Panasnya Kursi Ketua DPRD Kota Cirebon Saat Pandemi
Kursi Ketua DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, kembali memanas. Pemilik kursi terbanyak, Partai Gerindra, mengganti Affiati dengan Ruri Tri sebagai ketua DPRD. Apa kepentingan penggantian tersebut di tengah pandemi?
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas ujungnya, kursi Ketua DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, justru memanas. Rencana penggantian pimpinan wakil rakyat itu tidak bisa dilepaskan dari Pemilu 2024.
Ruri Tri Lesmana menunjukkan dua lembar kertas kepada awak media di ruangan Komisi I DPRD Kota Cirebon, Senin (23/8/2021). Surat itu menetapkan dirinya sebagai Ketua DPRD Kota Cirebon dan Tommy Sofiana menjadi Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD.
”Dalam rangka mencapai tujuan Gerindra, dipandang perlu untuk mengesahkan pergantian pimpinan DPRD,” tulis surat itu. Surat ditandatangani Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Sekretaris Jenderal Ahmad Muzani.
Meskipun surat tersebut diterbitkan dua bulan lalu (19/6/2021), Ruri mengaku baru mengetahuinya, Jumat (20/8/2021). Sehari sebelumnya, DPD Gerindra Jabar menelepon dan memintanya ke Bandung. ”Saya kaget juga diberikan satu mandat. Tidak ada konfirmasi,” katanya.
Ruri juga tidak paham mengapa surat itu baru diberikan kepadanya. Begitu pun alasan penggantian Affiati sebagai Ketua DPRD Kota Cirebon. Namun, sebagai pemegang kursi terbanyak di DPRD, katanya, Gerindra berhak menempatkan kadernya sebagai pimpinan.
Ruri, pemilik 1.955 suara, sempat menjabat ketua sementara DPRD Kota Cirebon pada 2019. Namun, Affiati yang meraup 4.311 suara akhirnya menduduki kursi itu secara permanen. Mantan guru honorer yang baru terjun ke politik itu menggantikan Ruri, anggota DPRD sejak 2014.
Kini, dunia seolah berputar. Ruri, tamatan STM Pemuda Cirebon, ”melengserkan” Affiati, sarjana pendidikan anak usia dini. Affiati yang punya Rp 4,4 miliar berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara pun ”takluk” kepada Ruri yang hartanya minus Rp 1,1 miliar.
”Saya sangat menghargai beliau (Affiati). Beliau kakak saya. Tadi saya minta maaf. (Penggantian ketua DPRD) Ini bukan kehendak saya. Tapi, tugas, amanat partai,” ungkap Ruri yang mengaku sudah bertemu Affiati, tetapi belum menunjukkan surat tersebut.
Saat ditanya apakah penggantian ketua DPRD karena persoalan internal partai, Ruri menampiknya. Ia mengatakan, kiprah Affiati sudah baik dan harus lebih baik lagi dalam kepemimpinannya. Ruri juga berkomitmen merangkul anggota fraksi lain.
”Target khusus dari partai, kemarin menginstruksikan agar kita 2024 (menang) di DPR. Dan, membawa Pak Prabowo manggung di 2024, memenangkannya di Kota Cirebon,” paparnya. Penjaringan bakal calon anggota DPRD pada 2020 juga termasuk tugasnya.
Soal kemungkinan maju sebagai bakal calon kepala daerah di Kota Cirebon, Ruri belum bisa menjawab. ”Saya sih bicara mengalir apa adanya. Hal-hal itu masih jauh. Tugas terberat saya membawa nama Partai Gerindra di masyarakat. Harus tangi esuk (bangun pagi),” ungkapnya.
Pihaknya telah menyampaikan salinan surat DPP Gerindra itu ke sekretariat DPRD, Wali Kota Cirebon, dan DPC Gerindra setempat. Namun, Ruri tidak tahu pasti kapan dirinya ditetapkan sebagai Ketua DPRD karena masih ada proses di DPRD.
Anggap rumor
Affiati mengaku belum menerima informasi dari partai terkait rencana penggantian ketua DPRD itu. ”Lihat, saya biasa saja. Sampai hari ini tidak ada konfirmasi dari DPP, DPD, DPC Gerindra. Jadi, saya anggap itu hanya rumor saja,” ucapnya, Senin pagi.
Pihaknya juga belum berencana menanyakan hal itu kepada partai. ”Karena saya yakin ini masih gonjang-ganjing, belum fix (penggantian ketua DPRD). Kalau (kinerja) saya sudah maksimal. Saya berusaha memberikan yang terbaik,” ujarnya.
Walakin, Affiati pernah berurusan dengan Badan Kehormatan DPRD Kota Cirebon, Juli 2020. Saat itu, Affiati membaca ikrar menjaga NKRI dari pengaruh paham komunisme dan khilafah. Belum menyelesaikan bacaannya, audiens menyatakan batal. Ia pun berikrar tanpa menyebutkan kata khilafah.
Video pembacaan ikrar heboh di jagat media sosial. Sejumlah pihak memprotes pimpinan DPRD karena dianggap tidak melindungi NKRI dari khilafah yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Affiati saat itu memohon maaf dan mengaku bingung karena pembacaan ikrar tidak ada dalam agenda.
Dari segi legislasi, kinerjanya bersama 34 anggota DPRD yang lain dipertanyakan. Dari 18 target rancangan peraturan daerah, hingga kini hanya empat perda yang selesai dalam rapat paripurna. Bahkan, tujuh raperda sama sekali belum dibahas.
Ketua Badan Pembentukan Perda Ana Susanti menuding pandemi dua tahun terakhir sebagai kendala. ”(Pembahasan) Sekarang tetap berjalan. Kalau dengan bagian hukum Pemkot Cirebon hanya lewat virtual. Tetapi, memang lebih enak langsung (dibahas) di darat,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Swadaya Gunung Jati, Khaerudin Imawan, berpendapat, seharusnya elite fokus menangani pandemi Covid-19, bukan malah menyiapkan strategi untuk Pemilu 2024. Apalagi, kinerja legislasi DPRD Kota Cirebon belum maksimal.
”Harusnya banyak raperda di pandemi karena ada perubahan kondisi. Fungsi legislasi harusnya berjalan. Kalau tidak, masyaraat jadi tidak respek,” ungkapnya. Ia berharap, polemik perebutan kursi ketua dewan tidak memperburuk kinerja DPRD.
Dalam sejarahnya, DPRD tidak bisa dipisahkan dari pembentukan Cirebon menjadi gemeente (kotapraja atau kotamadya) pada 1906. Saat itu, anggotanya ada 11 orang, yakni 8 berbangsa Belanda, 2 warga setempat, dan 1 dari timur asing. JHJ Sigal tercatat sebagai ketua dewan pertama.
Zaenal Masduqi dalam bukunya, Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (2011), mengatakan, dewan mengajak seluruh warga berpartisipasi memajukan kota, mendahulukan kepentingan umum dibandingkan pribadi, dan meningkatkan kesenian serta ilmu pengetahuan. Juga, menyediakan kepentingan umum yang mudah dan cepat.
Keputusan dewan di rapat perdana itu merespons amburadulnya kota karena wabah muntaber hingga frambosia. ”Cirebon mendapatkan julukan sebagai kota yang tidak sehat di Nederlands Indie dan sebuah kota karesidenan pembawa sial,” tulis Zaenal.
Kini, setelah seabad berlalu, hasil rapat anggota dewan kala itu patut dipertanyakan. Benarkah kita sudah mendahulukan kepentingan umum dibandingkan pribadi? Yang jelas, saat pandemi belum usai, elite politik mulai menyiapkan Pemilu 2024, termasuk mengganti ketua DPRD.