Jangan Ada Lagi Kegelapan di Keraton Kasepuhan Cirebon
Penobatan PRA Luqman Zulkaedin sebagai Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan ditentang oleh sejumlah keluarganya sendiri. Saatnya menumbuhkan silaturahmi ketimbang terus memendam permusuhan.
Debu-debu beterbangan di Alun-alun Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Jawa Barat, ketika ratusan kaki pasukan Laskar Macan Ali Nuswantara berlari menuju gerbang keraton, Minggu (30/8/2020) siang. Seruan, ”civil war (perang saudara)!!!”, terdengar dari arah kerumunan itu.
Aparat keamanan yang tersebar di beberapa lokasi segera mendekat. Begitupun jurnalis, bangkit dari kursinya di warung. Warga memindahkan sepeda motor yang terparkir di depan gerbang keraton. Harapannya, mencari aman jika saja terjadi rusuh. Arus lalu lintas kendaraan bermotor pun ditutup.
Anak-anak yang tadinya bahagia bermain mobil-mobilan segera menjauh. Pedagang mainan segera menutup lapak mereka dengan terpal, memasukkan pancing mainan yang kusam ke kardusnya.
”Saya mau pulang saja. Nanti sore atau besok balik lagi ke sini,” kata seorang pedagang mainan.
Barangkali hanya tumpukan sampah plastik pembungkus makanan dan minuman yang tidak berpindah dari alun-alun. Malah, orang-orang menghindari sampah itu ketika berjalan mencari tahu mengapa pasukan laskar yang berpakaian serba hitam membentuk barikade di depan keraton.
Kehadiran pasukan laskar itu untuk menjaga bangunan Keraton Kasepuhan tidak dirusak oleh pihak mana pun. Apalagi, saat itu, berlangsung acara jumenengan atau penobatan Pangeran Raja Adipati Luqman Zulkaedin sebagai Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan Cirebon sekaligus tahlil 40 hari wafatnya Sultan Sepuh XIV Arief Natadiningrat, ayah Luqman.
Baca juga : Sultan Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat Mangkat
Pada saat bersamaan, di alun-alun, ratusan santri dan pengasuh pondok pesantren yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Zuriah Sunan Gunung Jati (FSZSGJ) membentuk saf sambil membentangkan kain warna merah putih. Mereka berselawat dan mengaji sembari membaca selembar kertas.
”Ini aksi kami meluruskan sejarah untuk menjaga warisan Sunan Gunung Jati,” kata Ide Bagus Arief Setiawan, juru bicara FSZSGJ. Sunan Gunung Jati yang juga salah satu wali sanga, tokoh besar penyebar Islam, adalah pemimpin Cirebon sekitar abad-15.
”Sejauh ini, banyak zuriah, kiai, menolak penobatan saudara Luqman. Kenapa baru sekarang sejarah diluruskan? Karena ada momentum. Ini gerakan budaya, bukan politik,” katanya. Namun, Ide tidak menjelaskan rinci momentum tersebut.
Penolakan penobatan atas PRA Luqman sebagai sultan juga disuarakan dari sejumlah kerabat keraton. Bahkan, secara terbuka, Ratu Mawar dari Keraton Kanoman yang datang di tengah acara langsung mengatakan, ”Beliau (Luqman) bukan nasab Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).”
Ratu Mawar hadir bersama Elang Mas Upi Supriadi, sesepuh Keraton Kasepuhan, yang dipapah sejumlah kerabat. Mereka pun diarahkan keluar Bangsal Panembahan, tempat jumenengan, menuju kediaman Elang Upi yang jaraknya hanya beberapa langkah.
Saling dorong antara yang pro dan kontra dengan penobatan PRA Luqman sempat terjadi di dalam dan luar keraton. Imbauan menjaga jarak di tengah pandemi tak lagi dihiraukan. Masker dan pandemi tak mampu meredam teriakan sejumlah orang.
Baca juga : Penobatan Sultan Sepuh XV Diwarnai Penolakan, Utamakan Musyawarah
Tamu undangan, seperti Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis, perwakilan Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN), dan kerabat keraton pun terkejut. Kala itu, Sultan Kanoman XII Cirebon Raja Muhammad Emirudin dan Sultan Kacirebonan IX Abdul Gani Natadiningrat tidak tampak selama acara.
Juru bicara Keraton Kasepuhan Pangeran Chaidir Susilaningrat mengatakan, setiap kerabat keraton memiliki hak berbeda pendapat terkait jumenengan, selama tidak melawan hukum. ”Namun, kami semata-mata melaksanakan adat dan tradisi sejak sultan-sultan sebelumnya,” katanya.
Menurut Chaidir, PRA Luqman telah bersilaturahmi dengan keraton-keraton dan pondok pesantren tua di Cirebon sebelum acara penobatan. ”Dan, sesepuh mendukung. Keraton selalu terbuka untuk siapa pun selama berniat baik,” katanya.
Setiap kerabat keraton memiliki hak berbeda pendapat terkait jumenengan, selama tidak melawan hukum.
Dalam pidato pengukuhannya, Luqman mengatakan, mendiang ayahnya sudah menetapkannya sebagai Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan. ”(Ini) sebagai tradisi turun-temurun yang dilaksanakan sejak era Sunan Gunung Jati, ratusan tahun lalu. Pengganti sultan adalah putranya,” katanya.
Berusia 31 tahun, Luqman kini memimpin keraton tertua yang didirikan abad ke-15 di Cirebon. Ia berkomitmen tetap menjadikan keraton sebagai benteng budaya Cirebon, bahkan bangsa Indonesia. Keraton juga diharapkan sebagai destinasi wisata.
Baca juga : Keraton Kasepuhan Cirebon Terapkan Aplikasi Digital Pemandu Wisatawan
Sejarah ”peteng”
Budayawan Cirebon, Achmad Opan Hasyim, dalam diskusi terkait polemik itu beberapa waktu lalu mengatakan, konflik internal di keraton bukan kali ini saja terjadi. Sultan Keraton Kasepuhan V Shofiuddin Matangaji pada abad ke-17, misalnya, dibunuh pamannya sendiri, Ki Muda, yang bersekongkol dengan Belanda demi menjadi Sultan Kasepuhan VI.
Matangaji kala itu mengkritisi perjanjian persahabatan keraton dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) pada 7 Januari 1681. Isinya, antara lain, kompeni melindungi keluarga sultan dan rakyatnya dari perampok. Namun, hasil bumi Cirebon hanya boleh dijual kepada kompeni dengan harga pasar.
Menurut Opan, inilah awal mula sejarah peteng (gelap) Cirebon. Ki Muda pun menjadi sultan, bukan saudara Sultan Matangaji, yakni Pangeran Suryanegara. Suryanegara lalu keluar dari keraton untuk melawan Belanda dengan menyiapkan pasukan sekaligus membangun pesantren. Itu sebabnya, pesantren tua seperti di Benda, Buntet, dan Ciwaringin tidak bisa dilepaskan dari keraton.
Baca juga : KH Abbas, Sandal Bakiak dan Singa-singa Cirebon
”Sejarah peteng kedua adalah saat masa Sultan Sepuh XI PRA Adipati Tadjoel Arifin yang tidak punya putra. Ia menukar anaknya, Ratu Hani yang masih bayi, dengan Pangeran Radja Alexander Goemelar Radja,” kata Opan. Alexander merupakan warga keturunan Belanda dan Tionghoa.
Alexander pun menjadi Sultan Sepuh XII lalu diteruskan PRA Maulana Pakuningrat sebagai Sultan Sepuh XIII, PRA Arief Natadiningrat, dan kini PRA Luqman sebagai Sultan Sepuh XV. ”Seharusnya, semua keturunan Sunan Gunung Jati yang masih ada diajak bicara untuk menyelesaikan masalah ini. Kita punya banyak pangeran dan ulama yang arif,” katanya.
Pengamat sejarah Cirebon, Mustaqim Asteja, menilai, sejarah peteng boleh diungkap dengan catatan dalam forum akademis dan menyertakan pembuktian. ”Jangankan di luar, di dalam keraton saja banyak versi soal sejarah ini,” ungkapnya.
Seharusnya, semua keturunan Sunan Gunung Jati yang masih ada diajak bicara untuk menyelesaikan masalah ini. Kita punya banyak pangeran dan ulama yang arif.
Mustaqim mendorong pemerintah pusat turun tangan mencari solusi atas masalah tersebut. Pada masa kolonial, lanjutnya, Pemerintah Hindia Belanda berperan sebagai mediator jika terjadi perselisihan antarkeraton.
”Ini untuk memperjelas siapa yang berhak menerima hasil pengelolaan lahan keraton,” katanya. Kala itu, Belanda mengelola tanah sultan dan memberikan sejumlah uang kepada keraton. Dana itu digunakan untuk menjalankan tradisi.
Akan tetapi, setelah Belanda hengkang, kedua pihak sempat berseteru. Sultan Sepuh XIII, misalnya, pernah dilaporkan Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan Cirebon ke Polresta Cirebon dengan tuduhan menyerobot 20,5 hektar tanah milik negara di Kelurahan Harjamukti (Kompas, 16/2/2002).
”Sekarang, keraton seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat). Kalau enggak buat program, enggak dikasi duit sama pemerintah. Padahal, tradisi enggak bisa ditunda. Untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya barang keraton dijual,” ungkap Mustakim.
Oleh karena itu, ia berharap, semua pihak bisa menenangkan diri seperti yang dilakukan para sesepuh dahulu, dengan mengutamakan keutuhan keluarga dibandingkan perselisihan. Sultan yang baru, katanya, harus mengukuhkan silaturahmi keluarga, meneruskan tradisi, dan menjadikan keraton sebagai destinasi wisata untuk meningkatkan ekonomi kreatif warga sekitar.
Baca juga : Jaga Pesan Terakhir Sultan Sepuh demi Masa Depan Gemilang
Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Keraton Kacirebonan selama ini menjelma primadona pariwisata Cirebon. Sebanyak 190.172 wisatawan mengunjungi tiga keraton tersebut pada 2018.
Jumlah tersebut sekitar 18 persen dari kunjungan wisatawan saat itu, yakni 1.070.754 orang. Sektor pariwisata, seperti hotel, restoran, dan hiburan berkontribusi hingga 44 persen dari target pendapatan pajak Kota Cirebon sekitar Rp 159 miliar tahun ini.
Keraton juga merupakan jejak keberagaman yang masih lestari hingga kini. Peninggalan Eropa dan China dalam bentuk keramik, misalnya, masih tertanam di tembok dan pilar bangunan keraton.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil meminta para pihak untuk menyelesaikan polemik di internal keraton. Namun, menurut dia, kursi sultan tidak boleh kosong. ”Silakan diselesaikan secara musyawarah mufakat. Kami akan turun tangan (menyelesaikan polemik) jika diminta. Tetapi, itu langkah terakhir,” katanya.
Ketika terik matahari mulai menjauh, satu per satu tamu keluar dari Keraton Kasepuhan. Acara jumenengan itu berakhir. Namun, polemik keraton tertua di Cirebon itu belum usai.
Baca juga : Pesan Toleransi dari Lukisan Keramik