Komnas Perempuan Sarankan Qanun Jinayah Tak Atur soal Kekerasan Seksual
Qanun Hukum Jinayah seharusnya tidak perlu mengatur tentang kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah kejahatan berat sehingga jangan dicampur aduk dengan persoalan asusila.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyarankan agar Qanun Hukum Jinayah di Provinsi Aceh tidak perlu mengatur tentang kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah kejahatan berat sehingga jangan dicampur aduk dengan persoalan asusila.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam seminar virtual ”Perlindungan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual di Aceh” Rabu, (2/12/2020), menuturkan, pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual adalah kejahatan yang tidak layak dihukum cambuk.
Andy menyarankan untuk merevisi Qanun Hukum Jinayah khusus pada pasal tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual. ”Dewan Perwakilan Rakyat Aceh memberikan respons baik pada usulan mengkaji ulang kanun tersebut,” ujar Andy.
Seminar digelar oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Pusat Riset Hak Asasi Manusia Universitas Syiah Kuala, dan Flower Aceh. Kegiatan diselenggarakan dalam rangka 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) yang dirayakan sejak 25 November hingga 10 Desember setiap tahun.
Dalam konteks Aceh terdapat dua regulasi untuk menangani perkara kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Qanun/Perda Hukum Jinayah.
Dalam KUHP disebutkan, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual adalah dipenjara, sedangkan sanksi dalam kanun adalah cambuk/kurungan/denda. Sebagian aparat penegak hukum menjerat pelaku memakai KUHP sebagian lagi memakai kanun. Pelaku yang dijerat pakai kanun sebagian besar vonisnya adalah cambuk di muka umum. Hanya sebagian yang divonis kurungan.
Qanun Hukum Jinayah juga mengatur sanksi bagi pelaku zina, mesum, pelecehan seksual, konsumsi minuman alkohol, judi, dan hubungan sesama jenis. Kanun tersebut memberikan tiga pilihan hukuman, yakni cambuk, kurungan, atau denda.
Dalam kesempatan itu, Andy juga mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang agar ada payung hukum yang kuat dalam mencegah dan melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual.
Presidium Balai Syura Ureung Inoeng Aceh Rasyidah menuturkan, penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual di Provinsi Aceh dinilai belum memihak pada korban. Selain hak korban masih diabaikan, vonis terhadap pelaku berupa cambuk dianggap tidak memberikan efek jera.
Menurut Rasyidah, hukuman cambuk tidak menghadirkan rasa keadilan bagi korban dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. ”Malah ada salah seorang terdakwa kasus pemerkosaan sujud syukur ketika dijatuhkan putusan cambuk,” kata Rasyidah.
”Malah ada salah seorang terdakwa kasus pemerkosaan sujud syukur ketika dijatuhkan putusan cambuk. (Rasyidah)
Rasyidah mengatakan, hukuman cambuk bagi korban tidak sebanding dengan penderitaan korban. Tidak sedikit korban pemerkosaan mengalami trauma berkepanjangan, tetapi tidak mendapatkan pendampingan psikologis.
”Perempuan korban tidak mendapatkan hak resitusi dan pilihan sanksi bagi pelaku,” ujar Rasyidah.
Kasus kekerasan seksual pada anak di Aceh pada 2017-2019 mencapai 289 orang. Sementara perempuan korban pemerkosaan pada tiga tahun tersebut 106 orang. Para pihak menduga masih banyak kasus tidak terungkap.
Sebelumnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Dahlan Jamaluddin mengatakan, pihaknya sedang mengkaji kemungkinan membahas ulang Qanun Hukum Jinayah. Dahlan mengatakan, kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan di Aceh terjadi sangat masif sehingga perlu kebijakan yang tepat untuk mencegah dan melindungi anak dan perempuan.