Kelola Kekuatan Sosial Desa untuk Menghadapi Pandemi
Kekuatan sosial desa harus terus dipupuk agar bisa menjadi modal dalam menghadapi pandemi yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir. Caranya adalah dengan menjalin komunikasi, pengertian, dan kesetaraan di desa.
Oleh
(IKI/AIN/WER/DIA)
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Perlu ada dukungan agar kekuatan sosial desa bisa menjadi modal dalam menghadapi pandemi yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir. Saat ini kekuatan sosial desa dikhawatirkan terkikis.
Sejak pandemi melanda, di desa-desa muncul sukarelawan lokal yang menjadi bagian penting penanganan Covid-19. Mereka membantu mengurusi warga yang isolasi mandiri, mengantar mencarikan rujukan rumah sakit dan mencarikan tabung oksigen, melakukan tracing dan testing, dan lainnya.
Efan Puriwanto (29), warga Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, misalnya, ia bersama sejumlah pemuda di desanya berhimpun dalam sukarelawan penanganan Covid-19 dengan nama Swadhesi. Sukarelawan Swadhesi adalah sukarelawan tak berbayar. Mereka bukanlah sukarelawan dengan basis siaga bencana. Mereka hanya warga biasa dengan semangat kemanusiaan yang luar biasa.
Pada Juli-Agustus 2021, jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 di Desa Pandanlandung meningkat tajam. Hingga akhir Juli 2021, ada 36 warga terpapar. Jumlah kasus meninggal juga banyak, 2-3 orang dalam sehari.
”Rasanya senang bisa menolong sesama. Kami tidak dibayar, tapi yang akan mengetahui dan membayarnya adalah Yang di Atas,” kata pria yang biasa dipanggil Cembuk itu, Selasa (3/8/2021).
Hal mengejutkan dari Cembuk adalah ia melakoni kegiatan sosial itu di sela-sela pekerjaannya sebagai tukang cat. Pagi hingga siang Cembuk bekerja dan malam hari ia melakoni aktivitas sosialnya.
”Setiap saat kalau ada panggilan tugas, ya langsung berangkat. Kasihan kalau menunda-nunda karena ada orang yang segera butuh mendapat penanganan,” kata Cembuk.
Adapun di Desa Sitirejo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, mereka memiliki tim pemulasaran jenazah. Mereka tidak hanya melayani warga setempat, tetapi juga melayani warga luar desa.
”Kami membantu siapa yang membutuhkan, tidak melihat agama atau asal desanya. Mungkin satu kecamatan, hanya Sitirejo yang punya tim pemulasaran jenazah yang sudah terlatih. Ada beberapa kejadian pasien isolasi mandiri meninggal di rumah, maka tim pemulasaran kami yang bergerak se-kecamatan Wagir,” kata Buwang Suharja, Kepala Desa Sitirejo.
Warga RW 007, Desa Kalikoa, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, juga menjelma menjadi sukarelawan siaga bencana dengan menyiapkan makanan, bahan kebutuhan pokok, hingga tabung oksigen untuk tetangga yang menjalani isolasi mandiri.
Aksi solidaritas atau sambatan serupa juga dilakukan warga Kelurahan Drajat, Kota Cirebon, Jawa Barat. Untuk menangani warga terpapar Covid-19, dibentuklah posko siaga. Sumbangan mengalir, seperti beras 95 kilogram, vitamin, hingga uang donasi yang mencapai total Rp 11,8 juta. Semuanya swadaya warga. Dana itu antara lain dibelikan makanan bagi warga isoman.
”Kebetulan ada warga yang buka katering. Jadi, kami pesan ke sana sekaligus memberdayakan usahanya. Alhamdulillah dapat potongan harga,” kata Ketua RT 004 Deni Hamzah (40).
Solidaritas serupa juga muncul di antara perangkat Desa Sidarejo, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh, merelakan gajinya dipotong Rp 50.000 per bulan untuk digunakan membantu warga yang membutuhkan. Dengan sumbangan dari pendapatan mereka itu, diharapkan bisa meringankan warga yang kurang mampu.
Desa Sidarejo berada di pusat Kota Langsa sehingga mobilitas warga di sana cukup tinggi sehingga potensi warga terpapar Covid-19 cukup besar.
Masih banyak contoh solidaritas sosial di antara masyarakat selama pandemi. Hal itu menjadi kekuatan sosial desa untuk segera bangkit dan pulih dari jerat keterpurukan akibat pandemi.
”Modal sosial, seperti nilai kekerabatan, yang masih terjaga ini adalah kunci kekuatan desa. Ini juga menjadi kontrol sosial dalam menghadapi berbagai hal, termasuk pandemi,” kata Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya Maryunani.
Dengan kekuatan sosial tersebut, menurut Maryunani, desa memiliki modal sosial kuat untuk mengatasi berbagai persoalan termasuk untuk segera bangkit dari pandemi.
Desa memiliki sistem dan tata caranya sendiri, jangan terlalu diatur seperti masyarakat kota. (Dhanny Sutopo)
Masalahnya, kekuatan sosial di desa secara perlahan mulai terkikis. Dibutuhkan upaya khusus untuk memupuknya kembali dan menjadi modal kekuatan desa.
Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Dhanny S Sutopo, mengatakan, solidaritas masyarakat perdesaan adalah solidaritas mekanik yang diikat oleh kesadaran kolektif sehingga hubungannya tidak banyak diatur oleh sistem seperti kehidupan masyarakat perkotaan. ”Namun belakangan, masuk kesadaran organik di mana setiap pihak saling memosisikan diri dan diatur secara organisatoris sesuai peran. Ini model kesadaran perkotaan. Masuknya kesadaran organik ini mengikis kesadaran mekanik masyarakat desa,” katanya.
Masuknya pengaturan organisatoris ke desa, menurut Dhanny, membuat masyarakat desa cenderung tidak patuh. Hal itu karena masyarakat merasa tidak berada di dalam bagian sistem itu.
”Jadi untuk mengembalikan dan memupuk kembali kesadaran dan kekuatan desa, maka kembalikan pengaturan sesuai sifat-sifat kolektivitas desa. Desa memiliki sistem dan tata caranya sendiri, jangan terlalu diatur seperti masyarakat kota,” kata Dhanny.
Cara paling mudah mengembalikan solidaritas desa adalah dengan menguatkan dan memunculkan figur-figur yang dihormati di desa. Selain itu, komunikasi, saling memahami, dan nilai-nilai kesetaraan harus lebih sering dibangun di desa. ”Itu lebih penting ketimbang hubungan hierarkis,” katanya.