Pemilik Karamba Jaring Apung di Danau Maninjau Enggan Didata
Pendataan jumlah dan pemilik karamba jaring apung di Danau Maninjau, Agam, Sumatera Barat, terkendala karena sebagian besar pemilik karamba tidak berada di tempat dan masyarakat sekitar enggan memberikan informasi.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pendataan jumlah dan pemilik karamba jaring apung di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terkendala pemilik karamba tidak berada di tempat dan masyarakat sekitar enggan memberikan informasi. Pendataan dilakukan sebagai upaya awal revitalisasi danau prioritas nasional mengingat setiap tahun terjadi kematian ikan massal di danau karena kelebihan daya dukung.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Agam Edi Netrial, Jumat (18/6/2021), mengatakan, ketika dikunjungi ke lokasi, pemilik karamba tidak ada dan masyarakat sekitar ada yang tidak tahu pemiliknya. Selain itu, ada pula yang tidak mau memberikan informasi.
Kendala tersebut tidak terlepas dari penolakan para pemilik karamba. Mereka sudah tahu tujuan pemerintah mendata karamba jaring apung (KJA) sebagai langkah awal mengurangi jumlahnya dan mengupayakan alih profesi.
”Menurut mereka, tidak ada masalah dengan KJA. Jadi, apa yang akan dialihkan. Mereka mengaku sanggup menghadapi kondisi penurunan kualitas air danau dan kematian ikan massal. Kami pun jadi kesulitan melakukan pendataan,” ujar Edi.
Atas kendala tersebut petugas pendataan mengambil cara lain dengan mengambil foto karamba dengan kamera pesawat nirawak (drone). Petugas kemudian berkoordinasi dengan masyarakat setempat, termasuk wali jorong dan wali nagari, untuk mendata siapa pemilik dan alamatnya.
”Dengan data itu, kami dapat berapa jumlah pemiliknya. Tetapi ada juga masyarakat yang tidak tahu dan tidak mau tahu atau tidak mau memberi keterangan. Ada juga wali nagari yang tidak mau berkoordinasi dengan kami. Selain itu, akurasi datanya juga jadi kurang karena tidak bertanya kepada pemiliknya, tetapi orang sekitar danau,” ujarnya.
Pendataan yang telah dilakukan 10 hari lalu itu pun berlangsung lebih lama dari target awal yang diperkirakan selesai dalam waktu enam hari. Pendataan dilakukan penyuluh dari Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Agam.
Sejauh ini jumlah yang terdata sekitar 6.000 petak yang jelas nama dan alamat pemiliknya. Jumlah ini baru sekitar sepertiga dari seluruh KJA yang ada di Danau Maninjau. Selanjutnya pihaknya menunggu arahan pimpinan.
Simpang siur
Pendataan ulang KJA di Danau Maninjau dilakukan karena datanya masih simpang siur. Ada yang menyebut jumlahnya 12.000 petak, ada pula yang menyebut 17.000 petak.
Bupati meminta agar data dimutakhirkan hingga jelas pemilik dan alamatnya. Data tersebut menjadi dasar dalam mengambil kebijakan penataan danau yang termasuk 15 danau prioritas nasional ini.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Kawasan Danau Maninjau, daya dukung danau maksimal 6.000 petak karamba berukuran 5 x 5 meter. Pemerintah tidak akan menghilangkan ataupun menghapuskan KJA di Danau Maninjau, tetapi menatanya sesuai daya dukung danau.
Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Agam, kata Edi, sudah menyiapkan program alih profesi di bidang perikanan bagi masyarakat yang terdampak pengurangan KJA. Profesi alternatif tersebut, misalnya, di bidang perikanan tangkap, budidaya perikanan (kolam), dan pengolahan.
”Masyarakat semestinya paham dengan kondisi danau yang kualitasnya menurun. Pertimbangan pemerintah tentu jangka panjang. Dengan kualitas air yang menurun tentu kematian massal ikan terus terjadi, pemanfaatan danau sebagai obyek wisata juga tidak bisa digarap. Masyarakat kami harapkan tidak hanya memikirkan keuntungan mereka saja, tetapi juga memikirkan dampak ke depannya,” kata Edi.
Namun, kalau jumlah KJA-nya sudah sampai 300-400 petak, itu patut dipertanyakan. Apakah mereka mencari hidup atau mencari kaya. (Handria Asmi)
Secara terpisah, Camat Tanjung Raya Handria Asmi mengatakan, adanya penolakan pemilik karamba ataupun masyarakat yang bekerja di KJA karena mereka tidak mendapatkan informasi lengkap. Ada asumsi di masyarakat bahwa semua karamba akan dibersihkan dari danau.
”Kami selalu menyampaikan melalui wali nagari ataupun dalam pertemuan dengan masyarakat, revitalisasi danau tidak bertujuan untuk menghilangkan mata pencarian masyarakat. Tujuannya untuk menyelamatkan danau dan memperbaiki perekonomian masyarakat,” kata Handria.
Menurut Handria, pengurangan jumlah KJA tidak akan dilakukan semena-mena, akan ada skala prioritas dalam penerapannya. Pemerintah tentu tidak akan menyentuh petani keramba skala kecil yang punya 10-15 keramba. ”Namun, kalau jumlah KJA-nya sudah sampai 300-400 petak, itu patut dipertanyakan. Apakah mereka mencari hidup atau mencari kaya?” ujar Handria.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam siaran pers Pemprov Sumbar, meminta upaya pengalihan mata pencarian masyarakat sekitar Danau Maninjau dari KJA ke profesi lain segera dilakukan agar percepatan revitalisasi danau bisa segera dimulai. Setelah alih profesi, baru dilakukan pengurangan KJA.
”Untuk percepatan, harus ada tenggat waktu yang jelas pada setiap langkah yang diambil dalam upaya revitalisasi Danau Maninjau ini. Kalau bisa, akhir bulan ini sudah bisa dimulai,” kata Luhut dalam rapat virtual dengan sejumlah kementerian, Gubernur Sumbar, dan Bupati Agam, Rabu (16/6/2021).
Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2017, 90 persen penyebab pencemaran Danau Maninjau adalah akibat sedimen sisa pakan KJA. Daya dukung danau maksimal 6.000 petak KJA, sedangkan jumlahnya sekarang sudah jauh melampaui sehingga harus ada pengurangan.
Luhut juga meminta Kapolda, Danrem, hingga Kepala Kejaksaan Tinggi memberikan dukungan penuh dalam upaya mengurangi jumlah KJA di Maninjau.
Anggaran untuk pengalihan mata pencarian masyarakat itu diperkirakan sekitar Rp 42 miliar dan dibebankan kepada Pemprov Sumbar dan Pemkab Agam. Sementara itu, anggaran untuk menyelesaikan persoalan sedimentasi di dasar danau diperkirakan Rp 237 miliar dari anggaran Kementerian PUPR.