Purbalingga Ekspor Baby Buncis Kenya ke Singapura, Model Bisnis Koperasi Tani Disiapkan
Petani sayur di Purbalingga mengekspor baby buncis kenya ke Singapura setahun terakhir. Model bisnis koperasi tani dari Kementerian Koperasi dan UKM disiapkan untuk menjamin keberlanjutan pertanian.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Petani sayur-mayur di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, mengeskpor buncis jenis baby kenya ke Singapura sebanyak 1 ton per hari. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam kunjungannya ke Purbalingga mendorong terbentuknya model bisnis koperasi tani supaya petani bisa tetap berproduksi dengan mendapatkan fasilitas pembiayaan sekaligus pemasaran yang stabil.
”Baby buncis kenya ini harganya stabil di pasaran. Jika buncis biasa Rp 2.500 per kilogram, baby buncis kenya ini stabil Rp 8.500 per kilogram,” kata Rasmini (49), petani buncis di Kutabawa, Purbalingga, Sabtu (21/8/2021).
Rasmini menyebutkan, baby buncis kenya ini bisa dipanen di usia 45 hari setelah ditanam dan bisa dipetik hingga 18 kali atau dalam kurun waktu sekitar tiga bulan. Dari lahan sekitar 1.600 meter persegi buncis yang ditanam di lahannya, sekali petik bisa mendapatkan 160-200 kilogram.
Dengan biaya produksi sekitar Rp 5 juta untuk benih, plastik mulsa, tenaga kerja, dan pupuk, lanjut Rasmini, tanaman buncis ini bisa total mendatangkan pemasukan sekitar Rp 20 juta. Apalagi dengan sistem tanam tumpang sari, yaitu ditanami bawang merah, petani bisa mendapatkan pemasukan tambahan Rp 9 juta dari dua kali panen bawang merah dengan berat total 1 ton dan dijual dengan harga Rp 9.000 per kilogram.
”Ini sudah balik modal dan tinggal (memanen) hasilnya. Untuk buncis lebih enak dan renyah dibandingkan dengan buncis biasa,” tutur Rasmini.
Ketua Koperasi Max Yasa Ngahadi yang menaungi sekitar 500 petani menyampaikan, di masa pandemi Covid-19 ini penjualan baby buncis kenya ini relatif stabil dibandingkan dengan sayur-mayur lainnya seperti tomat dan sawi.
Ini sudah balik modal dan tinggal (memanen) hasilnya. Untuk buncis lebih enak dan renyah dibandingkan dengan buncis biasa. (Rasmini)
Di atas lahan sekitar 100 hektar, pihaknya bisa mengekspor buncis 1 ton per hari ke Singapura. ”Karena mengekspor setiap hari, maka setiap petani sudah punya jadwal menanamnya,” tutur Ngahadi.
Teten menyampaikan, model bisnis koperasi tani perlu dikembangkan karena karakter petani di Indonesia adalah petani kecil dengan lahan sempit sehingga sulit membangun corporate farming di sektor hortikultura. Model ini untuk menjamin kepastian pasokan ke pasar, baik kuantitas maupun standar produknya.
”Oleh karena itu (petani kecil dan lahan sempit), perbankan tidak mau masuk membiayai. Misalnya, penyerapan KUR kurang dari 20 persen ke sektor pertanian. Padahal, sektor pertanian ini tumbuh 12 persen. Ini yang harus dicari bisnis modelnya,” papar Teten.
Teten mengapresiasi Koperasi Max Yasa yang berdiri awal 2021 karena selain membina petani, juga mencarikan pasar di dalam dan luar negeri. Bisnis model yang bagus untuk pertanian yang kecil dan berlahan sempit ini dikonsolidasi lewat koperasi. Nanti koperasi yang membeli produk petani.
”Dengan demikian, ada kepastian harga dan produknya diserap. Koperasi nanti yang berhubungan dengan pasar. Oleh karena itu, kami ingin memperkuat pembiayaan untuk koperasinya supaya koperasi bisa membeli produk petani,” katanya.
Model bisnis koperasi tani ini, lanjut Teten, merupakan pilot project yang jika sukses bisa direplikasi di banyak tempat. Kementerian, misalnya, telah menginisiasi koperasi pisang di Lampung untuk kebutuhan ekspor dan koperasi kopi di Bener Meriah, Aceh. Lewat Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), kementerian mengalokasikan dana Rp 1,6 triliun dan sudah terserap sekitar Rp 1 triliun untuk memperkuat pembiayaan koperasi.
Menurut Teten, model bisnis koperasi tani juga bisa menghubungkan antara sisi hulu dan hilirnya. ”Jadi petani tidak harus memikirkan bagaimana menjual produknya dan ke mana. Nanti koperasi yang mengarahkan petani menanam apa karena sesuai permintaan pasar. Tidak cukup lagi kita hanya memberikan subsidi pupuk, subsidi bibit. Kita harus membangun bisnis modelnya,” tuturnya.