Kebijakan ganjil genap di Kota Cirebon, Jawa Barat, menuai pro dan kontra. Meski demikian, regulasi untuk membatasi mobilitas warga ini tetap berjalan. Harapannya, kasus Covid-19 terkendali.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Setelah meminta masyarakat di rumah saja, kini Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, ”merumahkan” kendaraan bermotor demi menekan laju kasus Covid-19. Kebijakan ganjil-genap itu pun menuai pro-kontra.
Sejak Senin (16/8/2021), semua kendaraan tak lagi leluasa melintas di Kota Cirebon. Hanya kendaraan bernomor ganjil yang boleh jalan di tanggal ganjil. Begitu pun dengan kalender genap. Penentuannya dilihat dari angka terakhir nomor polisi kendaraan. Nol termasuk genap.
Sistem ganjil-genap ini berlaku setiap Senin-Sabtu pukul 07.00-17.00. Minggu dan hari libur dikecualikan. Titiknya di ruas Jalan Siliwangi, Karanggetas, Tuparev, Kartini, Cipto Mangunkusumo, Pasuketan, Pekiringan, dan Jalan Pemuda.
Kebijakan ini masih mengecualikan, di antaranya, kendaraan pembawa difabel, ambulans, pemadam kebakaran, angkutan umum berpelat kuning, angkutan daring, dan pers. Kendaraan operasional dinas dan TNI-Polri serta bank juga tidak termasuk.
Pengendara yang melanggar tidak ditilang, tetapi diminta putar balik. Beberapa meter sebelumnya, terpampang pengumuman penerapan ganjil-genap. Selain menutup sebagian ruas jalan, petugas juga berjaga di delapan titik ganjil-genap.
Akan tetapi, tidak setiap waktu ruas jalan tersebut dijaga. Apalagi, setelah pukul 12.00. ”Hanya waktu tertentu ada (penjagaan). Masyarakat jangan terlalu khawatir,” kata Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris La Ode Habibi.
Habibi memastikan, ganjil-genap bukan melarang warga melintas, melainkan mengarahkannya ke jalur lain meski harus menempuh jarak lebih jauh. Harapannya, warga mengurangi mobilitasnya saat pandemi Covid-19.
Metode ganjil-genap pertama kali diusulkan oleh Kapolres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Imron Ermawan. Sistem ini dianggap lebih efisien dibandingkan penyekatan di belasan ruas jalan saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berjilid-jilid.
Belum lagi, kemacetan yang dipicu pemeriksaan surat vaksin dan dokumen lain saat penyekatan. Alih-alih menjaga jarak, kondisi itu bisa membuat kerumunan. Tidak jarang petugas juga beradu mulut dengan pengendara.
Kehilangan anggota
Berjaga di pos lebih dari sebulan menyebabkan petugas kelelahan. ”Anggota saya banyak yang tumbang. Kabagops saya meninggal di PPKM karena Covid-19. Saya kehilangan tiga anggota,” kata Imron sambil menyeka air matanya saat rapat bersama anggota DPRD Kota Cirebon.
Akan tetapi, pembatasan mobilitas tetap harus dilakukan. PPKM level 4 atau yang berisiko tinggi penyebaran Covid-19 juga melekat di Cirebon. Apalagi, kota berpenduduk 340.000 jiwa ini bisa dihuni hingga 2 juta pada pagi sampai sore hari.
”Ganjil-genap ini bukan untuk mengusir rakyat. Kutuk saya, ya Allah kalau saya ada niat begitu,” ucap Imron dengan suara parau. Ia berjanji akan mengevaluasi kebijakan tersebut. Jika dianggap berhasil, sistem ini berlanjut. Bila tidak berdampak, kebijakan itu akan dicabut.
Wali Kota Cirebon Nahrudin Azis paham, tidak semua warga sepakat dengan keputusannya. ”Ribuan follower mencaci maki saya karena ambil kebijakan ganjil genap. Tapi, ini untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 selama PPKM,” katanya.
”Ganjil genap akan merumahkan separuh kendaraan,” ucapnya. Pada 2020, jumlah kendaraan bermotor di kota seluas 37 kilometer persegi itu 172.777 unit. Sebanyak 130.618 di antaranya merupakan sepeda motor. Artinya, kendaraan bisa menurun hingga 86.388 unit.
Kebijakan ganjil genap juga diharapkan memindahkan warga ke moda transportasi publik dan angkutan daring. ”Ini peluang bagi angkutan umum mengais rezeki saat pandemi. Tentu saja jumlah penumpangnya dibatasi sesuai protokol,” ucapnya.
Faktanya, angkutan umum di kota seluas 37 kilometer persegi itu belum memadai. Selain angkot, baru ada 10 bus rapid transit (BRT). BRT ini mulai beroperasi Senin (16/8) setelah sempat terhenti sejak PPKM darurat bulan lalu.
Calon penumpang dapat memanfaatkan BRT secara gratis di 19 halte dari pukul 06.00-18.00 dengan waktu jeda lebih dari 1 jam 15 menit. Jam kedatangan bus pun bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi lalu lintas.
Kepala Bidang Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Cirebon Gunawan mengakui, penggunaan angkutan umum belum optimal karena sistem transportasi tidak terintegrasi. Misalnya, belum ada pembayaran terpadu untuk semua moda angkutan.
Sopir angkot juga masih mengejar setoran sehingga kerap ngetem menunggu penumpang. Belum ada kepastian waktu penumpang tiba di tempat tujuan. ”Di luar negeri, penumpang cari angkutan. Di sini, sebaliknya,” ucapnya.
Meski demikian, Gunawan menilai, ganjil-genap sejauh ini mampu mengurangi kepadatan. ”Evaluasi kami, sekarang banyak titik hijau. Artinya, kendaraan melaju di atas 40 kilometer per jam. Sebelumnya, titik merah (di atas 40 km per jam) banyak sekali,” ungkapnya.
Sekretaris Daerah Kota Cirebon Agus Mulyadi mengatakan, bukan tidak mungkin ganjil-genap berlaku jangka panjang untuk mengantisipasi kemacetan. Apalagi, terdapat 11 pelintasan sebidang kereta api di Cirebon. Sebelum pandemi, kereta api melintas setiap 7 menit.
Anggota Komisi I DPRD Kota Cirebon Harry Saputra Gani mengkritisi sistem ganjil genap yang mencakup sepeda motor. ”Bagaimana dengan orang-orang kecil yang harus kerja dan hanya punya motor? Harus naik ojek? Keluarin biaya lagi,” katanya.
Penggunaan transportasi umum juga dinilai bisa memicu penularan Covid-19. Terlebih lagi, katanya, tidak ada yang bisa memastikan protokol kesehatan dan pembatasan penumpang berjalan di kendaraan umum.
”Ganjil-genap harus direvisi. Lebih baik bangun posko di tempat keramaian. Awasi prokesnya dan lakukan tes. Vaksinasi juga harus ditingkatkan,” ujarnya.
Hampir sepekan berjalan, polemik ganjil genap perlahan mereda. Namun, kritik terkait dengan kebijakan itu belum hilang, seperti pandemi Covid-19 yang entah sampai kapan menyerang.