Kisah Reynalfi (22) menggambarkan kejahatan kemanusiaan yang dialami pekerja migran Indonesia di kapal. Tujuh bulan tidak digaji, makan nasi sekali sehari, minum air asin, disiksa, hingga akhirnya melompat ke laut.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kisah Reynalfi Sianturi (22) menggambarkan kejahatan kemanusiaan yang dialami pekerja migran Indonesia yang bekerja di kapal. Dijanjikan bekerja di pabrik tekstil di Korea Selatan, ia akhirnya menjadi korban perdagangan orang dan perbudakan di sebuah kapal tangkap ikan berbendera China. Tujuh bulan tidak digaji, makan nasi sekali sehari, minum air asin, disiksa, hingga akhirnya melarikan diri dengan melompat ke laut.
”Berbulan-bulan kami disiksa di atas kapal, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun,” kata Reynalfi ketika dihubungi Kompas, Sabtu (19/9/2020).
Reynalfi, warga Pematangsiantar, Sumut, itu mengatakan, ia awalnya tergiur dengan tawaran temannya yang mengajaknya bekerja di pabrik tekstil di Korea. Ia pun dijanjikan pendapatan Rp 25 juta per bulan. ”Saya pun langsung mau karena ketika itu saya hanya bekerja serabutan. Saya ingin mengubah nasib keluarga,” katanya.
Reynalfi pun diminta melengkapi sejumlah dokumen, seperti KTP, kartu keluarga, dan sejumlah surat keterangan dari pemerintah dan kepolisian. Penyalur tenaga kerja juga meminta uang Rp 45 juta darinya. ”Kata penyalurnya waktu itu untuk biaya keberangkatan, pelatihan, mengurus paspor, dan dokumen lainnya,” ujar Reynalfi.
Ia pun berangkat ke Jakarta. Setelah mereka mendapat paspor, mereka pun langsung diterbangkan ke Singapura pada akhir 2019. Mereka kemudian diminta naik ke kapal laut dan di tengah laut diminta pindah ke kapal tangkap ikan berbendera China, Lu Qing Yuan Yu 901.
Reynalfi bersama WNI lainnya mempertanyakan kenapa tidak dibawa ke pabrik tekstil di Korea. ”Namun, tidak ada yang menanggapi. Kami hanya diberi baju pekerja dan diminta langsung bekerja di kapal,” kata Reynalfi.
Selain Reynalfi, di sana juga ada 12 WNI lainnya yang datang dari sejumlah daerah. ”Kami bekerja sepanjang hari. Hanya istirahat sekitar 4 jam dalam sehari,” kata Reynalfi.
Menurut Reynalfi, telepon seluler mereka langsung disita setelah berada di kapal. Mereka pun dilarang berkomunikasi dengan sesama pekerja migran Indonesia. Jika ketahuan berkomunikasi, mereka langsung ditendang. Di kapal itu total ada sekitar 31 kru. ”Mereka lebih banyak dan orangnya besar-besar sehingga kami tidak berani melawan,” katanya.
Reynalfi mengatakan, sering sekali mereka juga hanya makan nasi satu kali satu hari dan diberi air minum yang asin. Setelah bekerja beberapa bulan, mereka juga tidak diberikan gaji sedikit pun. ”Kami tidak tahan, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Reynalfi.
Mereka pun berencana untuk berhenti bekerja setelah kapal bersandar. Namun, ternyata kapal itu terus beroperasi. Setelah ikan penuh, kapal yang lain datang membawa ikan itu ke darat.
Reynalfi bersama Andri Juniansyah (30), PMI asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pun berencana melarikan diri dengan melompat ke laut. ”Lebih baik kami mati di laut daripada mati disiksa di kapal,” katanya.
Mereka mengajak WNI lain, tetapi tidak ada yang berani. Reynaldi pun diam-diam mengambil jaket pelampung, senter, dan peluit. Ketika mereka memperkirakan telah dekat dengan perairan Indonesia, Reynalfi dan Andri pun melompat ke laut, 7 Juni lalu.
Mereka pun sempat terombang-ambing selama tujuh jam di laut Selat Malaka di Kepulauan Riau hingga akhirnya ditemukan seorang nelayan Indonesia. Mereka dibawa ke darat dan diantarkan ke Kepolisian Resor Karimun.
Sugiarti, orangtua Reynalfi, mengatakan, saat pertama kali hendak berangkat bekerja, semua keluarga mendukung Reynalfi agar bisa mengubah nasib keluarganya. Mereka pun mengumpulkan uang Rp 45 juta untuk diserahkan ke penyalur tenaga kerja yang merekrut mereka.
”Setelah berangkat dari Jakarta, kami tidak bisa lagi menghubunginya hingga tujuh bulan kemudian kami mendapat kabar dia lompat dari kapal,” kata Sugiarti.
Sugiarti mengatakan, mereka mulai bertanya-tanya mengapa anaknya tidak bisa dihubungi, padahal anaknya bekerja di pabrik tekstil. Mereka juga menunggu kiriman uang dari Reynalfi untuk menutupi utang biaya keberangkatannya.
”Ternyata kami ditipu. Tidak sedikit pun Reynalfi mendapat uang. Dia hanya mendapat penyiksaan,” kata Sugiarti.
Keluarganya pun tetap bersyukur Reynalfi akhirnya bisa melarikan diri dari perbudakan dan penyiksaan di kapal ikan itu. Reynalfi pun kini mencoba menyambung hidup dengan berjualan mi di Kecamatan Pardagangan, Kabupaten Simalungun.
Polisi telah menyelidiki kasus penyaluran tenaga kerja dan perbudakan di kapal itu. Atas penyelidikan Bareskrim Polri, Polda Kepulauan Riau, dan Polres Karimun, sejumlah penyalur tenaga kerja ditangkap polisi dan dijerat dengan tindak pidana perdagangan orang.