Jalur trem kuno ditemukan saat revitalisasi kawasan Kayutangan, Malang. Rel yang ditemukan diputuskan untuk kembali ditutup. Kisah kejayaan trem malang pun benar-benar akan ditutup.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pekerja proyek revitalissi Kayutangan, Malang, Jawa Timur, Rabu (11/11/2020), menemukan rel kuno sepanjang lebih kurang 20 meter saat menggali Jalan Jenderal Basuki Rachmat. Rel kuno tersebut diduga merupakan jalur trem uap sejak 1903. Hasil kesepakatan bersama, rel akan kembali ditutup.
Temuan rel kuno trem uap tersebut berlokasi di perempatan Jalan Basuki Rachmat dan di sekitar perempatan PLN. Secara umum, saat ditemukan, rel tersebut, meski sudah berkarat, masih tampak kuat. Hanya saja, sudah sulit dicari angka tahun yang tampak pada rel sebab rel sudah tertutup aspal dan cor. Bantalan rel terbuat dari kayu pun masih kelihatan meski sebagian sudah lapuk.
”Jalur trem ini dikatakan sudah ada sejak tahun 1903. Semula ada beberapa opsi menangani jalur trem ini, seperti menutupnya dengan kaca sebagian, menutup kembali seperti biasa, dan yang akhirnya diputuskan adalah menutup dengan batuan andesit, tetapi dengan batu yang berbeda warna. Agar orang tahu bahwa di bawah jalan ini ada jalur trem,” kata Wali Kota Malang Sutiaji, Rabu (11/11/2020), seusai meninjau lokasi temuan jalur trem tersebut.
Sutiaji mengatakan bahwa sebelumnya sudah ada kesepakatan antara petugas proyek, KAI, dan Pemkot Malang terkait dengan penutupan kembali jalur trem tersebut. ”Jika ditutup dengan kaca, apa kuat dilalui puluhan ton kendaraan setiap hari, belum lagi kalau nanti licin. Opsi yang bisa tadi diputuskan adalah ditutup kembali dan harapannya untuk jalur rel ini akan diberi batuan andesit berbeda sehingga orang tahu bahwa di bawah jalan ini adalah bekas jalur trem,” kata Sutiaji.
Endiarto ”Totok” Wijaya, pencinta trem dari komunitas Railfans Malang +444, mengatakan bahwa trem Kayutangan tersebut merupakan bagian dari rute trem Jagalan-Blimbing yang beroperasi sejak 15 Februari 1903. Trem tersebut merupakan trem uap untuk angkutan orang.
Jika ditutup dengan kaca, apa kuat dilalui puluhan ton kendaraan setiap hari, belum lagi kalau nanti licin.
Adapun trem untuk angkutan tebu akan melalui Pasar Buku Wilis, Dinoyo, dan menuju Blimbing. Trem pengangkut orang dan tebu, menurut Totok, beda. Rel untuk pengangkut orang memiliki lebar 1.067 milimeter (mm), sedangkan lebar rel pengangkut tebu 700 mm.
Sebagai pengamat trem, Totok sadar bahwa menghidupkan kembali trem di Malang memang akan lebih susah. Namun, ia berharap tetap ada bagian kecil dari jalur trem itu yang bisa dilihat oleh masyarakat.
”Sebagai kota sejarah, harapan kami adalah bahwa trem itu tidak kembali ditutup, tetapi sebagian disisakan agar tetap tampak dan nanti ada plakat penunjuk yang menyatakan di lokasi tersebut ada bekas jalur trem. Ada contoh-contohnya, seperti di luar negeri. Tujuannya adalah penanda agar generasi penerus kita paham mengenai sejarah kotanya,” kata Totok.
Pencinta sejarah dari komunitas Malang Raya Heritage, Tjahjana Indra Kusuma, mengatakan bahwa jalur trem tersebut ada sejak 1903 dan mulai ditutup tahun 1959. ”Jalur trem ini mulai Blimbing hingga Jagalan, atau sekitar 6 kilometer (km) lebih kurang panjang jalurnya,” kata Indra.
Sebagai kota sejarah, harapan kami adalah bahwa trem itu tidak kembali ditutup, tetapi sebagian disisakan agar tetap tampak dan nanti ada plakat penunjuk yang menyatakan di lokasi tersebut ada bekas jalur trem.
Trem uap di Malang dikelola oleh Malang Stoomtram Maatschappij (MS). MS mendapatkan konsesi pembangunan jalan trem pada 1894 dan selesai tahun 1901 (untuk bisa diperpanjang lagi).
Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I karya Tim Telaga Bakti Nusantara bekerja sama dengan Asosiasi Perkeretaapian Indonesia (APKA) terbitan Angkasa Bandung tahun 1997 dijelaskan bahwa trem adalah angkutan jarak dekat dan hanya mengangkut penumpang semata. Berbeda dengan kereta api yang melayani jalur panjang.
Dalam buku tersebut ditulis bahwa di Malang ada sekitar sembilan jalur yang dilayani trem. Di sepanjang jalur tersebut, biasanya trem akan berhenti di beberapa stasiun yang dilintasi.
Jalur trem yang saat itu pernah ada di Malang di antaranya Malang-Bululawang yang berjarak 11 km, dan mulai beroperasi sejak 14 November 1897, jalur Bululawang-Gondanglegi berjarak 12 km beroperasi sejak 4 Februari 1898, jalur Gondanglegi-Talok berjarak 7 km beroperasi 9 September 1898, jalur Talok-Dampit menempuh jarak 8 km dibangun dan mulai beroperasi sejak 14 Januari 1899, jalur Gondanglegi-Kepanjen berjarak 17 km beroperasi sejak 10 Juni 1900.
Selain itu, masih ada jalur Malang-Blimbing berjarak 6 km dibangun 15 Februari 1903, jalur Tumpang-Singosari berjarak 23 km dibangun 27 April 1900, dan jalur Sedayu-Turen dengan panjang jalur hanya 1 km dibangun pada 25 September 1908.
Hampir semua jalur tersebut resmi mendapatkan izin beroperasi dari Pemerintah Hindia Belanda sejak 13 Juli 1901, kecuali jalur Sedayu Turen yang resmi mendapatkan izin pada 13 Agustus 1908.
Masih menurut catatan buku tersebut, perjanjian kerja sama yang dibuat untuk mengoperasionalkan trem antara MS dan Pemerintah Hindia Belanda berlangsung selama 99 tahun. Seharusnya kontrak kerja tersebut baru berakhir tahun 2000-an.
Kantor inspeksi
Pada era kolonial, Malang pernah menjadi salah satu kota penting dalam hal transportasi menggunakan kereta api dan trem. Saat itu, Malang merupakan satu kawasan kantor inspeksi tersendiri, yaitu kantor inspeksi X. Kantor inspeksi tersebut saat ini lebih dikenal sebagai daerah operasi (daop).
Saat itu ada dua stasiun utama trem di Malang, yaitu Stasiun Blimbing (dibangun tahun 1879) dan Jagalan (1897). Artinya, pembangunan sistem transportasi trem uap itu mendahului keberadaan Kota Malang yang baru diresmikan sebagai kotapraja tahun 1914. Kepala stasiun saat itu disebut chef atau sep.
Pada 2009, Kompas masih sempat berbincang dengan pensiunan kepala Stasiun Trem Tumpang terakhir, Chef Sujatno, saat itu beliau sudah berusia 84 tahun (Kompas, 3 Oktober 2009).
Sujatno sempat berkisah bahwa trem yang melintasi Tumpang biasanya digunakan untuk mengangkut orang dan barang. Mulai untuk mengangkut sayur-mayur, seperti kelapa, kentang, hingga untuk membawa arang yang hendak dibawa ke kota. Tarif trem saat itu, menurut Pak Chef, masih 8 sen.
Menurut pria yang bekerja sebagai pegawai trem sejak 1943 itu, sejarah trem Tumpang berakhir pada tahun 1968 setelah terjadi banjir bandang yang merusakkan rel trem, rel tergeser hingga sejauh 100 meter. Setelah dicoba kembali jalan selama 3 bulan, operasional trem Malang-Tumpang akhirnya benar-bener berhenti total pada 1968 itu. Saat itu, kerusakan sudah sedemikian parah dan tidak bisa diperbaiki.