Legislatif Aceh Wacanakan Revisi Qanun Syariat Islam
Setelah didesak sekian lama oleh para pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh memberikan lampu hijau untuk merevisi Qanun/Perda Hukum Jinayah agar lebih ramah pada perlindunguan anak.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Setelah didesak sekian lama oleh para pihak, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh memberikan lampu hijau untuk merevisi Qanun/Perda Hukum Jinayah yang ramah pada perlindunguan anak. Qanun selama ini dianggap tidak melindungi anak korban kekerasan seksual.
Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muhammad Yunus, Jumat (18/6/2021), menuturkan, saat ini pihaknya menunggu dokumen dari lembaga masyarakat sipil berisi poin-poin usulan revisi. ”Revisinya bisa dicabut atau dipertegas. Salah satunya pasal tentang kekerasan seksual pada anak,” ujar Yunus.
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapus Kekerasan Seksual mendesak Pemprov Aceh dan DPRA merevisi Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Pasal yang diusulkan dicabut adalah Pasal 47 yang mengatur sanksi bagi pelaku pelecehan seksual pada anak dan Pasal 50 yang mengatur tentang pemerkosaan terhadap anak.
Yunus mengatakan, sebenarnya qanun hukum syariah memiliki semangat mengatur hal-hal yang tidak terhadap dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti hukum zina atas dasar suka sama suka.
Namun, Yunus mengakui dalam qanun itu terdapat kelemahan mengenai hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Dalam pasal itu disebutkan hukuman berupa cambuk/kurangan/denda.
Revisinya bisa dicabut atau dipertegas. Salah satunya pasal tentang kekerasan seksual pada anak. (Muhammad Yunus)
Padahal dalam Undang-undang Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak maksimal 15 tahun penjara. Jika pelaku adalah orang dekat atau keluarga hukuman ditambah 2/3 dari vonis.
Dampaknya, terjadi dualisme regulasi. Kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat dijerat menggunakan UU Perlindungan Anak atau Perda Syariat Islam Qanun Jinayah. Perbedaan hukumannya adalah UU Perlindungan Anak menghukum pelaku dengan hukuman penjara sedangkan qanun menghukum pelaku dengan hukuman cambuk/denda/kurungan.
Apabila dijerat menggunakan qanun, sidang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah dan jika menggunakan UU Perlindungan Anak, sidang dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual pada anak, pelaku divonis hukuman cambuk. Setelah dicambuk terdakwa dibebaskan. Namun, belakangan Mahkamah Agung mengeluarkan intruksi agar pelaku kekerasan seksual divonis berupa kurungan.
Anggota Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual, Azharul Husna, mengatakan, beberapa putusan hakim Mahkamah Syar’iyah yang menghukum cabuk pelaku tidak memberikan keadilan bagi korban. Bulan lalu, Mahkamah Syar’iyah Aceh juga memvonis bebas dua terdakwa pelaku pemerkosaan terhadap anak.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Hendra Saputra mendukung wancana revisi qanun tersebut. Kontras Aceh kini sedang menyusun hasil kajian sebagai bahan pertimbahan revisi qanun.
”Kekerasan terhadap anak sudah darurat. Kembalikan penanganan perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak,” ujar Hendra.
Sebelumnya Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Alidar berpendapat dua pasal yang diusulkan dihapus dari qanun jinayah tetap akan dipertahankan. ”Saya sepakat revisi, namun bukan dihapus pasal, tetapi diperkuat. Qanun jinayah ini adalah keistimewaan Aceh untuk menerapkan Syariat Islam,” ujar Alidar.
Adapun peraturan gubernur tentang restitusi bagi korban kekerasan seksual sedang disusun.
Kekerasan terhadap anak sudah darurat. Kembalikan penanganan perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak. (Hendra Saputra)
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh menunjukkan sejak 2017-2020, kekerasan terhadap anak terjadi 2.946 kasus. Kasus paling banyak terjadi adalah kekerasan psikis sebanyak 837 kasus, pelecehan seksual 671 kasus, kekerasan fisik 405 kasus, dan pemerkosaan 289 kasus.
Kasus-kasus tersebut tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. Lima daerah kasus tertinggi adalah Kota Banda Aceh 198 kasus, Aceh Utara 160 kasus, Bireuen 128 kasus, Bener Meriah 98 kasus, dan Aceh Barat Daya 86 kasus.
Dari data yang dicatat oleh DP3A Aceh sejak 2017-2020, jika disimpulkan kekerasan berbasis seksual (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, sodomi, dan inses) sangat tinggi, mencapai 1.100 kasus atau anak. Nyaris separuh dari total kasus kekerasan.