Kaji Pengaruh Hindu-Buddha, Makam Muslim di Palembang Diteliti
Banyaknya ragam hias pada makam di masa Kerajaan dan Kesultanan Palembang yang ditemukan para peneliti menunjukkan kuatnya toleransi di antara warga Palembang pada masa itu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Tim Balai Arkeologi Sumatera Selatan meneliti makam Islam di masa Kerajaan dan Kesultanan Palembang. Beragam ragam hias di makam Islam yang ditemukan para peneliti menunjukkan kuatnya toleransi di antara warga Palembang pada masa itu.
Jumat (4/9/2020), tim peneliti mendatangi makam di masa Kerajaan dan Kesultanan Palembang, yakni Kawah Tekurep dan Kawasan Makam Gede Ing Suro, yang terletak di Kelurahan Tiga Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Kawasan pemakaman itu merupakan tempat peristirahatan terakhir sejumlah raja dan sultan yang pernah memerintah pada masa Kerajaan dan Kesultanan Palembang sekitar abad ke-16-18.
Peneliti dari Balai Arkeologi Sumsel, Retno Purwanti, menuturkan, setelah tiga hari meneliti kawasan Kawah Tekurep, dirinya menemukan hampir semua nisan pada makam yang ada memiliki sejumlah ragam hias. ”Ragam hias yang kerap ditemukan hampir memiliki kesamaan dengan ornamen candi ataupun arca yang ditemukan di Jawa Timur, baik pada masa Singasari maupun Majapahit, yang kuat dengan pengaruh Hindu-Buddha,” kata Retno.
Ragam hias yang dimaksud adalah ragam hias surya Majapahit yang telah disesuaikan dengan nilai keislaman. Pada sejumlah nisan ditemukan surya Majapahit dengan delapan sinar.
Pada candi yang dipengaruhi Hindu-Buddha, pada delapan sinar tersebut terdapat delapan dewa. Namun, di makam Islam, gambar dewa itu diganti dengan delapan jenis bunga. ”Dalam Islam tidak boleh menggambarkan sebuah tokoh ataupun mahluk yang berdarah,” ucap Retno.
Pada makam Ratu Agung, yang merupakan istri Sultan Muhammad Bahauddin yang memerintah Kesultanan Palembang antara tahun 1776-1803, ditemukan surya Majapahit dengan 16 sinar. ”Ini sarat dengan pengaruh Hindu yang biasanya digambarkan dengan 16 dewa. Namun, jika disesuaikan dengan nilai keislaman, sebenarnya ada 17 sinar di surya Majapahit yang mewakili 17 rakaat dalam shalat,” kata Retno.
Selain itu, ungkap Retno, ditemukan juga nisan berbentuk godam di makam ulama, Datuk Murni Al Hadad, yang merupakan guru spiritual Sultan Mahmud Bahauddin. Godam merupakan ciri khas nisan Aceh dengan pucuk berbentuk bunga teratai. Bunga teratai (padma) sarat dengan pengaruh Buddha yang menggambarkan perjalanan Buddha Gautama.
Selain dari ragam hias nisan, ujar Retno, posisi makam juga menunjukkan posisi dan status sosial seseorang. Semakin dekat posisi makam itu dengan makam sultan, posisi dan status sosial yang dimakamkan akan semakin tinggi.
Biasanya, di samping makam sultan, susuhunan, atau raja Palembang, terdapat makam para guru spiritual atau penasihat politik. Mereka kebanyakan adalah ulama. Di sisi lainnya, ada makam istri sultan dan pangeran.
Adapun di kawasan Makam Ki Gede Ing Suro, pengaruh Hindu-Buddha terlihat pada arsitektur makam yang bentuknya menyerupai candi Majapahit dengan hiasan bunga di dindingnya dan di tangga candi. Bentuk makam pun bertingkat.
Beragam ragam hias pada pemakaman di masa Kerajaan dan Kesultanan Palembang menandakan kuatnya toleransi di antara masyarakat.
Peneliti Balai Arkeologi Sumatera Selatan spesialisasi Hindu-Buddha, Sondang Martini Siregar, mengungkapkan, kawasan Makam Ki Gede Ing Suro merupakan satu-satunya makam yang memiliki gaya arsitektur khas Majapahit.
Menurut Sondang, ciri khas makam Islam pada masa Kerajaan dan Kesultanan di Palembang biasanya terletak di kawasan yang tinggi, baik itu di perbukitan maupun di atas candi. ”Karena makam merupakan tempat yang suci, tentu keberadaannya harus di tempat yang tinggi,” ucapnya. Sementara candi pada masa kerajaan Hindu-Buddha juga dibangun di tempat yang tinggi, seperti Candi Bumi Ayu dan Bukit Siguntang.
Tempat tinggi dipilih karena dulunya Palembang adalah kawasan rawa sehingga untuk membangun makam dicari tempat yang tidak terendam air. Ini berbeda dengan kawasan permukiman yang biasanya berada di atas sungai. ”Dulu banyak permukiman berbentuk rumah tiang karena di bagian bawah rumah biasanya digenangi air,” ucapnya.
Retno mengatakan, beragam ragam hias pada pemakaman pada masa Kerajaan dan Kesultanan di Palembang menandakan kuatnya toleransi di antara masyarakat. ”Di saat itu, agama Islam, Hindu, dan Buddha sedang sama-sama berkembang, tetapi mereka tetap berinteraksi,” ucap Retno.
Sebagai kawasan perairan, Palembang menjadi tujuan perdagangan bagi sejumlah bangsa dan etnis, seperti Arab, Tionghoa, dan Jawa. ”Namun, kedatangan mereka tidak untuk memperkuat budaya lama mereka, tetapi beradaptasi dengan budaya lokal yang sudah ada,” ucapnya.