman Kedatuan Sriwijaya di abad VII. Dia mengaitkannya dengan bahan baku pempek yang tertera dalam Prasasti Talang Tuwo yang ditulis dalam aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno.
Prasasti Talang Tuwo mengisahkan adanya sebuah taman yang dinamakan Taman Sriksetra. Taman itu dibuat pada 606 tahun Saka atau 684 Masehi, sekitar dua tahun setelah Kedatuan Sriwijaya berdiri di Palembang dipimpin oleh pendirinya, Damputa Hyang Sri Jayanasa.
Di dalam prasasti itu tertulis niyur (kelapa), pinam (pinang), hanau (enau/aren), rumwiya (sagu), yam kayu nimakan wuahna (kayu yang dimanakan buahnya), haur, dan wuluh pattum (bambu, buluh betung). Dari antara beragam tanaman itu terdapat dua bahan pembuat pempek dan cuko yang berasal dari tanaman sagu dan aren di taman itu.
”Pohon sagu memang biasanya tumbuh di tepi sungai. Apalagi, Palembang dialiri oleh Sungai Musi dan beragam anak-anak sungai. Tentu saat itu sagu sangat berlimpah, demikian juga dengan ikannya," kata Sondang.
Anggota Tim Pengusulan Pempek sebagai Warisan Dunia, Vebri Al Lintani, menuturkan, sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya terbuka terhadap kedatangan segala bangsa. Dari sanalah akulturasi terbangun, mulai dari perdagangan, pergaulan, hingga kawin-mawin.
Sementara Vebri menduga, pempek merupakan hasil akulturasi antara Melayu, Jawa, dan China. Dimulai dari kreasi tentara Sriwijaya yang menjadikan sagu sebagai pengawet ikan tangkeleso (Scleropage formasus), kemudian terus berkembang menjadi pempek dengan beragam varian berbahan dasar sejumlah ikan. ”Namun, pempek hadir dari kreasi dapur para perempuan Palembang,” ucapnya. Adapun unsur Jawa terlihat dari cuko (saus pempek) yang terbuat dari asam dan gula aren.
”Tidak ada masakan di Sumatera yang menggunakan gula jawa sebagai bahan baku. Hanya di cuko pempek saja,” ucap Vebri. Pempek dan cuko-nya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tak lengkap rasanya jika pempek tidak dipadankan dengan cuko.
Seiring perkembangan zaman, ujar Vebri, pempek terus bekembang. Mulai dari namanya yang awalnya bernama kelesan menjadi pempek. Nama itu muncul dari keberadaan seorang pedagang keturunan Tionghoa yang menjajakan kelesan bernama Apek. ”Ketika konsumen ingin membeli kelesan, mereka akan memanggil ’Apek… Pek… Pek’. Dan kelesan pun menjadi pempek,” ucap Vebri.
Ikannya pun berubah dari semula tengkeleso menjadi belida. Oleh karena keberadaannya yang semakin menyusut, bahan baku pempek pun berubah menjadi kakap, gabus, dan tenggiri. Bentuk pempek pun mulai dari pempek adaan, lenjer, pempek telok, pempek kulit, panggang, lenggang, dan beragam pempek lain.
”Ketika Lebaran datang, pempek ini selalu ada di hampir setiap rumah tangga, bahkan mengalahkan pamor dari ketupat,” katanya. Tak heran, pempek selalu dirindukan, tentu bersama cuko-nya. (RHAMA PURNA JATI)