Siti Nuryani dan Perlawanan terhadap Predator Anak di Cirebon
Ancaman pandemi Covid-19 tidak menyurutkan langkah Siti Nuryani (45) blusukan ke rumah anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Baginya, keganasan predator anak seperti virus korona baru.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Ancaman pandemi Covid-19 tidak menyurutkan langkah Siti Nuryani (45) blusukan ke rumah warga korban kekerasan seksual di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Baginya, predator anak tak kalah ganas dibandingkan virus korona baru penyebab Covid-19.
Juni 2020, ketika kasus Covid-19 terus meningkat, Siti Nuryani yang biasa disapa Yani nekat menjemput anak korban kekerasan seksual di Kecamatan Ciwaringin. Sang korban adalah pelajar berusia 17 tahun dan sedang mengandung dua bulan. Ia diduga dihamili mantan pacarnya.
Dia diperkosa kakak kandungnya sejak usia 15 tahun.
Sebulan sebelumnya, Yani mendatangi perempuan berusia 20 tahun asal Weru, korban kekerasan seksual yang tengah hamil delapan bulan. ”Dia diperkosa kakak kandungnya sejak usia 15 tahun,” kata Yani, Senin (24/8/2020).
Keduanya kini berada di rumah aman, yang juga tempat tinggal Yani, di Kecamatan Sumber. Satu dari tiga kamar dikhususkan untuk korban kekerasan seksual. Di sana, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Cirebon ini membagi perhatian, mendampingi, sekaligus merawat korban.
Yani yang sudah mendampingi puluhan kasus serupa terbiasa menyisihkan honor mengajarnya untuk kebutuhan rumah aman hingga membantu persalinan perempuan korban kekerasan seksual. Ia juga kerap menebus obat untuk korban. ”Lihat buku tabungan ternyata sudah habis. Uang itu untuk bekal di akhirat,” kata guru SMK Caruban Nagari, Cirebon, ini berharap.
Pendampingan intensif memang diperlukan untuk menghilangkan trauma korban kekerasan seksual sembari menunggu persidangan kasusnya. Bagaimana tidak, pelaku kekerasan seksual biasanya orang yang punya hubungan dekat dengan korban. Alih-alih mendapat simpati, korban juga sering dicemooh sebagai orang yang tidak mampu menjaga diri, dituduh berpakaian terbuka, dan banyak lagi.
Pertimbangan inilah yang membuat Yani tak gentar mengunjungi korban untuk memberi dukungan meski di tengah pandemi. ”Yang penting, pakai masker, rajin cuci tangan, dan jaga jarak,” kata Yani yang juga sukarelawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Cirebon.
Ketika Covid-19 mulai menyebar pada Maret dan April 2020, ia sempat menghentikan kunjungan ke rumah korban. Ia dan sukarelawan juga tidak lagi berkeliling ke desa-desa untuk membagikan informasi terkait pola asuh anak hingga mengenali ciri-ciri korban kekerasan seksual.
Di sini pentingnya mengenali tanda korban kekerasan seksual, seperti lebih banyak menyendiri, takut ke kamar mandi.
”Di sini pentingnya mengenali tanda korban kekerasan seksual, seperti lebih banyak menyendiri, takut ke kamar mandi, atau merasa sakit saat bagian vitalnya disentuh,” ungkap Yani.
Ketika ia berhenti bergerak, ternyata terjadi lagi kasus kekerasan seksual dengan korban anak usia lima tahun di Ciwaringin, Mei 2020. Pelakunya adalah tetangga sendiri. Sayangnya, sang ibu baru menyadari bahwa anaknya jadi korban predator seksual sehari setelah kejadian. Sebelumnya, sang ibu sibuk menyiapkan acara peringatan duka 40 hari ayahnya yang meninggal.
Baginya, kasus kekerasan seksual terhadap anak itu seperti Covid-19, tidak mengenal libur dan terus menyebar. Kejadian berlangsung di rumah saat anak-anak tidak berkegiatan. Korban pun selalu terlihat oleh pelaku yang juga orang dekatnya.
Hingga Juli 2020, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Cirebon mencatat sekitar 40 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lebih dari setengahnya merupakan pencabulan atau pemerkosaan. Tahun lalu, Unit PPA mencatat 53 kasus pencabulan atau pemerkosaan di Cirebon.
Melihat angka itu, perlawanan terhadap kekerasan seksual di Cirebon tidak boleh terhenti meski ada pandemi. Apalagi, Cirebon berstatus Kota Layak Anak Kategori Pratama pada 2018.
Hobi membantu
Yani menceburkan diri untuk mendampingi anak korban kekerasan sejak 2012. Ketika itu, ia kerap pergi ke Jakarta untuk ikut kegiatan LPA. Ia berjumpa dengan aktivis perlindungan anak, seperti Arist Merdeka Sirait dan Seto Mulyadi.
Yani yang saat itu menjadi Sekretaris Himpunan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Cirebon juga sempat mengikuti kursus pendidikan anak yang difasilitasi Astra. Dari pembelajaran itu, ia turut membantu anak penderita leukemia, kurang gizi, dan korban pemasungan.
”Saya terinspirasi almarhum Bapak yang hobi membantu orang,” ucapnya. Bapaknya dulu merupakan ketua RW dan pegawai di Kecamatan Sumber. Tidak hanya menggelar kegiatan sosial, sang ayah turut membantu warga yang sakit tanpa pamrih.
Kini, Yani melalui jalan sepi pendampingan anak korban kekerasan. Tidak jarang ia menitikkan air mata ketika mendapati seorang anak yang dari usia empat tahun hingga berusia 20 tahun jadi korban kekerasan seksual pamannya sendiri. Kadang, ia pun marah besar kepada orang yang mengaku wartawan yang mengumbar identitas atau bahkan memuat gambar korban kekerasan.
Pilihan hidupnya ini kerap tak sejalan dengan sebagian orang. Ia pernah dilaporkan kepada polisi karena dituduh mengambil hak asuh anak. Padahal, ia mendampingi korban. Selain itu, dia pernah bekonflik di media sosial dengan seseorang yang menyekap anak selama dua minggu setelah keduanya berkenalan di media sosial.
”Saya tantangin yang nyekap supaya ketemu. Ternyata, dia takut dan anaknya lepas pukul 03.00 pagi. Anak itu kini menjalani pendidikan di pondok pesantren bersama tiga korban kekerasan seksual lain yang pernah saya dampingi,” katanya.
Yani mengatakan ikhlas melakoni semuanya. Sang suami, Irlandriyanto, yang bekerja di sebuah penyelenggara acara (event organizer) pun mendukung meski usahanya sempat terdampak pandemi. Kini, Yani bahkan dibantu sejumlah anak karang taruna dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon untuk mencegah kasus kekerasan anak.
”Saya capek pikiran. Banyak kasus, tetapi banyak yang enggak peduli. Kadang saya berpikir untuk off (berhenti). Tetapi, siapa yang mau melanjutkannya?” kata Yani.
Perjalanan Yani melawan predator anak bisa jadi tidak rampung dalam waktu dekat. Selama informasi mengenai kerawanannya sangat rendah, potensi anak menjadi korban masih terus ada.
Siti Nuryani
Lahir: Cirebon, 3 Agustus 1975
Suami: Irlandriyanto
Pendidikan:
SDN 1 Sumber (lulus 1989)
SMPN 1 Sumber (1992)
Pondok Pesantren Nurul Iman, Jawa Tengah (1995)
Paket C di PKBM Nurdjati Sumber (2008)
S-1 Prodi Pendidikan Guru PAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Cirebon (2013)
Aktivitas: Guru SMK Caruban Nagari, Dukupuntang, Cirebon