Idealnya Pemerintah Mengutamakan Kesehatan Ketimbang Ekonomi
Dalam kondisi kenaikan kasus Covid-19 yang terus melonjak, pemerintah sebaiknya mengutamakan kesehatan ketimbang ekonomi dan terus mengajak masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Beberapa pekan terakhir kasus Covid-19 di Indonesia mengalami kenaikan. Jumlah kasus positif virus korona yang tercatat pada Rabu (7/7/2021) bertambah 34.379 kasus. Dalam situasi peningkatan kasus begitu cepat, idealnya pemerintah lebih mementingkan kesehatan ketimbang ekonomi.
Penambahan kasus ini mencapai rekor tertinggi sejak virus korona pertama terkonfirmasi di Indonesia pada 2 Maret 2020. Kini, total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 2.379.397 dari sebelumnya 2.345.018 kasus.
Angka tersebut, menurut epidemiologi Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, di Surabaya, Rabu, dianggap masih jauh di bawah dari angka kasus sebenarnya karena masih lemahnya penelusuran (tracing) dan tingkat pengujian (testing rate).
Windhu mengatakan, kenaikan tajam tersebut dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya varian virus baru yang datang dari India yaitu Covid-19 varian Delta. Varian Delta tersebut 98 persen lebih menular daripada varian orisinalnya.
”Orang berpapasan saja dapat menularkan virus tersebut. Selain itu, virus varian Delta juga memiliki kemampuan menghindari antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh atau antibody escape. Maka mulai sekarang wajib memakai masker rangkap dua,” ujarnya.
Windhu menyebutkan, kenaikan kasus Covid-19 merupakan dampak dari tidak patuhnya masyarakat terhadap protokol kesehatan. Bahkan, banyak masyarakat belum percaya terhadap Covid-19 sehingga menyebabkan persepsi risiko pun rendah. Dalam hal ini pemerintah ikut andil.
Penyebabnya, menurut dia, pemerintah kurang tegas terhadap masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Membuat kebijakan kontradiktif, mobilitas masih berlangsung, keduanya bertabrakan dengan prinsip protokol kesehatan sendiri. ”Hal itu disebabkan Indonesia masih mencoba menyeimbangkan antara ekonomi dan kesehatan, padahal seharusnya pemerintah lebih mementingkan kesehatan di era pandemi ini,” katanya.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang dimulai Sabtu (3/7/2021) hingga Selasa (20/7/2021), menurut Windhu, langkah bagus pemerintah dalam menanggapi lonjakan kasus positif tersebut. Namun, kebijakan tersebut masih memiliki celah, yakni tidak adanya pembatasan mobilitas.
”Pemerintah harus melakukan evaluasi pada enam hari pertama setelah pemberlakuan PPKM darurat tersebut. Jika PPKM darurat tidak dapat menekan penularan secara signifikan, kebijakan harus dikoreksi kembali dan penekanan pada pembatasan mobilitas,” ujarnya.
Orang berpapasan saja dapat menularkan virus tersebut. Selain itu, virus varian Delta juga memiliki kemampuan menghindari antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh. (Windhu Purnomo)
Selanjutnya, Windhu juga memaparkan tentang vaksinasi yang tidak dapat dijadikan solusi dalam waktu dekat ini. Sebab, jumlah vaksin yang telah dimiliki Indonesia belum mencapai sepertiga penduduk dengan jumlah vaksinasi yang masih berada di angka 40 juta dosis. Sementara, pasokan vaksin Indonesia masih bergantung dengan luar negeri.
Ia menjelaskan, hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan tracing dan testing rate, membatasi mobilitas, dan mendisiplinkan masyarakat dalam prokes. Apalagi Indonesia memiliki Undang-Undang Wabah dan Kekarantinaan Kesehatan. Kedua UU tersebut harus dapat dijalankan.
Alasannya pada dua UU tersebut terdapat pasal yang menyatakan bahwa mereka yang menghambat penanganan pandemi bisa mendapatkan sanksi pidana. ”Jangan ragu untuk menghukum pidana pelanggar protokol kesehatan. Meski masyarakat harus diedukasi terlebih dahulu, jadi tidak bisa seenaknya menghukum,” tutur pakar biostatistika-epidemiologik tersebut.
Dalam situasi seperti ini, perguruan tinggi harus menjadi corong berbasis pengetahuan. Perguruan tinggi harus mampu meyakinkan pemerintah dan masyarakat bahwa penanganan pandemi harus berbasis pada pengetahuan dan data. Kemudian, perguruan tinggi membantu penelitian di bidang apa pun yang membantu menangani pandemi. Terakhir adalah pengabdian masyarakat.
Menurut Penanggung Jawab RS Lapangan Surabaya, Nalendra Djaya Iswara, seluruh rumah sakit rujukan Covid-19 sejak awal Juni 2021 menunjukkan kecenderungan makin karut-marut. Belakangan bahkan kapasitas instalasi gawat darurat dan ruang isolasi, termasuk unit perawatan intensif (ICU) benar-benar kelebihan beban luar biasa.
Hampir seluruh rumah sakit terus menambah fasilitas perawatan dan tetap tak mampu menampung pasien. Seberapa banyak pun fasilitas layanan ditingkatkan, belum akan cukup hingga beberapa minggu ke depan. Masalah utama saat ini adalah kebutuhan tenaga kesehatan. ”Upaya para pemangku kepentingan terkait untuk memobilisasi para tenaga kesehatan baru lulus tanpa menunggu proses legal administrasi selesai patut diapresiasi,” kata Nalendra.
Vaksinasi
Antusiasme warga Surabaya untuk divaksin semakin meningkat memasuki hari kedua vaksinasi massal di Gelora 10 November (G10N) Tambak Sari, Surabaya, Rabu (7/7/2021). Menurut rencana, vaksinasi massal yang digelar oleh Pemerintah Kota Surabaya itu berlangsung hingga Minggu (11/7/2021).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dibantu jajaran Kepala Perangkat Daerah Kota Surabaya, dan personel TNI-Polri, serta Relawan Surabaya Memanggil terus memandu masyarakat selama proses vaksinasi massal. Eri terlihat beberapa kali mengatur barisan warga yang mengantre dalam stadion agar duduk dengan rapi dan tetap menjaga protokol kesehatan.
Sejak berlangsungnya vaksinasi massal di G10N pada Selasa (6/7/2021), sudah 40.000 orang yang divaksin. Program sama juga digelar di seluruh polsek dan puskesmas di Surabaya. Angka ini juga dari vaksinasi massal di Polrestabes, Polres Tanjung Perak, Taman Bungkul. Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini menargetkan pada September 2021, seluruh warga Surabaya sudah mendapatkan vaksin hingga dosis kedua.