Penerus Takhta Pura Mangkunegaraan Menunggu Peringatan 100 Hari Mangkunegara IX
Pura Mangkunegaran belum menentukan penerus takhta setelah berpulangnya KGPAA Mangkunegara IX, Jumat (13/8/2021). Pemilihan baru akan dilakukan setelah peringatan 100 hari kepergian sang pemimpin.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Pura Mangkunegaran belum menentukan penerus takhta setelah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara IX berpulang pada Jumat (13/8/2021). Pemilihan akan dilakukan setelah peringatan 100 hari kepergian sang pemimpin. Penerus takhta baru diharapkan mampu merangkul semua pihak yang ada di dalam keraton.
”Belum ada apa-apa. Keluarga belum menentukan. Ini masih harus menunggu peringatan 100 hari kepergian (KGPAA Mangkunegara IX),” kata Pelaksana tugas Pengageng Kabupaten Mandrapura atau Bagian Urusan Umum untuk Pura Mangkunegaran Supriyanto Waluyo, Jumat (3/9/2021).
Supriyanto menyampaikan, saat ini, pihak keluarga tengah membahas persiapan peringatan 40 hari kepergian Mangkunegara IX. Menurut rencana, peringatan 40 hari akan diadakan 21 September 2021. Acara peringatan berupa tahlilan yang dihadiri keluarga di Pura Mangkunegara, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Di sisi lain, suksesi di Pura Mangkunegaran menjadi pertanyaan di ruang publik. Dilihat dari sejarahnya, tidak ada pola baku mengenai suksesi meski kerajaan itu telah berdiri lebih dari 260 tahun. Pewarisan takhta tidak selalu dari ayah kepada anaknya.
Setelah Raden Mas Said atau Mangkunegara I mangkat, misalnya, takhta tidak jatuh ke salah satu anaknya. Mangkunegara II justru diemban Raden Mas Sulama, cucu Raden Mas Said. Pola tersebut berulang dalam suksesi dari Mangkunegara II ke Mangkunegara III.
Raden Mas Sarengat adalah sosok yang diangkat menjadi Mangkunegara III. Ia cucu Mangkunegara II dari anak perempuannya, Bendoro Raden Ayu Sayati. Pengangkatan Mangkunegara III menunjukkan, Pura Mangkunegaran membuka diri terhadap pemimpin dari garis perempuan.
Pola suksesi lainnya terjadi pada peralihan kekuasaan Mangkunegara IV ke Mangkunegara V. Raden Mas Sunita yang diangkat menjadi Mangkunegara V adalah putra kedua Mangkunegara IV dengan permaisuri keduanya.
Akan tetapi, pola suksesi kembali berubah pada peralihan kekuasaan selanjutnya. Setelah Mangkunegara V mangkat, takhta diwariskan kepada adiknya, yakni Raden Mas Suyitno, yang kemudian menyandang gelar Mangkunegara VI.
Pada 1916, Mangkunegara VI mengundurkan diri dari jabatan adipati setelah menjabat lebih kurang 20 tahun lamanya. Ia digantikan Raden Mas Suryosuparto, putra Mangkunegara V. Mangkunegara VII adalah keponakan dari Mangkunegara VI.
Sejak Mangkunegara VII, suksesi berlangsung dari ayah ke anak. Mangkunegara VIII adalah putra dari Mangkunegara VII, begitu pula Mangkunegara IX yang merupakan putra dari Mangkunegara VIII.
Besar di Jakarta
Kini, Mangkunegara IX berpulang dan meninggalkan empat anak. Dua anak laki dan dua anak perempuan. Keempat anak itu berasal dari dua istri.
Mangkunegara IX pernah menikah dengan putri Bung Karno, yaitu Sukmawati Soekarnoputri. Namun, keduanya bercerai. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua anak, yakni Gusti Pangeran Haryo (GPH) Paundrakarna Jiwa Suryanegara dan Gusti Raden Ayu Putri Agung Suniwati.
Kemudian, Mangkunegara IX menikah dengan Prisca Marina, bergelar Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX. Mereka juga mempunyai dua anak, yakni Gusti Raden Ajeng Ancillasura Marina Sudjiwo dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo.
Dari dua pernikahan itu, disebut ada dua kandidat kuat yang akan menggantikan Mangkunegara IX sebagai pemimpin Pura Pakualaman. Mereka adalah GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo.
Saya mengharapkan keluarga ada kebijakan. Jadi, tidak ada yang mengganjal. Harus ada link antara yang memegang kekuasaan dan keluarga. (Susanto)
Sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), Susanto, menjelaskan, dalam proses suksesi, kesepakatan keluarga besar menjadi hal terpenting. Sosok yang menggantikan harus bisa bekerja sama dengan segenap keluarga.
”Saya mengharapkan keluarga ada kebijakan. Jadi, tidak ada yang mengganjal. Harus ada link antara yang memegang kekuasaan dan keluarga,” kata Susanto.
Selain itu, Susanto menilai, sosok pengganti juga harus paham betul mengenai akar sejarah dari keraton yang akan dipimpinnya. Baik Paundrakarna maupun Bhre lahir di Jakarta. Keduanya juga lebih banyak menghabiskan waktu tumbuhnya di Ibu Kota.
Baru belakangan, Bhre diminta Mangkunegara IX sendiri mengurus rehabilitasi bangunan di Pura Mangkunegaran. Peringatan Satu Suro juga dipimpin oleh Bhre.
”Yang paling penting adalah pemahaman sejarah Mangkunegaran. Karena, calon-calon ini kan tercerabut dari akarnya. Jauh sekali generasi yang baru ini. Mereka harus dilekatkan kembali kepada sejarah leluhurnya,” kata Susanto.