Jawa Timur sementara terbebas dari zona merah atau risiko tinggi penularan Covid-19 meski situasi pandemi amat dinamis dan berpotensi kembali memburuk jika pengabaian dan pembiaran pelanggaran protokol kesehatan terjadi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 di Jawa Timur terus menurun. Tidak ada satu dari 38 kabupaten/kota berstatus zona merah atau risiko tinggi. Untuk pertama kali, Surabaya, ibu kota Jawa Timur, masuk zona kuning atau risiko rendah.
Situasi tanpa ada daerah zona merah mulai dirasakan di Jatim pada awal bulan atau Rabu (1/9/2021). Mengutip laman resmi https://infocovid19.jatimprov.go.id/ sampai hari kedua bulan ini, seluruh Jatim bagian tengah utara, kecuali Kota Mojokerto dan Gresik atau 18 kabupaten/kota berada di zona kuning. Sebanyak 20 kabupaten/kota di bagian tengah selatan termasuk Kota Mojokerto dan Gresik di zona oranye atau risiko sedang.
Kasus bertambah 852 kasus dari kemarin sehingga secara kumulatif sejak Maret 2020 menjadi 385.138 kasus. Kematian bertambah 120 jiwa dari kemarin sehingga kumulatif kematian menjadi 28.455 jiwa. Kesembuhan bertambah 1.505 orang menjadi total 347.099 orang. Kasus aktif atau jumlah pasien dirawat berkurang 773 orang menjadi 9.629 orang.
Meski demikian, penambahan kasus dan kematian masih dirasa tinggi. Jelang berakhirnya tahun lalu, ada semacam penghitungan yang masih diperdebatkan untuk menggambarkan situasi pandemi. Situasi dikatakan memburuk apabila di Jatim terjadi penambahan kasus di atas 500 dan kematian di atas 100 dalam sehari. Indikator tidak resmi itu kemudian pecah pada awal tahun karena peningkatan kasus dalam sehari menembus 1.000 orang.
Situasi kian memburuk sejak serangan varian Alpa, Beta, Gamma, dan Delta kurun Juni-Juli. Kasus baru bisa bertambah 10.000 dalam sehari dan kematian di atas 1.000 orang. Kurun Agustus, situasi mulai membaik yang diperlihatkan penurunan kasus dan kematian yang representasinya terwujud mulai bulan ini. Surabaya yang lebih dari setahun tidak pernah berada di zona kuning akhirnya kembali ke risiko rendah.
”Sangat bersyukur, tetapi harus tetap waspada dan jangan terlena. Situasi pandemi sangat dinamis. Perubahan ke arah memburuk bisa terjadi dalam sepekan ketika ada pengabaian dan pembiaran,” ujar Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Kamis (2/9/2021).
Penurunan status risiko penularan, lanjut Eri, bisa berdampak baik bagi kehidupan sosial di ibu kota Jatim tersebut. Misalnya, publik dan aparatur akan percaya diri untuk menempuh pembelajaran tatap muka meski masih harus dalam berbagai pembatasan dari selama ini secara virtual atau dalam jaringan (online).
Sektor-sektor yang karena status risiko penularan tidak bisa beroperasi mungkin segera dipertimbangkan untuk dibuka kembali, tetapi dengan catatan. ”Situasi ini perlu diupayakan ke zona hijau dibarengi dengan vaksinasi yang gencar, sosialisasi, dan penegakan protokol kesehatan, serta program 3T (tes, telusur, tangani),” kata Eri.
Menurut laman https://vaksin.kemkes.go.id/, cakupan vaksinasi komplet ialah pemberian dosis 1 dan dosis 2 sudah dipenuhi kepada 1.339.600 jiwa atau 60,4 persen dari target sasaran. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan capaian tingkat provinsi yang 5.685.412 jiwa atau 17,9 persen dari target sasaran.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengingatkan, aparatur dan publik untuk tetap waspada karena situasi pandemi amat dinamis. Aparatur terus diingatkan untuk memenuhi tugas sebaik-baiknya dalam program 3T, sosialisasi dan penegakan hukum protokol, dan percepatan dan perluasan cakupan vaksinasi.
”Kami cukup yakin salah satu indikator penurunan risiko penularan karena cakupan vaksinasi yang terus meluas. Daerah-daerah yang kesulitan akan diingatkan untuk tetap gencar,” kata Khofifah.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengingatkan, dalam situasi yang menurun ada kecenderungan secara luas untuk mengendurkan kedisiplinan. Misalnya, mulai enggan bermasker, berani kontak dekat dengan orang lain, atau secara umum ”nekat” menerima risiko tertular kembali.
Di sisi lain, vaksinasi memberikan ketahanan lebih sehingga peluang selamat seseorang dari serangan Covid-19 lebih besar daripada yang tidak atau belum divaksin. Namun, jika terjadi infeksi yang meluas kembali sehingga situasi memburuk, penanganan pandemi akan membuat repot dan sulit lagi.
Secara terpisah, sosiolog Universitas Brawijaya, Malang, Anton Novenanto, mengatakan, ada indikasi bahwa publik kurang merasa ”ngeri” atau bersikap menerima dan cenderung santai selama pandemi. ”Dalam penilaian ini, sikap publik itu karena melihat aparatur dan pejabat utama yang sense of crisis-nya kurang tampak,” ujarnya.
Misalnya, semester awal serangan pandemi pada 2020, pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang intinya ingin menempuh pengendalian mobilitas guna menekan risiko penularan. Metode itu kemudian ”diperhalus” dengan narasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Pemerintah dianggap kurang berani dengan tegas sampai menerapkan penguncian meski harus menanggung pembiayaan dan dampak yang hebat.
”PSBB dan kini PPKM menjadi jalan tengah yang tidak mencerminkan rasa krisis sehingga secara umum terlihat biasa. Puluhan ribu yang meninggal, ribuan kasus baru setiap hari, tidak membuat ngeri,” kata Anton.
Kami cukup yakin salah satu indikator penurunan risiko penularan karena cakupan vaksinasi yang terus meluas.
Ketika situasi membaik, reaksi secara umum publik ingin seluruh sektor direlaksasi atau dikendurkan. Hal ini akan memancing gelombang mobilitas masyarakat yang masif sehingga berpotensi melanggar dan mengabaikan protokol kesehatan dan bisa mengakibatkan situasi kembali memburuk. Saat situasi memburuk, lanjut Anton, akan ada kebijakan pengetatan sosial. Terus demikian dan berulang sehingga pada dasarnya penanganan pandemi tak akan pernah usai.