Katakan yang Sebenarnya tentang Covid-19, Setidaknya Jangan Bohong
Poster digital menghasut banyak orang tidak peduli Covid-19 bertebaran di media sosial. Keberadaanya rentan membuat masyarakat tidak peduli dan membuat Covid-19 kian merajalela.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
”Warga Kota Cirebon kompak untuk tidak upload berita tentang Covid-19 agar masyarakat tenang dan tenteram.” Begitu ungkapan dalam poster digital berlatar belakang Alun-alun Kejaksan, Cirebon, Jawa Barat.
Seorang pejabat di Sekretariat Daerah Kota Cirebon meneruskan poster dengan desain seadanya, keliru ejaan, dan tanpa identitas pembuatnya itu ke grup percakapan Humas Pemkot Cirebon, Kamis (15/7/2021) pagi. Beragam respons muncul di grup yang berisi wartawan dan beberapa pejabat pemkot tersebut.
”Jadi, kegiatan Pak Wali (Kota Cirebon Nashrudin Azis) enggak perlu diliput lagi?” tanya seorang jurnalis. Selama ini, Azis kerap memantau langsung penanganan Covid-19, termasuk pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.
”Izinmeminimalisasi berita hoaks di masyarakat. Ini hanya imbauan di masyarakat,” balas pejabat sekaligus anggota Satgas Penanganan Covid-19 Kota Cirebon tersebut.
”Baca berita Covid-19 kan pilihan pribadi. Tapi, kalau sampai ngajak orang jadi buta berita yang diolah dengan benar, malah banyak mudaratnya,” kata Erika Lia, anggota grup.
Bagi perempuan jurnalis di Cirebon ini, saat tsunami informasi seperti sekarang, masyarakat perlu membaca berita yang dihasilkan secara jurnalistik, melalui verifikasi. Proses inilah yang bakal membedakannya dengan hoaks.
”Nah, kabar burung itu yang sebaiknya dibuatkan gerakan (penolakan). Kalau berita (Covid-19 tidak disebarkan), bahaya benar kalau dibatasi,” kata Erika yang bertahun-tahun jadi jurnalis.
Erika menduga publik jenuh dengan segala informasi soal virus tak kasatmata itu. Dia tidak memungkiri merasakan hal sama saat meliput tentang Covid-19. Bahkan, ayahnya pernah mengirimkannya pesan berantai berisi imbauan menyetop berita pandemi.
”Sebagai jurnalis, saya enggak bisa berhenti menulis (Covid-19). Itu hak publik,” katanya. Ia khawatir lenyapnya berita virus korona baru bisa melenakan masyarakat bahwa kondisi baik-baik saja tapi sejatinya tidak.
”Teman mertua saya habis sembuh dari Covid-19 langsung jalan-jalan. Seminggu kemudian meninggal karena terinfeksi lagi,” ujarnya.
Ia tidak ingin petaka itu menimpa keluarganya karena gagap soal pandemi. Apalagi, orangtuanya sempat diisolasi di rumah sakit dua pekan setelah terpapar virus korona baru.
Kholid Mawardi (27), penyintas Covid-19 asal Majalengka, mengaku sempat mengambil jarak dengan berita pandemi saat isolasi manditi selama hampir dua pekan. ”Selain jenuh, saya juga ngeri. Paling nonton hiburan saja di Youtube atau cari berita obat dan vitamin saat isoman,” kata karyawan swasta ini.
Meski demikian, ia tidak sepakat jika berita Covid-19 dihentikan karena publik tak lagi waspada. ”Kena korona itu menyiksa. Bukan sakit saja, tetapi tidak kontak langsung dengan keluarga, enggak bisa peluk bayi saya yang baru tiga bulan,” katanya
Sayangnya, poster ”Stop Berita Covid-19” sudah telanjur meluas. Selain beberapa pejabat, sejumlah aparat Kepolisian Resor Cirebon Kota ikut menebar poster itu di status WhatsApp.
Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Kota Cirebon Ma’ruf Nuryasa belum mengetahui apakah poster itu mewakili pemkot. ”Untuk teman-teman jurnalis, tetaplah memberitakan kebenaran serta edukasi masyarakat,” katanya.
Seruan serupa sudah berhamburan di jagad maya. Narasinya pun sama. Kabar burung itu mengatasnamakan warga daerah tertentu dan latar belakang posternya mencerminkan kota/kabupaten itu. Beberapa di antaranya Majalengka, Gresik, Yogyakarta, dan Semarang. Bahkan pada Kamis siang, poster penolakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di Kota Pasuruan diduga kuat ikut memicu perusakan fasilitas umum yang dilakukan puluhan pemuda.
Melihat maraknya poster itu, relawan LaporCovid-19 Firdaus Ferdinsyah meragukan ajakan itu datang dari warga. ”Ini terstruktur. Pasti ada kelompok tertentu yang berdalih menenangkan masyarakat. Padahal, ini ajakan mematikan,” ungkapnya.
Sebab, tanpa berita tentang pandemi, warga akan abai pada protokol kesehatan. Kondisi ini bisa dijadikan amunisi bagi penyangkal Covid-19 yang tidak percaya adanya virus, pandemi, dan vaksin.
”Seolah-olah kita tenang tetapi tetangga kita kesulitan cari rumah sakit, oksigen, dan tenaga kesehatan. Di mana sense of crisis-nya?” lanjutnya.
Pada Kamis, penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia pecah rekor lagi, yakni 56.757 orang. Dengan demikian, kasus terkonfirmasi secara kumulatif mencapai 2,7 juta dan 70.192 orang di antaranya meninggal.
Di tengah lonjakan kasus, Firdaus berharap pemerintah menghentikan narasi pandemi sudah terkendali dan mengedepankan komunikasi risiko. Misalnya, membuka data kasus dengan transparan sehingga publik paham situasi saat ini.
Ajakan menyetop berita pandemi juga anomali di tengah keingintahuan publik soal itu. Bulan Juni, misalnya, pihaknya menerima lebih dari 300 laporan warga. Jumlah ini melonjak dibandingkan bulan sebelumnya yang berkisar 80-100 laporan.
Justru warga sekarang membutuhkan informasi, seperti ketersediaan ruangan isolasi, oksigen, vaksin, dan cara isolasi mandiri.
”Justru warga sekarang membutuhkan informasi. Seperti, ketersediaan ruangan isolasi, oksigen, vaksin, dan cara isolasi mandiri,” katanya. Bahkan, LaporCovid-19 meminta maaf karena tidak lagi mampu menjawab kebutuhan pelapor.
Akan tetapi, katanya, hanya menyajikan informasi kesembuhan atau malah menghilangkan berita Covid-19 saat pandemi merupakan false positivity. ”Artinya, kita diajak melihat sesuatu yang positif, bukan realitasnya. Ini seperti membohongi diri sendiri karena kita tidak melihat secara utuh,” paparnya.
Tudingan berita pandemi yang menurunkan imun juga perlu penelitian lebih lanjut. Meningkatkan kebahagiaan, lanjutnya, bisa dengan melakukan hal menyenangkan, seperti menonton film dan berolahraga, bukan membaca berita saja.
Di sisi lain, media perlu mengevaluasi cara penyajian beritanya agar tidak terkesan menakut-nakuti publik. ”Media harus membangun sense of crisis yang meningkatkan kewaspadaan dan menggugah kita,” katanya.
Kearifan menyikapi pandemi Covid-19 kini semakin diuji di tengah penanganan medis yang belum ideal. Namun, mengajak menghilangkan fakta jelas hanya menghadirkan kenyamanan semu.
Pemberitaan, katanya, juga menjadi cara publik mengukur keberhasilan pemerintah menangani pandemi. Jangan-jangan, bukan beritanya yang menakutkan, melainkan cara manusia berhadapan dengan wabah ini.
Mengutip pendapat psikolog Jordan B Peterson dalam bukunya 12 Rules for Life an Antidote to Chaos, dalam hidup, manusia butuh terus hidup dalam kejujuran atau setidaknya tidak berbohong. Menyangkal kenyataan, kata dia, hanya akan menciptakan sosok dan kehidupan semu. Apabila itu terjadi, hal itu akan memicu kepalsuan lain yang berpotensi membuat hidup manusia kian muram.