Harga Anjlok, Petani Purbalingga Biarkan Cabai Membusuk
Harga cabai di tingkat petani di Purbalingga anjlok dalam sebulan terakhir, dari semula Rp 12.000 kini menjadi Rp 4.000 per kilogram. Sejumlah petani membiarkan cabainya busuk tidak dipanen.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Harga cabai rawit dan merah keriting di tingkat petani anjlok dari Rp 12.000 menjadi Rp 4.000 per kilogram dalam sebulan terakhir. Akibatnya, sejumlah petani di Desa Karangtalun, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, membiarkan tanaman cabainya rusak dan membusuk.
”Bulan Juni harganya masih Rp 12.000 per kilogram, terus Juli sudah turun jadi Rp 6.000 per kilogram, lalu sekarang ini jadi Rp 4.000 per kilogram. Dijual susah laku, jadi dibiarkan saja dan buat makan ikan sekalian,” kata Sodik (57), petani di Desa Karangtalun, Kamis (26/8/2021).
Sodik menyampaikan, total modal untuk 500 tanaman cabainya mencapai Rp 1,5 juta, mulai dari bibit, pupuk, dan tenaga kerja pembuatan bedeng. Dari tiga kali panen, pemasukan yang didapatkan baru sekitar Rp 664.000. ”Ini belum balik modal,” katanya putus asa.
Selain Sodik, ada pula Karyono (42) yang segera mencabut 10.000 tanaman cabai miliknya yang berusia sekitar 15 hari di atas lahan 400 meter persegi. Dia memilih merugi hingga Rp 3 juta daripada mempertahankan cabai dengan harga yang anjlok. Ia mengganti cabai dengan tanaman terung. ”Harga cabai terlalu murah. Kalau dilanjutkan, maka permodalan akan membengkak. Harga cabai Rp 5.000 per kilogram untuk petani itu tidak ketemu (tidak balik modal), karena biaya perawatan per batang cabai bisa mencapai Rp 15.000,” paparnya.
Kepala Desa Karangtalun Heru Catur Wibowo menuturkan, petani mengalami dilema karena selama ini cabai memang menjadi komoditas primadona di desanya. Di desanya setidaknya ada 20 petani cabai dengan total luas tanam mencapai 20 hektar. Menurut Heru, satu musim panen cabai di desanya bisa mencapai 40 ton. ”Cabai yang dibiarkan oleh petani ada sekitar 1 hektar. Mereka membiarkan cabainya tidak dipanen. Kalau dipanen, ruginya semakin dalam,” kata Heru.
Dari pantauan di lapangan, cabai-cabai tampak membusuk di pohonnya. Ada yang kering akibat jamur cabai karena tidak dirawat atau disemprot petani. Ada pula yang dibiarkan melayu dan kering.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga Mukodam mengatakan, harga yang rendah di tingkat petani terjadi karena kebutuhan cabai di kota besar, seperti Jakarta dan Bandung, telah dipenuhi oleh pasokan cabai dari wilayah Jawa Timur serta Jawa Barat. Selain itu, dibandingkan dengan kabupaten tetangga, seperti Magelang, Wonosobo, dan Boyolali, Kabupaten Purbalingga bukanlah sentra cabai.
”Untuk pangsa pasar besar kini sudah diserbu oleh produk dari Jawa Timur sehingga produk dari Purbalingga dan sekitarnya tidak bisa masuk ke sana. Kalau tidak bisa dikirim ke sana, tentu dijual di lokal. Padahal, di lokal itu konsumsinya tetap, tapi barangnya melimpah,” tutur Mukodam.
Menurut dia, total luas panen cabai merah di Kabupaten Purbalingga pada Juli 2021 mencapai 34 hektar dengan produksi 131 ton. Adapun total luas panen cabai rawit mencapai 21 hektar dengan produksi mencapai 63 ton. ”Dinas pertanian menganjurkan petani untuk tanam tumpang sari dengan sayuran lain, seperti tomat, bunga kol, caisim, dan timun, agar apabila harga cabai turun, masih ada tanaman lain yang diharapkan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Mukodam, petani dianjurkan untuk mengatur waktu tanam, menghindari waktu tanam bulan-bulan tertentu yang diperkirakan akan melimpah produksinya sesuai pengamatan tahun-tahun sebelumnya. ”Kami juga membantu akses produk pertanian hortikultura, termasuk cabai, kepada ASN untuk membeli cabai langsung dari petani dengan penyiapan paket dari petani,” katanya.