Melepas Mangkunegara IX, Menanti Sosok Penggantinya
Setelah KGPAA Mangkunegara IX mangkat, publik menanti siapa yang akan meneruskan kepemimpinan di Pura Mangkunegaran. Namun, sejarah menunjukkan, tak ada pola baku dalam suksesi di Mangkunegaran.
Setelah memimpin Pura Mangkunegaran sekitar 33 tahun, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara IX mangkat. Jenazah sang adipati itu dimakamkan di Astana Girilayu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (15/8/2021) siang. Kini, publik menanti siapa yang akan meneruskan kepemimpinan di Pura Mangkunegaran dengan menyandang gelar Mangkunegara X.
Mengenakan beskap warna hitam, bawahan kain batik, dan blangkon sebagai penutup kepala, sejumlah abdi dalem memasuki Ndalem Ageng Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Mereka lalu berdiri mengelilingi peti kayu dengan hiasan aneka jenis bunga. Di dalam peti itu, terbaring jasad KGPAA Mangkunegara IX.
Setelah memberi hormat dengan menundukkan kepala dan menangkupkan kedua telapak tangan, para abdi dalem laki-laki itu mengangkat peti keluar Ndalem Ageng menuju ke Pendopo Ageng Pura Mangkunegaran. Peti diangkat, ratusan tamu yang hadir berdiri memberi hormat.
Baca juga : KGPAA Mangkunegara IX Berpulang
Di bagian luar pendopo, sejumlah anggota keluarga mengikuti upacara brobosan sebagai bentuk penghormatan terakhir. Dalam upacara brobosan itu, anggota keluarga Mangkunegara IX berjalan menunduk di bawah peti yang diangkat.
Upacara brobosan menandai akhir upacara pelepasan jenazah Mangkunegara IX yang digelar Minggu mulai pukul 10.00 di Pura Mangkunegaran. Setelah brobosan selesai, peti dimasukkan ke dalam mobil ambulans. Sekitar pukul 10.40, ambulans beserta iring-iringan kendaraan meninggalkan kompleks Pura Mangkunegaran.
Iring-iringan kendaraan tersebut disambut ratusan warga yang berdiri di pinggir jalan memberi penghormatan terakhir kepada Mangkunegara IX.
Baca juga : Persemayaman KGPAA Mangkunegara IX di Pura Mangkunegaran Surakarta
Dalam acara pelepasan jenazah di Pura Mangkunegaran, hadir sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat, misalnya Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa dan mantan Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo. Hadir pula perwakilan dari kerajaan lain, seperti Keraton Surakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta.
FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Mangkunegara IX merupakan sosok pemimpin yang bisa menjadi teladan. Almarhum memiliki peran besar dalam pengembangan tradisi dan budaya Jawa di Surakarta. ”Beliau adalah sosok yang mesti kita teladani bersama di dalam mengelola tradisi dan budaya Jawa di Surakarta, khususnya di Pura Mangkunegaran,” katanya.
Rudyatmo menyebut, meski memimpin sebuah kerajaan, Mangkunegara IX memiliki hubungan baik dengan masyarakat. ”Biarpun beliau seorang raja, hubungan dengan masyarakat sangat baik. Jadi, saya secara pribadi dan masyarakat Surakarta tentu kehilangan sosok yang betul-betul menjadi teladan bagi kita semua,” ujarnya.
Kerabat Keraton Surakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari, menuturkan, Mangkunegara IX cukup dekat dengan sejumlah kerabat Keraton Surakarta. Hal ini karena Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegara kerap terlibat kerja sama dalam aktivitas kesenian. ”Saya sendiri pribadi dan keluarga besar Keraton Surakarta sangat dekat dengan beliau,” kata perempuan yang kerap dipanggil Gusti Moeng itu.
Mengenai suksesi setelah mangkatnya Mangkunegara IX, Wandansari menuturkan, itu kewenangan keluarga Pura Mangkunegaran. Ia turut berharap proses suksesi itu tidak menimbulkan perpecahan seperti terjadi di Keraton Surakarta beberapa tahun lalu. ”Jangan sampai ada kejadian seperti di Keraton Surakarta. Yang penting, harus sadar bahwa menjadi pemangku adat itu tidak gampang dan tidak ringan tanggung jawabnya,” ungkapnya.
Pola suksesi
Setelah Mangkunegara IX mangkat, pertanyaan mengenai sosok yang akan menjadi pengganti terus bermunculan. Namun, jika melihat sejarah suksesi yang pernah terjadi di Pura Mangkunegaran, mencari jawaban tentang siapa yang akan menggantikan tampaknya bukan sesuatu yang sederhana.
Pura Mangkunegaran adalah satu dari empat kerajaan pecahan Kerajaan Mataram Islam. Sejak berdiri tahun 1757, Pura Mangkunegaran tidak memiliki satu pola suksesi yang baku. Itulah kenapa, selama lebih dari 260 tahun kerajaan itu berdiri, takhta adipati di Pura Mangkunegaran tidak selalu diwariskan dari ayah ke anak seperti pola umum pada kerajaan Islam Jawa.
Baca juga : Mangkunegara IX, Raja Rendah Hati yang Peduli Seni
Setelah Raden Mas Said atau Mangkunegara I mangkat, misalnya, takhta tidak jatuh ke salah satu anaknya. Sosok yang kemudian menjadi Mangkunegara II adalah Raden Mas Sulama yang merupakan cucu Raden Mas Said. Pola semacam ini kembali berulang dalam suksesi dari Mangkunegara II ke Mangkunegara III.
Sesudah Mangkunegara II mangkat pada tahun 1835, Raden Mas Sarengat diangkat menjadi Mangkunegara III. Sarengat merupakan cucu Mangkunegara II dari anak perempuannya, Bendoro Raden Ayu Sayati.
Baca juga : Miliki Dua Anak Lelaki, Pengganti Mangkunegara IX Belum Dibahas
Pengangkatan Sarengat sebagai Mangkunegara III ini juga menunjukkan, Pura Mangkunegaran membuka diri terhadap pemimpin yang merupakan keturunan dari garis perempuan. Lagi-lagi, hal ini berbeda dengan kebiasaan di kerajaan Islam Jawa yang lebih mengutamakan keturunan garis laki-laki.
Pada suksesi Mangkunegara III ke Mangkunegara IV, muncul relasi yang jauh lebih rumit. Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Gandakusuma yang kemudian menyandang gelar Mangkunegara IV adalah cucu Mangkunegara II. Selain itu, Mangkunegara IV juga merupakan adik sepupu dari Mangkunegara III.
Sejarawan Heri Priyatmoko menyebut, setelah naik takhta, Mangkunegara IV juga menikahi salah satu putri dari Mangkunegara III. ”Oleh karena itu, Mangkunegara IV itu juga merupakan menantu dari Mangkunegara III,” kata sejarawan yang intens meneliti tentang sejarah Surakarta tersebut.
Pola suksesi yang relatif normal terjadi pada peralihan kekuasaan Mangkunegara IV ke Mangkunegara V. Berdasarkan informasi di situs resmi Pura Mangkunegaran, Raden Mas Sunita yang diangkat menjadi Mangkunegara V adalah putra kedua Mangkunegara IV dengan permaisuri keduanya.
Akan tetapi, pola itu kemudian kembali berubah pada peralihan kekuasaan berikutnya. Setelah Mangkunegara V mangkat, takhta adipati dipegang sang adik yang lahir dengan nama Raden Mas Suyitno dan kemudian menyandang gelar Mangkunegara VI. Namun, pada tahun 1916, Mangkunegara VI mengundurkan diri dari jabatan adipati setelah menjabat sekitar 20 tahun.
Mangkunegara VI kemudian digantikan oleh Raden Mas Suryosuparto yang tak lain adalah anak dari Mangkunegara V. Oleh karena itu, Mangkunegara VII juga merupakan keponakan dari Mangkunegara VI.
Sejak Mangkunegara VII, suksesi di Pura Mangkunegaran berlangsung dengan pola yang lebih ”normal”. Hal ini karena takhta adipati diwariskan dari ayah ke anaknya. Pola itu terlihat dari Mangkunegara VIII yang merupakan anak Mangkunegara VII, sedangkan Mangkunegara IX anak Mangkunegara VIII.
Heri menyatakan, pola suksesi yang beragam di Pura Mangkunegaran itu terjadi karena sejak awal memang tidak ada pedoman baku terkait suksesi di kerajaan itu. Apalagi, pada suksesi dari Mangkunegara I ke Mangkunegara II, Raden Mas Said telah memberi contoh bahwa takhta tidak harus diwariskan dari ayah ke anak.
”Jadi, secara historis, sudah menunjukkan tidak ada pola baku dalam suksesi di Mangkunegaran,” ujar Heri yang merupakan dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suksesi ke depan
Dengan adanya pola suksesi yang beragam itu, menarik untuk melihat bagaimana Pura Mangkunegaran akan melakukan suksesi setelah meninggalnya Mangkunegara IX. Seperti diketahui, Mangkunegara IX memiliki empat anak dari dua istri. Empat anak itu terdiri atas dua laki-laki dan dua perempuan.
Mangkunegara IX pernah menikah dengan putri Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri, dan memiliki dua anak, yakni Gusti Pangeran Haryo (GPH) Paundrakarna Jiwa Suryanegara dan Gusti Raden Ayu Putri Agung Suniwati. Namun, rumah tangga itu kandas, keduanya bercerai.
Setelah itu, Mangkunegara IX menikah dengan Prisca Marina yang kemudian bergelar Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX. Dari pernikahan tersebut, Mangkunegara IX dikaruniai dua anak, yakni Gusti Raden Ajeng Ancillasura Marina Sudjiwo dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo.
Heri menuturkan, dengan kondisi saat ini, dua anak laki-laki Mangkunegara IX, yakni GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, memang menjadi kandidat terkuat mengisi posisi adipati di Pura Mangkunegaran. Meski begitu, bisa saja muncul kandidat selain dua anak lelaki Mangkunegara IX itu.
”Bisa saja ada opsi lain dari kerabat yang dekat dengan Mangkunegara IX. Apalagi, penentuan pemimpin ini kan juga bergantung pada karisma dan jiwa kepemimpinan,” ungkap Heri.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bayu Dardias, juga menilai dua anak laki-laki Mangkunegara IX merupakan kandidat terkuat untuk menjadi pemimpin berikutnya di Pura Mangkunegaran. Baik GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara maupun GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
GPH Paundrakarna merupakan anak lelaki tertua Mangkunegara IX. Dalam tradisi kerajaan Islam Jawa, anak lelaki tertua biasanya diutamakan sebagai raja berikutnya. Bayu menambahkan, meski kedua orangtuanya bercerai, GPH Paundrakarna masih memiliki peluang menduduki posisi adipati di Mangkunegaran.
”Tidak ada ketentuan yang menghilangkan kemungkinan anak raja diangkat menjadi raja ketika kedua orangtuanya bercerai,” ujar Bayu yang intens meneliti kerajaan di Nusantara. Apalagi, sampai saat ini, Paundrakarna juga masih menyandang gelar Gusti Pangeran Haryo sebagai penanda bahwa dia merupakan anak dari seorang pemimpin di Pura Mangkunegaran.
Di sisi lain, GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo merupakan putra bungsu dari empat anak Mangkunegara IX. Namun, ia juga merupakan anak dari seorang permaisuri. Dalam tradisi kerajaan, status anak dari permaisuri biasanya juga menjadi pertimbangan untuk menjadi raja berikutnya.
Selain itu, selama beberapa hari terakhir, Bhre juga terlihat kerap tampil di depan publik mengurusi pemakaman ayahnya. Saat Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan sejumlah pejabat lain melayat ke Pura Mangkunegaran pada Sabtu (14/8/2021) pagi, misalnya, Bhre ikut menemui mereka. Hari itu, Bhre juga tampak aktif berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk mengatur acara pemakaman ayahnya.
Namun, saat ditanya mengenai suksesi, Bhre mengatakan, pihak keluarga belum membicarakan siapa yang akan menggantikan Mangkunegara IX sebagai pemimpin di Pura Mangkunegaran. ”Kalau itu (suksesi), porsinya bukan di kami. Kami belum membicarakan itu saat ini,” katanya saat diwawancarai Sabtu lalu.
Bhre juga menuturkan, sebelum meninggal, Mangkunegara IX tidak meninggalkan pesan khusus. Namun, ia menyebut, sang ayah berpesan agar keluarga besar Mangkunegaran terus menjaga kekompakan dan bekerja bersama merawat dan mengelola Pura Mangkunegaran.
”Selama Romo ada bersama kami, banyak pesan yang Romo selalu sampaikan, terutama terkait Mangkunegaran. Untuk selalu bersama keluarga besar, bekerja bersama, kompak selalu, untuk bisa merawat Mangkunegaran, mengelola Mangkunegaran dengan baik, supaya bisa memberikan yang terbaik kepada para abdi-abdi dalem,” ungkap Bhre.
Dengan pesan itu, lanjut Bhre, keluarga besar Mangkunegaran akan selalu menjaga semangat kekompakan dan kerukunan. Hal itu penting agar seluruh keluarga besar Mangkunegaran bisa bersama-sama memajukan Pura Mangkunegaran. ”Itulah semangat yang kami satu keluarga akan terus junjung dan bawa ke depannya,” katanya.