Candi Hindu Klasik di Bawah Makam Ki Gede Ing Suro Palembang
Makam Ki Gede Ing Suro di Palembang, Sumatera Selatan, disinyalir bagian dari candi bercorak Hindu bergaya klasik tua yang sudah ada sebelum masa Kedatuan Sriwijaya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Makam Ki Gede Ing Suro di Palembang, Sumatera Selatan, disinyalir adalah bagian dari candi bercorak Hindu bergaya klasik tua yang sudah ada sebelum masa Kadatuan Sriwijaya. Hal ini dilihat dari hasil penelitian fondasi, ragam hias, dan tata spasial yang ada di kawasan tersebut.
Pernyataan itu disampaikan peneliti candi Sriwijaya dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Ardiansyah, Selasa (24/8/2021). Makam Ki Gede Ing Suro terletak di Kawasan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I. Kawasan ini adalah 1 dari 32 kawasan makam tua yang tersebar di Palembang.
Tampak dari luar, kompleks ini berisikan makam-makam para bangsawan pada masa Kerajaan Islam Palembang, yang merupakan cikal bakal Kesultanan Palembang Darussalam. Salah satunya adalah makam Ki Gede Ing Suro atau Ki Mas Anom yang memerintah Kerajaan Palembang pada 1582-1587.
Ayah dari Ki Gede Ing Suro adalah Ki Gede Ing Lautan. Ki Gede Ing Lautan merupakan salah satu dari 24 bangsawan Kesultanan Demak yang menyingkir ke Palembang setelah terjadi kekacauan di sana.
Dari hasil penelitian, Ardiansyah menilai secara arsitektural makam Ki Gede Ing Suro dulunya adalah sebuah candi bercorak Hindu yang dibangun sekitar abad ke-6 hingga 9 Masehi. Hal ini dapat dibuktikan dari sisi tata spasial, di mana posisi makam sejajar dengan podium yang mengarah ke barat daya.
”Padahal, biasanya makam Muslim akan mengarah ke kiblat atau ke barat laut,” ucap Ardiansyah, yang juga dosen Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Unsri itu.
Selain itu, dalam Islam, ujar Ardiansyah, juga tidak diperbolehkan makam berada di posisi yang tinggi, sementara makam Ki Gede Ing Suro berada di atas podium. Makam ini juga berada 400 meter di utara Sungai Musi.
Letak dan konsep ini memiliki kemiripan dengan tata spasial Candi di Muaro Jambi di Jambi, Candi Bumiayu di Sumsel, dan Candi Padang Roco di Sumatera Barat. Candi-candi itu memiliki pola bentuk yang sama dengan candi bercorak Hindu bergaya klasik tua. Karakter candi bergaya klasik tua di Sumatera mirip dengan candi bercorak Hindu di Jawa Timur.
Candi bergaya arsitektur klasik tua memiliki karakteristik dua bangunan utama yang membentuk sumbu imajiner utara-selatan. Di sisi utara merupakan bangunan utama, sedangkan di sisi selatan merupakan bangunan perwara utama.
Hal ini didukung dengan bahan material yang berbeda antara candi utama dan perwara utama. ”Candi utama berbahan material pasir, sedangkan candi perwara utama berbahan bata,” ujar Ardiansyah.
Dia memaparkan, alasan candi ini bisa menjadi makam dimungkinkan karena telah terjadi pemugaran pada candi. Ini bisa dibuktikan dengan adanya konstruksi dan motif di sekitar podium yang berbeda dengan motif yang ada di fondasi makam.
Bisa jadi akan ditemukan sejumlah candi lain di sekitar kawasan makam Ki Gede Ing Suro.
Dari hasil penelitian ini, Ardiansyah menduga kawasan makam Ki Gede Ing Suro dulunya adalah kawasan candi yang sudah ada sebelum Kedatuan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7. Dugaan lain adalah pada awal hegemoni Kedatuan Sriwijaya, pengaruh Hindu masih cukup kuat di masyarakat.
Dengan temuan ini, Ardiansyah berpendapat, kawasan Ilir Palembang bisa jadi adalah kawasan candi yang menjadi tempat ritual oleh masyarakat pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Palembang. ”Bisa jadi akan ditemukan sejumlah candi lain di sekitar kawasan makam Ki Gede Ing Suro,” ujarnya.
Bagian candi
Pada Desember 2020, tak jauh dari lokasi makam Ki Gede Ing Suro juga ditemukan jajaran batu kapur dengan tinggi setiap batu sekitar 44 sentimeter (cm) dengan ketebalan 38 cm dan panjang 40 cm. Jajaran batu ini diduga merupakan bagian dari candi yang usianya lebih muda dibandingkan candi yang ada di kawasan makam.
Batu-batu ini diduga merupakan bagian dari candi yang dibangun pada abad ke-13 hingga ke-14 atau saat Palembang mengalami kekosongan pemerintahan setelah runtuhnya Kedatuan Sriwijaya. Temuan itu memperkuat dugaan bahwa kawasan itu merupakan lokasi penting.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, mengatakan, batu-batu kapur itu merupakan bagian dari candi yang dibangun saat masa peralihan Kerajaan Sriwijaya ke Kerajaan Palembang sekitar abad ke-13 hingga ke-14. Dugaan itu muncul karena bentuk batu hampir sama dengan batu yang ada di Candi Lesung Batu di Musi Rawas Utara, yang diperkirakan dibangun di zaman yang sama.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya, ujar Retno, kawasan ini diduga merupakan tempat dibangunnya kawasan beribadah agama Buddha (Wihara). Hal ini tertuang pada dua fragmen Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Telaga Biru, Kota Palembang.
Pada masa Kedatuan Sriwijaya, karakter masyarakatnya sudah heterogen sehingga semangat toleransi antarumat beragama menjadi yang utama.
Perintis Pusat Kajian Sriwijaya, Erwan Suryanegara, menjelaskan, kawasan makam Ki Gede Ing Suro merupakan tempat yang sangat penting dari mulai masa Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Bahkan, kemungkinan kawasan itu adalah tempat berdirinya Istana Kedatuan Sriwijaya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya temuan bersejarah di sekitar kawasan tersebut. Bahkan, berdasarkan pemaparan dari pencari harta karun di Sungai Musi, di kawasan itulah terdapat banyak temuan, seperti emas dan barang berharga lainnya.
Di sisi lain, ujar Erwan, pada masa Kedatuan Sriwijaya, karakter masyarakatnya sudah heterogen sehingga semangat toleransi antarumat beragama menjadi yang utama. Namun, ini perlu diteliti lebih lanjut, tidak hanya dari sisi arkeologi, tetapi dari sisi multiperspektif. ”Kita harus mengkaji dari sisi sosial budaya masyarakat di masa itu agar data yang kita dapat bisa lebih komprehensif,” katanya.
Menurut dia, banyak candi yang dibangun pada masa Kedatuan Sriwijaya. Bahkan, dia menduga Borobudur merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat terlihat dari relief kapal yang ada di bagian Candi Borobudur yang diduga adalah kapal milik Kedaauan Sriwijaya.
”Karena kerajaan maritim pada masa itu hanya Sriwijaya. Kerajaan di Pulau Jawa bukan kerajaan maritim,” kata Erwan. Selain itu, Borobudur yang artinya candi di atas bukit juga memiliki hakikat yang sama dengan Bukit Siguntang yang ada di Palembang. Keduanya menjadi pusat belajar bagi pemuka agama Buddha pada masa itu.
Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Sumsel Farida Wargadalem berpendapat, sudah saatnya untuk menghidupkan kembali Pusat Kajian Kerajaan Sriwijaya. Ini dengan membangun laboratorium terbuka bagi semua peneliti dari berbagai keilmuan, mulai dari arsitektur, hukum, hingga budaya.
Dalam waktu dekat, ujar Farida, Universitas Sriwijaya akan menyiapkan lahan seluas 1,5 hektar yang dibagi dalam delapan zona untuk kepentingan penelitian. Dari ke delapan zona tersebut, salah satunya bisa digunakan untuk membangun kembali miniatur dari Kedatuan Sriwijaya.