Nissa Rengganis, Menghidupi Sastra di Cirebon
Dengan buku dan kopi, Nissa Rengganis menghidupkan literasi di Cirebon. Di tengah pandemi, semangat itu terus menebarkan pesan baik bagi semuanya.
Kecelakaan lalu lintas yang sempat mengancam hidupnya semakin meneguhkan tekad Nissa Rengganis (32) untuk menghidupi sastra di Cirebon, Jawa Barat. Penyair perempuan ini mendirikan komunitas literasi hingga menyulap rumahnya menjadi ruang bercakap dengan buku dan kopi.
Rumah Rengganis berada di Taman Kota Ciperna, Kabupaten Cirebon. Rumahnya yang juga kedai kopi itu hanya terpisah pagar dan parit dengan sawah. Halamannya kini menyempit setelah tanahnya ambles, Februari lalu. Sementara saluran air diperluas.
Meski rumahnya tidak selapang dulu, berbincang dengan Nissa bisa ke mana-mana. Dari isi koran lokal hingga soal Malala Yousafzai, perempuan Pakistan peraih Nobel Perdamaian. Seribuan judul buku di kediamannya juga membuka cakrawala pengunjung.
Baca juga : Mimi Tumus, Jari Setia Maestro Kreyo Cirebon
Sebelum pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, Rumah Rengganis acap kali menggelar kelas sastra, diskusi, hingga peluncuran buku. Seniman pantomim Wanggi Hoed, penyair Zawawi Imron, hingga politisi Fadli Zon pernah mampir.
Tjirebon Book Club, komunitas pencinta buku yang turut didirikan Nissa setahun lalu, juga bermarkas di sana. Anggotanya kebanyakan anak lulusan SMA. Mereka membedah aneka buku ditemani embusan angin serta suara truk yang melintas di tol, tidak jauh dari rumah Nissa.
Rumah Rengganis lahir Desember 2019, delapan bulan setelah Nissa dan suaminya, Yogiyanto (37), kecelakaan hebat. Tabrakan dengan tronton itu menyebabkan keduanya dirawat di rumah sakit berbeda beberapa hari.
Jejak kelam kejadian itu masih tersimpan di tubuh Nissa. Di lengan kirinya tertanam pen sepanjang 16 sentimeter (cm), sedangkan kaki kanannya bertumpu pada logam 30 cm. Bekas jahitan menutupinya.
Kondisi itu memaksa keduanya berdiam di rumah beberapa bulan. ”Jadi, sebelum pandemi, kami sudah merasakan WFH (work from home),” kata Nissa yang juga dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Cirebon, Senin (9/8/2021).
Dalam kesunyian itu, Nissa kembali memungut mimpinya membangun ”rumah” sastra di Cirebon. Selama ini, katanya, belum ada tempat nongkrong yang pas bagi pegiat sastra di Cirebon. Kalau ada kafe, bukunya hanya pajangan atau harga kopinya tak ramah kantong.
Ia dan Yogi, suaminya, pun sepakat menghabiskan Rp 50 juta demi menyulap rumahnya menjadi kedai kopi dan perpustakaan. Kopi dan buku coba dikawinkan. Misalnya, beli buku gratis kopi atau arisan buku. ”Banyak yang datang dan tidak kami kenal,” ucap Nissa terharu.
Pernah dalam satu pekan, enggak ada yang datang. Ya, enggak apa-apa. Kami sadar, semua ini sudah cukup. Mau kejar apa lagi? (Nissa Rengganis)
Membuka rumah bagi ruang publik memang menggeser ranah privat mereka. ”Kalau kami sewa ruko, modalnya lebih gede. Ini lebih mengganggu ruang privat kami karena harus berutang. Nanti, bingung lunasin,” celetuk Yogi.
Tiga bulan berjalan, pandemi Covid-19 menghantam kedainya. Mereka kembali berkawan sepi. ”Pernah dalam satu pekan, enggak ada yang datang. Ya, enggak apa-apa. Kami sadar, semua ini sudah cukup. Mau kejar apa lagi?” ungkap Nissa.
Mereka yakin dengan kredo penyair Joko Pinurbo yang tertulis di tembok rumahnya, ”Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi”. Yogi bahkan merasa lebih tenang dibandingkan saat bekerja di bidang otomotif dengan berbagai target bulanan.
Alih-alih menunggu tamu, keduanya malah membeli angkot bekas dan memermaknya menjadi kedai kopi dan perpustakaan mini. Setidaknya dibutuhkan Rp 20 juta membuat Angkot Rengganis itu. Tujuannya, mendekatkan sastra ke ruang publik.
Pernah mereka meminta izin berdiam di halaman perpustakaan milik pemda di Cirebon. ”Tetapi, orang pemdanya bilang enggak ada anggaran, Padahal, kami enggak minta uang. Kalau perlu sewa tempat, kami bayar. Ini untuk literasi juga,” kata Nissa.
Baca juga : Cici Situmorang Menguatkan Toleransi untuk Semua
Manuskrip sepi
Pertemuan Nissa dengan dunia sastra dimulai ketika pelajaran mengarang di sekolah dasar. Apalagi, ibunya seorang guru. Memasuki SMP, ia terpilih sebagai jurnalis cilik atas kerja sama dengan Mitra Dialog, media setempat. Tugasnya, mengaktifkan majalah dinding (mading) sekolah.
Ia pun kian sering ke perpustakaan. Di sana, ia menggumuli buku sastra, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka dan Sitti Nurbaya milik Marah Rusli. ”Karena perpustakaan sekolah enggak update, saya akhirnya mengenal sastra klasik,” katanya.
Beranjak dewasa, anak camat ini menenggelamkan diri dalam lingkungan sastra. Kerap ia berguru dengan almarhum penyair Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy. Ketika kuliah magister di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia juga berburu kelas sastra.
Diam-diam, ia menulis puisi, cerpen, dan esai. Selain dikirim ke media lokal dan nasional, Nissa juga menabung kata-katanya. Puisinya selama 2009-2015 dikurasi lalu diterbitkan dalam buku Manuskrip Sepi.
Karya ini terpilih sebagai salah satu pemenang dalam Anugerah Puisi Indonesia 2015. Sekitar 300 cetakan pertama ludes di pasaran. Cetakan kedua sebanyak 1.000 buku juga diperkirakan habis. ”Saya aja enggak punya bukunya,” ucapnya.
Aku tidak mau cari uang dari sastra, tapi mau menghabiskan uang untuk sastra. (Nissa Rengganis)
Baginya, menulis puisi lebih rumit dibandingkan cerpen atau esai. Sebab, apa yang ingin disampaikan harus terangkum dalam beberapa bait dan bentuknya metafor. Tengoklah penggalan puisinya yang menggambarkan korban perang, ”Malala, 80.000 jiwa tertidur di ranselmu”.
Bahkan, dibutuhkan riset sebelum menggoreskan puisi. Untuk ”Nelayan Pantai Utara”, misalnya, Nissa bolak-balik ke Pantai Kejawanan, Cirebon. ”Aku enggak percaya menulis puisi itu cuma melamun di dalam kamar,” kata penulis dua buku puisi dan belasan buku puisi gabungan ini.
Ia juga sepakat dengan Seno Gumira Ajidarma bahwa ketika pers dibungkam, sastra harus bicara. Puisinya tidak jarang berupa kritik sosial. Seperti ”Malam Pengantin: Senandung bagi Korban Pernikahan Anak”. ”Kegembiraan iring-iringan pengantin mengantarku pada pemangsa lapar,” tulisnya.
Kini, Nissa tengah menyelesaikan buku puisi ketiganya, Suara dari Pengungsian. Puisi tentang pengungsi Rohingya itu ditargetkan terbit Agustus ini. Ia tidak ambil pusing, apakah karyanya laku atau tidak di pasaran. Namun, inilah salah satu upayanya menghidupkan sastra di Cirebon.
”Aku tidak mau cari uang dari sastra, tetapi mau menghabiskan uang untuk sastra,” katanya. Pertanyaan kenapa memilih sastra sering membuatnya kesal. Katanya, itu sama saja mempertanyakan mengapa atlet terus-menerus berolahraga.
”Sampai kapan saya di dunia ini? Enggak ada jawabannya. Sastra ini tidak ada pensiunnya,” ucapnya.
Baca juga : Siti Nuryani dan Perlawanan terhadap Predator Anak di Cirebon
Nissa Rengganis
Lahir : 8 September 1988
Pendidikan :
- SD Kalijaga Permai Kota Cirebon
- SMPN 2 Cirebon
- SMAN 2 Cirebon
- Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
- Magister Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Profesi :
- Dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon
- Pendiri Rumah Rengganis
Suami : Yogiyanto
Karya :
- Manuskrip Sepi (2015)
- Obituari Puisi (2019)