Sineas-sineas muda asal Banjarnegara mendominasi peraihan penghargaan di Festival Film Purbalingga. Diharapkan ajang ini terus menjaga kreativitas sineas muda.
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Film Lanang, Nggolet Dewek, dan Seperti Mimpi karya sineas-sineas muda asal Kabupaten Banjarnegara meraih penghargaan dalam Festival Film Purbalingga ke-15. Prestasi ini diharapkan bisa terus menjaga kreativitas dan semangat berkarya untuk memproduksi film-film berkualitas selanjutnya.
”Kaget. Tidak menyangka film kami jadi terbaik soalnya film-film lain juga bagus,” kata Yustika Indah Pratiwi (17), sutradara film Lanang, seperti dikutip dari siaran pers, Minggu (29/8/2021).
Yustika yang duduk di bangku kelas XII SMA Negeri Karangkobar, Banjarnegara, berharap bisa terus membuat film untuk Banyumas Raya. Pada malan penganugerahan Festival Film Purbalingga yang digelar Sabtu (28/8/2021) malam. Film Lanang produksi Sinematoska SMA Negeri Karangkobar, Banjarnegara, berhasil meraih film fiksi terbaik.
Selain itu, film Nggolet Dewek produksi Hika Production SMK HKTI 2 Purworejo Klampok, Kabupaten Banjarnegara, menyabet penghargaan khusus dewan juri. Selanjutnya, film Seperti Mimpi, sutradara Erika Hartini (17), produksi DN Film’s SMK Darunnajah Banjarmangu, Banjarnegara, meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik.
Erika Hartini merasa senang karena dua tahun berturut-turut menerima penghargaa film terbaik dikategori dokumenter. ”Membuat film di masa pandemi tentu menjadi kendala karena produksi banyak di dalam rumah,” kata Erika yang kini duduk di bangku kelas XII SMK Darunnajah Banjarmangu.
Dalam malam penganugerahan yang digelar daring dan luring di Bioskop Misbar Purbalingga, penghargaan film fiksi favorit penonton diraih film Cap Jempol karya sutradara Nabila Nur Fajrin, produksi Brankas Film SMA Negeri 2 Purbalingga. Sementara film Sineas Daerah, sutradara Salsa Nurlaini, produksi Candradimuka Production SMK Negeri Gombong, Kebumen, mendapat penghargaan sebagai film dokumenter favorit penonton.
Dewan juri fiksi yang terdiri dari Benny Benke (jurnalis), Ismail Basbeth (sutradara), dan Teguh Trianton (akademisi) menilai, hampir keenam nominasi kompetisi film fiksi seragam atau tipikal. Meski demikian, hal itu bukan sesuatu yang mengecewakan. ”Film terbaik dinilai karena pembuat film berani mengangkat idiom penari lengger laki-laki yang menstigmanya dan itu tidak mudah dipanggungkan,” ujar Benny Benke, wartawan Suara Merdeka Biro Jakarta.
Sementara dewan juri dokumenter, yaitu Chairun Nissa (sutradara), Mohammad Akbar (jurnalis), dan Muhammad Taufiqurrohaman (akademisi) menganggap pembuat film pelajar perlu memperkaya teknik bercerita dan meningkatkan kualitas riset. ”Kami menilai, film dokumenter terbaik karena berhasil lepas dari jebakan narasi ’kasihan-mengasihani’ dengan mengangkat kelebihan dan kekuatan subyek,” ujar Chairun Nissa.
Festival Film Purbalingga, yang merupakan program tahunan Cinema Lovers Community Purbalingga, tahun ini memberikan penghargaan Lintang Kemukus bagi seniman atau maestro seni tradisi kepada Ismail Marzuki, pelawak yang kini tinggal di Desa Selagaggeng, Kecamatan Mrebet, Purbalingga.
Kami menilai, film dokumenter terbaik karena berhasil lepas dari jebakan narasi kasihan-mengasihani dengan mengangkat kelebihan dan kekuatan subyek.
Adapun penghargaan Lintang Kemukus Modern dianugerahkan kepada almarhum Achmad Basirun, perupa kawakan Purbalingga yang menorehkan karyanya lewat beragam media, selain kanvas, juga kertas, tembok, dengan cat minyak, air, pensil, arang, dan lainnya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah, Mukhlis Husein, mengapresiasi para pelajar dan Festival Film Purbalingga yang konsisten dalam menggelar festival meski di masa pandemi Covid-19.