Jejak Panjang Bunga dan Tanaman Hias di “Swiss Kecil”
Kota Batu yang terkenal dengan sebutan “De Klein Switzerland” atau Swiss Kecil memiliki cerita panjang soal bunga, sejak dari zaman kolonial hingga milenial.
Semilir angin pegunungan membuat terik matahari, Rabu (4/8/2021) siang, itu tak begitu terasa menyubit kulit. Sambil membelakangi Gunung Panderman yang terlihat bersih tanpa awan, Suliadi (61) sibuk menata tanaman hias yang ia kembangkan di dalam polybag-polybag kecil.
Sudah puluhan tahun petani asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, itu menggeluti bunga dan tanaman hias. Bersama petani lainnya, Dia meninggalkan tanaman lama yang identik dengan Kota Batu, yaitu apel. Suliadi juga pernah bercocok tanam sayur mayur.
“Setelah apel, petani sini sempat menanam bawang dan sayuran lain, termasuk saya. Langkah itu dilakukan karena lebih mudah dibanding apel yang biaya perawatannya tinggi dan rumit. Itu tahun 1970-an,” kata Suliadi yang memiliki lahan untuk bertani bunga seluas 1.000 meter persegi, Rabu (4/8/2021).
Masih ingat di benak Suliadi bunga apa yang banyak ditanam petani kala itu, salah satunya mawar. Harganya pun masih ripisan (sen). Baru selepas tahun 2000-an pasar bunga semakin ramai dengan hadirnya varian-varian baru, seperti anthurium, gladiol, dan masih banyak lagi.
Kawasan Sidomulyo, Gunungsari, dan Punten, dan beberapa desa lainnya kini menjadi sentra bunga dan tanaman hias di Batu. Dari daerah inilah, flora cantik itu mengalir ke banyak daerah, baik di Jawa Timur maupun luar provinsi. Wujudnya dari tanaman hias dalam pot hingga bunga potong segar yang menjangkau pasar Ibu Kota dan Bali.
Baca juga: Soto dari Kisah Tentang Cinta, Perang hingga Kebersamaan
Batu dan wilayah Malang Raya memang memiliki kesejarahan tanaman hias yang panjang. Batu—dengan tiga kecamatan dan penduduk sekitar 240.000 jiwa—awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Malang. Batu menjadi daerah administratif 6 Maret 1993 dan menjadi daerah otonom sejak 17 Oktober 2001.
Di kawasan Malang Raya jejak tanaman hias sudah ada sejak masa Hindu-Budha atau paruh pertama abad X. Sejarawan Universitas Negeri Malang M Dwi Cahyono mengatakan informasi tanaman hias itu bisa dilihat pada Prasasti Bulul yang dalam perkembangannya berubah menjadi Bunul (Bunulrejo sekarang).
Di dalam prasasti itu menyebut anugerah dari Rakryan Kanuruhan—kepanjangan tangan dari Mpu Sindok di era Mataram Kuno--kepada seseorang Pu Bulul (rohaniawan dan tokoh masyarakat). Nama Pu Bulul kemudian diabadikan oleh warga menjadi Bunulrejo, salah satu kelurahan di Kota Malang.
Pu Bulul, kata Dwi mendapat anugerah tanah perdikan (sima) karena jasanya dalam membudidayakan bunga. Nama bunga tidak disebutkan namun ada kemungkinan yang dimaksud di sini adalah bunga tabur.
Baca juga: Petani Bunga di Batu Bergeming di Tengah Pandemi
“Mulai India-Nusantara bunga itu dibutuhkan untuk kepentingan upacara. Persembahan bunga, kan ada untuk dewata. Malang kala itu menjadi pusat pemerintahan Mataram di era Sindok. Persembahan bunga juga tampak di prasasti lainnya, seperti Muncang,” katanya.
Kebutuhan akan bunga berkembang hingga masa-masa berikutnya, baik Singosari hingga Majapahit, termasuk pada masa kolonial. Beberapa daerah sentra bunga di Batu dulunya pernah ditinggali orang Belanda, seperti Gunungsari dan Punten. Merekalah yang kemudian merintis budidaya bunga di kawasan itu.
Orang-orang Belanda melirik Batu memang menjadi sebuah keniscayaan karena kondisi alam daerah ini bagus. Bahkan, mereka menyejajarkan Batu layaknya Swiss di Eropa sehingga julukan sebagai “Swiss Kecil” atau “De Klein Switzerland” tersematkan di Batu.
Orang Belanda merintis bunga di kawasan itu tahun 1910-an akhir sampai 1930-an. Budidaya bunga kala itu, kata Dwi Cahyono dilakukan untuk mencukupi kebutuhan yang terus bertambah karena di Malang juga banyak warga Belanda dan orang-orang kaya lainnya.
“Bunga saat itu menjadi semacam pethetan, hiasan rumah bagi orang kaya di masa itu. Tak mengherankan kalau kemudian saat ini juga masih bisa ditemukan jejak-jejak pot-pot lama di Kota Malang, di sekitar Pasar Besar,” ucap Dwi.
Kebutuhan bunga saat itu menjadi keniscayaan karena kegiatan pembangunan kawasan di Kota Malang melaju pesat. Selain pembangunan arsitektural, Belanda dalam hal ini Herman Thomas Karsten juga membangun taman-taman kota, seperti Alun-alun Bundar (Tugu), Taman Semeru, hingga Boulevard Ijen yang masih diwarnai oleh bunga.
Baca juga: Jalan Panjang Apel Malang
Bahkan, sebelum punya lambang tugu dan bintang dengan semboyan Malang Kucewara seperti saat ini, lambang Kota Malang pada masa kolonial sempat beberapa kali mengalami perubahan. Hal yang menarik, dari beberapa kali perubahan itu menyertakan bunga dan singa Belanda dalam sebuah perisai yang diapit dua ekor singa lain.
Bunga saat itu menjadi semacam pethetan, hiasan rumah bagi orang kaya di masa itu. Tak mengherankan kalau kemudian saat ini juga masih bisa ditemukan jejak-jejak pot-pot lama di Kota Malang, di sekitar Pasar Besar
Menengok website Kelurahan Sumbersari, menyebut bahwa lambang pertama Kota Malang dilengkapi semboyan Malang Nominor Sursum Moveor yang berarti “Malang Kotaku Maju Tujuanku”. Tidak hanya itu, lambang serupa juga diadopsi sebagai perangko yang diterbitkan Koffie Hag, Amsterdam, 1925-1935.
Perkembangan bunga di masa Kolonial terus berkembang hingga beralih pada masa pendudukan Jepang. Saat pendudukan Jepang kebutuhan akan bunga menyusut karena fokus saat itu tertuju ke peperangan dan kemerdekaan. Kebutuhan akan bunga di Batu dan sekitarnya kembali bergeliat di masa Orde Baru, antara tahun 1970-an sampai 1980-an.
Baca juga: Malang Flower Carnival Kembali Digelar
Seiring perkembangan zaman, juga muncul obyek-obyek wisata yang kemudian mengadopsi bunga sebagai salah satu daya tarik. Salah satunya Taman Rekreasi Selecta di Desa Tulungrejo, masih di Kecamatan Bumiaji. Selecta yang memiliki kolam renang dan hotel di dalamnya merupakan wahana wisata paling awal di Batu.
Mengutip laman situsbudaya.id, Selecta didirikan oleh orang Belanda Franciscus de Ruijter de Wildt tahun 1928. Ruijter (kelahiran Banyumas 24 Februari 1891) merupakan anak seorang administrator pabrik gula Klampok di Banyumas, Jacobus Franciscus de Ruijter de Widlt.
Direktur Selecta Sujud Hariadi, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan sebelum Selecta sebenarnya ada hotel yang berdiri lebih dulu di Songgoriti, Kelurahan Songgokerto, masuk wilayah Kecamatan Batu.
“Selecta sendiri berdiri tahun 1930. Ruyter (Ruijter) pertama datang ke Selecta tahun 1927-an. Dia jalan-jalan dan berencana membeli tanah di situ untuk pertanian, sayur dan susu sapi. Namun setelah melihat kontur tanah indah, dia berubah membuat hotel--karena melihat di Songgoriti ternyata juga ada hotel dan sumber air panas,” katanya.
Dalam perkembangannya, tahun 1950 Selecta diambil alih oleh warga yang membeli tempat itu secara patungan. “Saat ini juga masih punya warga, patungan 1.100 orang pemiliknya. Pengelolaannya dalam bentuk PT (Perseroan Terbatas),” katanya.
Menurut Sujud dari luas Selecta yang mencapai sekitar 18 hektar, tiga ha di antaranya dipakai untuk bunga dan taman. Sisanya untuk hotel, kolam renang, dan resto. Berbagai tanaman bunga dan tanaman hias lainnya ditata indah di kaki barat daya Gunung Arjuno itu.
Sejumlah tanaman unik, seperti moringa dari Afrika, maja, dan brotoseno juga bisa ditemukan di obyek wisata yang dikunjungi lebih dari satu juta wisatawan per tahun pada masa normal itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa tahun terakhir bermunculan obyek wisata di Batu dan sekitarnya yang mengadopsi bunga dan dikemas secara kekinian mengikuti perkembangan zaman. Di Jurangrejo, Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang yang berbatasan dengan Batu, berdiri obyek wisata flora Sun Terra tahun 2019.
Baca juga: Menutup Kisah Kejayaan Trem Uap Malang
Tahun 2021 berdiri Batu Love Garden di Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji. Obyek wisata yang masih bagian dari Jatim Park Grup ini juga memadukan aneka flora dengan arsitektural bangunan pendukung yang instagramable menyasar kaum milenial.
Pemerintah Kota Batu sendiri sadar betul dengan potensi di wilayahnya. Hal ini tampak dari tagline “Shining Batu” yang menyertakan garis lengkung warna hijau yang menggambarkan komoditas pertanian yang menjadi potensi utama daerah itu. Dari sejumlah komoditas pertanian, salah satunya tentu terkait dengan bunga dan tanaman hias.
Event rutin berbau bunga juga biasa digelar, salah satunya Malang Flower Carnival yang sebelum pandemi rutin diadakan setiap tahun di Kota Malang. Dalam kegiatan itu, peserta karvinal dari sejumlah daerah, menyusuri ruas jalan di Kota Malang sambil mengenakan kostum berbau bunga.
Bunga sendiri menjadi komoditas alternatif petani di Batu. Saat harga komoditas lain anjlok, bunga acapkali lebih stabil dan mampu menolong saat petani. Termasuk ketika di awal-awal pandemi beberapa bulan lalu, bunga banyak diburu konsumen seiring banyaknya warga yang harus beraktivitas dari rumah.
Dari sekian banyak jenis flora yang ada, sedikitnya ada 24 jenis bunga dan tanaman hias di Batu yang produksinya tercatat Badan Pusat Statistik setempat. Dari puluhan jenis itu, yang menempati posisi teratas adalah anggrek, mawar, krisantium, anthurium, philodendron, anyelir, gladiol, dan herbras.
Di Batu, bunga tak sekadar menghiasi, namun juga menghidupi dan mewarnai hidup warganya.
Baca juga: Brumbung Surga Jejak Peradaban Masa Lalu di Kaki Kelud