Jual Beli Pengisian Penjabat Kades oleh Bupati Probolinggo, Korupsi Bergeser ke Tingkat Rendah
Jual beli jabatan untuk penjabat kepala desa yang melibatkan Bupati Probolinggo menunjukkan ada celah korupsi pada pengisian jabatan itu. Mekanisme pengisian penjabat kades pun jadi perlu diperhatikan dan diawasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan jual beli jabatan posisi penjabat kepala desa yang melibatkan Bupati Probolinggo dan suaminya memperlihatkan adanya celah yang dapat disalahgunakan demi keuntungan pribadi. Bisa jadi, modus serupa terjadi di daerah lain.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 22 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Di antara para tersangka adalah Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari beserta suaminya, anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Hasan Aminuddin.
Pengisian posisi penjabat kepala desa tidak lepas dari praktik koruptif. Sebab, mekanisme pengisian penjabat kepala desa tersebut dilihat sebagai potensi untuk mendulang uang bagi kepala daerah.
Dugaan jual beli jabatan tersebut terjadi karena pengunduran jadwal pemilihan kepala desa (pilkades) serentak tahap II di wilayah Probolinggo yang mengakibatkan kekosongan jabatan. Kekosongan jabatan tersebut akan diisi penjabat kades yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Probolinggo. Syaratnya, harus mendapatkan persetujuan Hasan dan para calon diwajibkan menyetorkan sejumlah uang sebesar Rp 20 juta ditambah upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp 5 juta per hektar.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, ketika dihubungi, Selasa (31/8/2021), mengatakan, kasus tersebut memperlihatkan, pengisian posisi penjabat kades tidak lepas dari praktik koruptif. Sebab, mekanisme pengisian penjabat kades tersebut dilihat sebagai potensi untuk mendulang uang bagi kepala daerah.
”Ini memberi petunjuk bahwa jabatan penjabat kepala desa itu juga rawan disalahgunakan, baik bagi pejabat yang mengangkat maupun yang diangkat. Sebab, biasanya orang berpikir, sebagai penjabat tentu hanya sementara karena dibatasi adanya pejabat definitif,” tutur Charles.
Di sisi lain, lanjutnya, ketika banyak orang ingin menjadi penjabat kepala desa, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa uang yang disetorkan tersebut akan dapat dikembalikan dalam tempo waktu yang singkat. Bukan tidak mungkin, penjabat kepala desa itu diisi oleh orang-orang yang dekat dengan kepala daerah demi mengamankan kepentingan kepala daerah.
Menurut Charles, mekanisme pengisian penjabat kepala desa karena adanya penundaan pilkades mesti diatur secara ketat, seperti dengan pembentukan panitia. Demikian pula penjabat kepala desa harus dibatasi wewenangnya dan tidak boleh mengambil keputusan strategis di desa. Dengan adanya fakta bahwa penundaan pilkades memunculkan celah korupsi, bisa jadi modus serupa terjadi di tempat lain.
Selanjutnya, menurut Charles, kasus yang melibatkan suami istri tersebut bukan tidak mungkin dilakukan dalam rangka regenerasi keluarga tersebut untuk kepentingan politik ke depan. Sebab, bagi politisi, yang biasanya disiapkan tidak hanya modal politik berupa uang, tetapi juga regenerasi.
”Semua politisi melakukan itu, termasuk menyiapkan regenerasi. Kasus ini menarik karena diawali suami, lalu istri yang menjadi bupati, kemudian bisa jadi disiapkan anak. Ini oligarki politik. Sekaligus memperlihatkan bahwa upaya mencari uang semakin sempit, bergeser ke tingkat semakin rendah, yakni tingkat desa,” tutur Charles.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, berpandangan, dari kasus tersebut, selain soal dugaan pidana korupsi, yang perlu diperhatikan adalah mekanisme pengisian penjabat kepala desa. Meskipun bupati memiliki wewenang, semestinya tetap mengacu pada mekanisme pemilihan atau pengangkatan antarwaktu.
Kasus ini menarik karena diawali suami, lalu istri yang menjadi bupati, kemudian bisa jadi disiapkan anak. Ini oligarki politik. Sekaligus memperlihatkan bahwa upaya mencari uang semakin sempit, bergeser ke tingkat semakin rendah, yakni tingkat desa.
Itu berarti mestinya dibentuk semacam panitia yang bersifat mandiri atau independen yang dikoordinasikan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Mereka pula yang mestinya mengawasi proses tersebut.
”Ini yang menurut saya penting untuk didalami, untuk melihat bagaimana sebenarnya proses administrasi dalam pengisian pejabat kepala desa. Memang bupati memiliki diskresi untuk, misalnya, mengganti satu perangkat desa jika terjadi sesuatu. Namun, harusnya itu tetap mengacu mekanisme pemilihan atau pengangkatan antarwaktu,” papar Alvin.
Menurut Alvin, gejala perilaku koruptif dalam pengisian jabatan terjadi di semua tingkat pemerintahan. Namun, ketika hal itu terjadi di tingkat desa, dampaknya akan langsung terasa terhadap pelayanan bagi masyarakat desa karena kedekatan antara perangka desa dan masyarakat desa. Akibatnya, lanjutnya, bisa jadi pembangunan desa terhambat atau terbengkalai dan hal itu langsung dirasakan masyarakat desa.
”Yang menjadi pekerjaan rumah kita adalah bagaimana meningkatkan pengawasan administrasi desa karena secara kualitas dan kuantitas, BPD memiliki keterbatasan dalam hal pengawasan,” kata Alvin.