12 ABK Indonesia yang Diselamatkan dari Somalia Kesulitan Pulang Kampung
Sebanyak 12 awak kapal perikanan Indonesia yang dipulangkan ke Jakarta setelah delapan bulan telantar di perairan Somalia tidak bisa pulang ke kampung halaman akibat kekurangan dana.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 12 awak kapal perikanan Indonesia, tiga di antaranya dari Sulawesi Utara, yang dipulangkan ke Jakarta setelah delapan bulan telantar di perairan Somalia, tidak bisa pulang ke kampung halaman akibat kekurangan dana. Sebagian hak-hak mereka belum dipenuhi operator kapal China tempat mereka bekerja.
Dihubungi dari Manado, Kamis (9/9/2021), Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) M Abdi Suhufan mengatakan, saat ini ke-12 ABK itu kesulitan pulang ke kampung halaman masing-masing karena kekurangan biaya. Perusahaan agen pemberi kerja tidak memenuhi hak-hak mereka.
Ada tiga perusahaan yang mengirim mereka, yaitu PT Gigar Marine International, PT Raja Crew Atlantik, dan PT Novarica Agatha Mandiri. Pada Juni lalu, PT Raja Crew Atlantik dan PT Novarica Agatha Mandiri dilaporkan sedang menjalani proses hukum di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Sebagian ABK mengantongi kontrak kerja selama setahun sehingga seharusnya menerima bersih 2.900 dollar AS (Rp 41,4 juta) setelah dipotong biaya proses dokumen. Adapun yang dikontrak dua tahun seharusnya menerima 6.760 dollar AS (Rp 96,58 juta). ”Tetapi perusahaan mereka, kan, kabarnya sekarang sudah bubar,” kata Abdi.
Brando Brayend Tewuh, salah satu anak buah kapal (ABK) perikanan itu, mengatakan, mereka mendarat di Jakarta pada 28 Agustus lalu. Pria asal Tompaso, Minahasa, itu sekarang masih menjalani pemeriksaan di Badan Reserse Kriminal Polri.
Sekalipun pulang dengan selamat, tiga dari 12 ABK yang dipulangkan sedang sakit beri-beri karena kekurangan vitamin. Dua orang mengalami pembengkakan di kaki, sedangkan satu orang lagi disebut harus terus berbaring akibat sakit parah.
Kini, DFW dan dua organisasi lain, Environmental Justice Foundation (EJF) dan International Justice Mission (IJM), meminta Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI), Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk memfasilitasi pembayaran sisa gaji, bonus, serta asuransi para ABK, termasuk yang meninggal. Di samping itu, BP2MI diharapkan memeriksa tiga agen penyalur awak kapal yang memberangkatkan para ABK itu.
Ketiga organisasi juga menilai perusahaan-perusahaan itu terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pemerintah wajib mengecek daftar nama ABK yang disalurkan agen yang kini tak lagi beroperasi untuk memastikan mereka tidak berada dalam situasi serupa.
Sementara itu, Kepala BP2MI Manado Hendra Makalalag belum mengetahui adanya ABK asal Sulut yang baru saja dipulangkan dari Somalia, negara di wilayah Tanduk Afrika. ”Seksi Perlindungan masih berkoordinasi dengan kantor pusat, tetapi sampai sekarang belum ada informasi,” kata dia.
Menurut Abdi, beberapa kasus perbudakan ABK tak jarang melibatkan perusahaan asal China. Hal ini disebabkan perusahaan operator kapal perikanan asal China menetapkan syarat yang rendah dalam perekrutan ABK yang kerap dilakukan di bawah tangan.
Mereka bertugas membantu para calon ABK mengidentifikasi indikator kerja paksa yang sering kali diabaikan para ABK.
”Tidak banyak syarat seperti ijazah, yang penting kuat kerja. Akhirnya, banyak ABK yang tergiur karena bayaran dollar. Jadi mereka berangkat, tetapi tidak tercatat sebagai pekerja migran,” kata Abdi.
Untuk mencegah hal-hal serupa terjadi, DFW kini bekerja sama dengan Fishers Center Bitung untuk menunjuk dan melatih kader perlindungan ABK di tingkat kelurahan. Mereka bertugas membantu para calon ABK mengidentifikasi indikator kerja paksa yang sering kali diabaikan para ABK.
La Ode Hardiani, pengelola Fishers Center Bitung, mengatakan, para kader ini tersebar di tiga kelurahan di Bitung yang warganya banyak menjadi ABK perikanan. Para kader ini juga bertugas memberitahukan kepada Fishers Center jika ABK dari wilayahnya ada yang mengalami perbudakan.
Biasanya, keluarga adalah pihak pertama yang dihubungi para ABK yang mengalami pelanggaran HAM di kapal. ”Nantinya kami akan membantu menyampaikan laporan tersebut kepada pemerintah,” ujar Hardiani.
Tidak manusiawi
Ke-12 ABK tersebut dievakuasi pada 22 Agustus lalu dari kapal perikanan berbendera China, Liao Dong Yu 535, milik operator kapal Liaoning Daping Fishery Group Co Ltd. Kapal itu terombang-ambing sekitar 2 mil laut dari Negara Bagian Puntland, Somalia. Tepat sebulan sebelumnya, Brando melaporkan keberadaan mereka kepada Fishers Center Bitung.
Mulanya, ada 15 ABK asal Indonesia yang bekerja di empat kapal China berbeda. Mereka mendapatkan pekerjaan itu dari tiga perusahaan agen awak kapal, yaitu PT Gigar Marine International, PT Raja Crew Atlantik, dan PT Novarica Agatha Mandiri. Sebagian mengantongi kontrak selama setahun sejak Desember 2019, sebagian lagi dua tahun.
Pada April 2020, tiba-tiba mereka dipindahkan secara sepihak ke empat kapal yang masih satu armada dengan Liao Dong Yu, yaitu Liao Dong Yu 571, 572, 575, dan 577. Menurut laporan DFW, EJF, dan IJM, kapal-kapal pukat itu diduga terlibat penangkapan ilegal di zona ekonomi eksklusif Somalia.
Di kapal-kapal itu, para ABK Indonesia diperlakukan secara tidak manusiawi dan dipekerjakan paksa hingga melewati masa kontrak yang berakhir pada Desember 2020. Ketika ABK meminta dipulangkan, kapten kapal malah memukul dan menendang mereka, serta tidak memberi mereka makan. Ketika bekerja pun, mereka tidak diberi sarung tangan sebagai alat pelindung diri.
Laporan DFW, EJF, dan IJM juga menyebut para ABK hanya diberi makan bubur dan ikan teri. Untuk memenuhi kebutuhan gizi, mereka kerap harus membeli sayuran atau ikan dengan uang sendiri. Celakanya, hak upah 50 dollar AS (Rp 714.375) per bulan yang seharusnya diberikan tunai setiap bulan tidak ditepati kapten kapal.
Hal ini pula yang menyebabkan tiga ABK jatuh sakit beri-beri. Adapun air minum yang disediakan hanyalah air keran yang belum disaring. Brando dan kawan-kawannya pun kerap harus membeli air mineral kemasan sendiri.
Kondisi kerja yang jauh dari layak itu juga menyebabkan dua ABK di Liao Dong Yu 571 meninggal akibat tersapu pintu kapal yang terlepas ketika badai. Salah satu korban jatuh ke laut dan hilang, sedangkan satu lagi meninggal, kemudian dikuburkan di Somalia.
Dalam tiga kloter, para ABK itu dikumpulkan di Liao Dong Yu 535, yaitu pada 1 Juni, 5 Agustus, dan terakhir pada hari kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, 17 Agustus. Saat itu, sukarelawan organisasi masyarakat di Somalia sedang menegosiasikan kepulangan mereka dengan kapten kapal.
Namun, karena tidak tahan dengan kondisi kerja, empat orang ABK nekat melompat ke laut untuk berenang. Namun, mereka gagal sampai ke daratan setelah 4-6 jam berenang. Akibatnya, satu orang ABK hilang dan diasumsikan tewas, sedangkan tiga lainnya berhasil diangkat kembali ke kapal.
Akhirnya, 12 ABK yang tersisa bisa dibawa ke daratan setelah sukarelawan Somalia berkoordinasi dengan Konsulat Indonesia di Somalia serta Kedutaan Besar Republik Indonesia di Nairobi, Kenya.