Rencana pembelajaran tatap muka di Surabaya, Jawa Timur, perlu ditunda karena kalangan anak-anak terjangkit Covid-19. Penularan terhadap anak-anak memperlihatkan pengabaian protokol kesehatan oleh orangtua dan keluarga.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengancam keselamatan kehidupan 36 anak Surabaya, Jawa Timur. Anak-anak terjangkit Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) atau mutasinya. Hal itu mengindikasikan orangtua dan atau keluarga abai protokol kesehatan.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febria Rachmanita, Kamis (24/6/2021), jumlah 37 anak itu mencerminkan situasi kasus aktif atau pasien yang sedang dirawat terkini. Jumlah bisa naik atau turun bergantung situasi pandemi Covid-19. Saat mereda, penambahan kasus harian termasuk dari anak-anak berkurang. Jika memburuk seperti saat ini, penambahan meningkat.
”Ada sesuatu yang sementara ini tidak menimbulkan kecemasan bahwa anak-anak yang terjangkit Covid-19 seluruhnya tanpa gejala,” kata Febria. Tanpa gejala klinis atau setidaknya ringan, peluang seseorang sembuh dari Covid-19 membesar. Namun, Covid-19 juga berpotensi merusak organ tubuh secara permanen sehingga seseorang akan menderita di masa depan. Situasi ini yang disebut long Covid-19, yakni penyintas merasakan penurunan keandalan tubuh.
Febria melanjutkan, melalui pelacakan, anak-anak terjangkit bisa dipastikan dari orangtua atau kerabat yang mungkin lupa atau abai protokol. Misalnya, orangtua bekerja dan kontak dengan orang terjangkit sehingga tertular dan tidak menyadarinya. Di rumah, mungkin ada saat seseorang lupa atau abai protokol sehingga beraktivitas dengan anak-anak dan menularinya.
”Untuk remaja usia 13-17 tahun, mereka terpapar bisa dari keluarga atau lingkungan karena belum terlalu paham dan disiplin protokol,” kata Febria.
Potensi penularan terhadap anak-anak bisa ditekan dengan pemahaman utuh dan kesadaran orangtua dan masyarakat tentang bahaya Covid-19 dan pentingnya disiplin protokol, yakni 5 M.
Ada sesuatu yang sementara ini tidak menimbulkan kecemasan bahwa anak-anak yang terjangkit Covid-19 seluruhnya tanpa gejala.
Kelima langkah itu memakai pelindung (masker, sarung tangan), menjaga kebersihan setidaknya rutin cuci tangan, menjaga jarak dengan orang lain, menghindari dan tidak memicu kerumunan, dan mengurangi mobilitas atau pergerakan pemicu kontak dekat.
Secara terpisah, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim Sjamsul Arief mengingatkan, sejak kasus pertama di Jatim terungkap pada pertengahan Maret 2020 sampai saat ini, tercatat 2.949 anak terjangkit Covid-19. Sebanyak 24 anak di antaranya meninggal dalam status pasien Covid-19.
”Kematian anak-anak seharusnya menumbuhkan keprihatinan dan kesadaran bahwa betapa nyata bahaya Covid-19,” ujar Sjamsul.
Anak-anak tumpuan dan penentu masa depan. Kegagalan melindungi anak-anak dari serangan Covid-19 memperlihatkan masyarakat tidak dapat menjamin situasi masa depan yang baik atau cerah.
Situasi anak-anak terjangkit Covid-19 memaksa Dinas Pendidikan Surabaya mempertimbangkan menunda pembelajaran tatap muka (offline) yang direncanakan dimulai sepekan lagi (1 Juli 2021). ”Keselamatan anak-anak (siswa siswi) menjadi yang utama,” kata Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Supomo.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan, jika situasi pandemi belum mereda, pembelajaran tatap muka harus ditunda. Proses belajar mengajar kembali ke cara dalam jaringan (online), tetapi patut diperbarui agar tetap menyenangkan dan mendapat atensi penuh dari anak-anak dan keluarga.
Mengutip laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/, penambahan kasus harian di Jatim kian mencemaskan. Sehari terakhir ada penambahan 945 orang terjangkit dengan kematian 57 orang. Sehari sebelumnya, penambahan 873 orang dengan kematian 64 orang, sepekan sebelumnya, penambahan harian dalam rentang 691-746 orang, sedangkan kematian 43-60 orang.
Di Surabaya, sepekan terakhir, penambahan harian 45-71 orang dengan kematian 0-2 orang. Penambahan kasus meningkat dua-tiga kali lipat dibandingkan dengan situasi ketika pandemi relatif melandai, yakni kurun awal Maret-akhir Mei lalu.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, amat menyarankan agar aparatur di Surabaya menunda terlebih dahulu pembelajaran tatap muka demi memastikan perlindungan terhadap anak-anak. Situasi pandemi sedang memburuk sehingga menuntut perhatian dan penanganan luar biasa. Jika memaksakan diri dan anak-anak menjadi korban, yang tersisa nanti hanya penyesalan yang tidak termaafkan.