Hentikan Pembangunan Permukiman di Setiap Bantaran Sungai di NTT
Pemprov dan pemkab/pemkot se-Nusa Tenggara Timur sebaiknya menghentikan setiap upaya masyarakat membangun permukiman di sepanjang bantaran sungai.
KUPANG, KOMPAS — Pemprov dan pemkab/pemkot se-Nusa Tenggara Timur sebaiknya menghentikan setiap upaya masyarakat membangun permukiman di sepanjang bantaran sungai. Sejumlah kasus bencana longsor dan banjir bandang di sejumlah wilayah NTT selama ini berawal dari kerusakan lingkungan di bagian hulu sungai dan sepanjang bantaran sungai.
Perubahan iklim yang semakin tak menentu saat ini mendorong pemangku kebijakan di NTT untuk bertindak lebih bijaksana. Setiap proyek pembangunan di sepanjang bantaran sungai dan aktivitas masyarakat apa pun sebaiknya ditiadakan.
Koordinator Dewan Nasional Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Aleta Baun, di Kupang, Selasa (7/9/2021), mengatakan, kasus banjir bandang melanda warga di bawah kaki Gunung Inerie, Jumat (3/9/2021), di Kabupaten Ngada; Desa Boru, Kabupaten Flores Timur; dan sejumlah desa di Kecamatan Ile Ape Lembata; sebagai peringatan bagi pemda se-NTT. Perubahan iklim saat ini sulit diprediksi, kapan saja bisa terjadi bencana longsor dan banjir bandang.
Baca juga: Badai Seroja, Potensinya Sudah diperingatkan, Tidak Diantisipasi
”Pemprov, pemkab, dan pemkot segera mengingatkan warga agar menghentikan setiap pembangunan permukiman di setiap bantaran sungai, dan ngarai, apalagi di dekat kaki gunung, seperti Inerie, Gunung Lewotobi di Boru Flores Timur, dan Gunung Ile Lewotolok di Lembata. Banjir bandang pada 3 September 2021 itu terjadi di lereng gunung,” kata Aleta.
Banjir bandang di bawah kaki Gunung Inerie menyebabkan dua orang meninggal, satu orang hilang, dan satu korban patah kaki serta puluhan rumah dan isinya tertimbun longsoran. Sementara di Desa Boro, Kecamatan Wulanggitang, sekitar 25 unit rumah tertimbun air banjir, tidak ada korban jiwa. Demikian pula di Kecamatan Ile Ape, Lembata, puluhan rumah tergenang air banjir dari Gunung Ile Lewotolok.
Longsor dan banjir di sepanjang bantaran Sungai Liliba, Kota Kupang, saat badai Seroja tiba, 3-5 April 2021, juga menewaskan enam orang, dan puluhan lain luka-luka. Warga membangun rumah di sepanjang bibir sungai itu tanpa memperhitungkan dampak yang akan muncul seperti longsor dan banjir.
Pemenang Goldman Environmental Prize tahun 2013 ini menegaskan, tahun-tahun sebelumnya tidak pernah ada kejadian banjir dan longsor pada puncak kemarau seperti sekarang. Perubahan iklim saat ini membuat semua perkiraan dan perhitungan manusia menjadi meleset jauh.
”Kejadian longsor dan banjir di NTT biasanya pada musim hujan, yakni Desember-Maret, bukan bulan September. Juli-November itu merupakan puncak kemarau ekstrem di NTT,” katanya.
Baca juga: Hari Kedua Pencarian, Satu Korban Banjir Bandang di Ngada Belum Ditemukan
Aleta juga mengkritisi tidak adanya anggaran untuk rehabilitasi dan reboisasi kawasan hutan di hampir setiap tahun, sementara anggaran untuk menanggulangi bencana alam cukup banyak tersedia. Bencana tidak hanya menyangkut lingkungan, tetapi selama ini mayoritas bencana di NTT berupa banjir, longsor, dan hama tanaman.
Kasus kebakaran di setiap lereng gunung, kawasan hutan lindung, taman nasional, dan hutan adat sudah sulit dikendalikan. Hampir setiap hari BMKG NTT merilis terjadi titik api di sejumlah wilayah NTT, tetapi hal itu membuat pemda bergeming. Pemda menganggap informasi dari BMKG itu merupakan bagian dari pekerjaan para staf BMKG sehingga tidak perlu diwaspadai atau diperhatikan.
Kejadian longsor dan banjir di NTT biasanya pada musim hujan, yakni Desember-Maret, bukan bulan September. Juli-November itu merupakan puncak kemarau ekstrem di NTT.
Pendiri Yayasan Oat Timor ini mencontohkan kasus badai Seroja pada 3-5 April 2021 atau letusan Gunung Ile Lewotolok pada 29 November 2020. Pihak BMKG sudah memberi peringatan melalui rilis informasi BMKG yang dibagikan kepada masyarakat, termasuk pemda, tetapi tidak mendapatkan respons cepat.
Sampai dengan akhir Agustus 2021 tercatat 1.025 titik panas di NTT. Jika satu titik panas memiliki luas wilayah 100 hektar, ada sekitar 102.500 hektar areal yang diduga terbakar. Kasus kebakaran ini sebagian besar terjadi di Sumba Timur, Sumba Tengah, Kabupaten Kupang, Lembata, dan Kabupaten Belu.
Wilayah NTT sebagian besar dipadati padang sabana, seperti di Pulau Timor dan Sumba. Kebakaran di dua pulau ini tidak pernah berhenti. Pembukaan lahan pertanian baru dengan sistem tebas dan bakar, dan mendapatkan pakan ternak hijau setelah kebakaran menjadi penyebab utama kebakaran. Usai itu bekas lahan yang terbakar tidak pernah diolah menjadi ladang jagung atau jenis tanaman lain. Juga setelah kebakaran, rumput hijau yang dimaksud tidak pernah tumbuh.
”Dua alasan klasik ini selalu dijadikan tameng dari pemda untuk tidak mau peduli terhadap lingkungan. Mereka juga tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak membakar hutan atau lahan pertanian karena berdampak sangat buruk bagi lingkungan,” kata Aleta.
Baca juga: Sebaran Titik Panas Meluas di Nusa Tenggara Timur
Kepala Bagian Organisasi Tata Pemerintahan Kabupaten Ngada Wily Adjo mengatakan, banjir bandang di lereng gunung Inerie antara lain karena perusakan hutan, penebangan liar, dan pembakaran. Kasus penggundulan hutan di sekitar kawasan Inerie ini sudah berlangsung sekitar 20 tahun terakhir.
Jumlah penduduk makin banyak mendorong pembukaan permukiman dan lahan perkebunan baru. Sejumlah kawasan hutan yang sebelumnya masuk kategori hutan lindung, taman nasional, dan hutan lindung digerogoti warga dengan membuka lahan pertanian dan permukiman, serta pemeliharaan ternak.
”Masyarakat sering percaya pada kekuatan-kekuatan gaib, seperti terjadi sambaran kilat dan manusia terbang dari langit saat terjadi banjir bandang di kaki Gunung Inerie. Mereka lalu membuat adat, menenangkan kemarahan leluhur, tetapi tidak berusaha melakukan penghijauan dan merawat hutan di sekitar kawasan gunung,” kata Adjo.
Anggota DPRD NTT, Viktor Mado, mengatakan, NTT bakal terus mengalami bencana pada masa yang akan datang. Apa yang dilakukan hari ini, seperti kebakaran hutan, penebangan liar, alih fungsi lahan, dan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan permukiman, bakal membawa dampak itu.
Ia mengatakan, 30-40 tahun silam, kepedulian Pemprov NTT terhadap lingkungan cukup tinggi. Mantan Gubernur Ben Mboi, misalnya, dengan program operasi nusa hijau, melakukan gerakan menanam di semua wilayah NTT, dengan melibatkan anak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, masyarakat umum, PNS, TNI dan Polri.
Baca juga: Banjir Bandang dan Longsor Terjang NTT, PVMBG Ingatkan Pembangunan Berbasis Risiko Bencana
Setiap lokasi yang ditanami pohon wajib dijaga dan dilindungi sampai tumbuh dewasa dan menghasilkan sesuatu bagi masyarakat sekitar. Mereka yang membakar hutan diberi sanksi tegas, yakni proses hukum dan penjara.
Sekarang hutan adat, hutan lindung, dan kawasan taman nasional yang ada dijadikan proyek pembangunan. ”Mereka tidak mau melihat lagi adanya hutan yang hijau, rindang, dan asri dengan fauna dan flora yang unik di dalamnya, kecuali pembangunan jalan hotmix, gedung tinggi dengan menara yang menjulang,” kata Mado.