Polemik perebutan takhta Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, belum juga usai. Bahkan, terjadi kericuhan. Semua pihak diharapkan mengutamakan musyawarah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Polemik perebutan takhta Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, berujung ricuh. Sejumlah fasilitas di keraton berusia ratusan tahun itu pun rusak. Berbagai pihak diharapkan mengutamakan musyawarah demi menjaga keraton sebagai benteng budaya Cirebon.
Data yang dihimpun Kompas, aksi lempar batu di antara dua kelompok massa terjadi pada Rabu (25/8/2021) sekitar pukul 13.00 di area Bangsal Keraton. Kerusuhan itu merusak sejumlah fasilitas, seperti pot bunga dan tempat sampah. Tangan seorang jurnalis juga lecet terkena batu. Situasi mulai mereda setelah polisi membubarkan kedua massa.
”Kami akan meluruskan sesuatu yang salah dan menegakkan hukum jika memang terjadi pidana. Hingga saat ini belum ada pengaduan ke kami. (Kalau) ada laporan nanti kami tindak lanjuti,” kata Kepala Kepolisian Resor Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Imron Ermawan di lokasi kejadian.
Hingga Rabu petang, puluhan personel kepolisian dan TNI masih berjaga di kompleks keraton. Imron belum bisa memastikan sampai kapan aparat bersiaga di keraton. Akan tetapi, pihaknya menjamin situasi telah kondusif.
Belum diketahui pasti dari mana kedua massa yang bertikai. Namun, kericuhan terjadi setelah Sultan Sepuh Aloeda II RH Rahardjo Djali menggelar pelantikan perangkat Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Rahardjo yang merupakan keturunan Sultan Sepuh XI Tadjul Arifin diangkat sebagai Sultan Sepuh Aloeda II pekan lalu.
Semalam sebelum pengangkatan perangkatnya, keluarga Rahardjo didatangi kelompok massa yang meminta acara itu tidak dilaksanakan. Pada Rabu pagi, Direktur Badan Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon Ratu Raja Alexandra Wuryaningrat juga adu mulut dengan pihak Rahardjo.
”Saya menegur mereka karena kegiatan itu tanpa izin Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan Cirebon Pangeran Raja Adipati Luqman Zulkaedin. Mereka tidak sah mengadakan kegiatan itu karena di sini hanya ada satu sultan, PRA Luqman,” ujar Alexandra yang juga adik mendiang Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, ayah Luqman.
Sultan Sepuh Aloeda II RH Rahardjo Djali mengklaim memiliki babon yang membuktikan dirinya keturunan sah Sultan Keraton Kasepuhan. Pihaknya telah berupaya membuka dialog dengan keluarga PRA Luqman. ”Tetapi, mereka tidak mau terbuka dan cenderung mengabaikan kami sebagai keluarga besar,” ujarnya.
Polemik kepemimpinan Keraton Kasepuhan Cirebon memanas sejak pertengahan 2020. Setelah Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat mangkat, konflik kian menjadi. Penobatan PRA Luqman yang dihadiri Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga diwarnai penolakan oleh sejumlah kerabat.
Pengamat sejarah Cirebon, Mustaqim Asteja, prihatin dengan kericuhan yang merusak area cagar budaya di keraton. Kondisi tersebut bisa merusak marwah keraton sebagai benteng budaya di Cirebon. Apalagi, keraton berusia sekitar 500 tahun itu merupakan destinasi wisata unggulan di ”Kota Wali”.
Mustaqim menilai, polemik perebutan kekuasaan di Keraton Kasepuhan yang berlarut-larut berujung pada kericuhan. ”Pemerintah, baik di tingkat kota maupun pusat, seharusnya turun tangan memediasi berbagai pihak seperti yang pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Semuanya harus mengutamakan musyawarah,” katanya.