Jadi Tersangka Kasus Studi Lalu Lintas Rp 1,1 Miliar, Kadishub Sultra Jalani Tahanan Kota
Menjadi tersangka kasus korupsi Rp 1,1 miliar, Kepala Dinas Perhubungan Sulawesi Tenggara Hado Hasina siap beberkan fakta di persidangan. Hado telah menjadi tahanan kota dua bulan terakhir.
Oleh
saiful rijal yunus
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kepala Dinas Perhubungan Sulawesi Tenggara Hado Hasina terseret pusaran kasus korupsi studi lalu lintas Rp 1,1 miliar. Meski telah menjadi tersangka, Hado hanya ditetapkan tahahan kota oleh Kejaksaan Tinggi Sultra dalam dua bulan terakhir.
Hado ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sultra sejak pertengahan Maret 2021. Selain Hado, Kejati Sultra juga menetapkan seorang tersangka dari pihak pelaksana kegiatan.
”Saat ini, kasusnya masih berproses. Kami menunggu saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sultra. Dari hasil audit, ditemukan kerugian negara Rp 1.143.750.000,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sultra Dody, di Kendari, Kamis (10/6/2021).
Setelah pemeriksaan lengkap, sambung Dody, penyidik akan menyerahkan berkasnya ke jaksa penuntut umum yang telah ditunjuk. Berkas tersebut akan diperiksa kelengkapannya sebelum dilanjutkan ke tahapan selanjutnya.
Terkait peran Hado dalam kasus rekayasa lalu lintas ini, Dody menuturkan hal tersebut menjadi ranah penyidikan. Pada intinya, tersangka diduga kuat terlibat dalam kegiatan yang menyebabkan adanya kerugian negara sekitar Rp 1,1 miliar.
”Untuk status tahanan kotanya, itu merupakan kewenangan penyidik dan sejak awal ditetapkan status tersebut. Tidak ada permohonan tersangka untuk dijadikan tahanan kota,” ucapnya.
Pada Maret lalu, Kejati Sultra mengumumkan tersangka dari kasus ini, dengan dua tersangka, yaitu H dan L. Saat itu, Kejati Sultra tidak menjelaskan peran tersangka dan jabatannnya.
Baru-baru ini, di laman Kejati Sultra, tercantum nama Hado Hasina sebagai tersangka yang penyidikannya telah dimulai sejak awal Januari lalu. Selain nama Hado, juga ada nama La Ode M Nurrahmad Arsyad sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Keduanya disangkakan Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 subsider Pasal 8 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Dihubungi terpisah, Hado Hasina membeberkan, kasus ini berawal dari studi kelayakan yang terbagi dalam lima kegiatan. Selain studi kelayakan lalu lintas di Wakatobi, juga ada Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk terminal di Baubau, Buton Utara, Buton Selatan, dan Konawe Selatan. Semua studi dikerjasamakan dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Halu Oleo (LPPM UHO) dengan total nilai Rp 1,4 miliar di luar pajak.
Setelah dokumen selesai, tutur Hado, pihaknya melakukan pembayaran yang ditransfer ke rekening bendahara rutin UHO. Namun, dalam perjalanannya, ada pihak yang merasa tidak mendapat bayaran dari studi yang dilakukan ini, lalu melaporkan ke pihak berwenang.
”Kami di sini cuma melakukan pembayaran ke pihak yang melakukan swakelola anggaran, dalam hal ini LPPM UHO. Kalau ada yang merasa tidak mendapat bayaran, itu bukan wewenang kami. Di satu sisi, studi ini dianggap temuan dengan kerugian negara Rp 1,1 miliar. Saya tekankan sejak awal tidak mendapat bayaran dari siapa pun,” ucap Hado.
Oleh sebab itu, ia melanjutkan, sangat menunggu agar kasus ini segera disidangkan. Di dalam proses itu nantinya akan terlihat secara jelas rentetan kasus sekaligus untuk membuktikan dirinya tidak mendapat apa pun dari pihak lain.
Hariman Satria, pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Kendari, menyampaikan, penegak hukum, dalam hal ini Kejati Sultra, seharusnya menahan setiap tersangka korupsi dalam kasus yang ditangani. Sebab, korupsi merupakan kasus luar biasa yang harus ditangani dengan luar biasa.
”Apalagi pelakunya adalah birokrat yang diserahi tanggung jawab besar oleh negara. Nilai dugaan korupsi juga sangat besar, Rp 1,1 miliar,” kata Hariman.
Tidak hanya itu, kasus yang juga melibatkan pihak kampus ini mencederai rasa kemanusiaan serta pukulan telak bagi dunia akademik di Sultra. Sebab, kampus tidak hanya diharapkan menjadi penjaga marwah akademik, tetapi juga pencetak generasi yang penuh integritas dan berwawasan luas.
”Makanya, kasus ini sangat miris bagi kita semua, karena sejauh ini tidak hanya melibatkan pejabat negara, tetapi juga pihak kampus. Saya berharap penegak hukum betul-betul membuka kasus ini seterang-terangnya,” katanya.
Kasus korupsi di lingkup Pemprov Sultra bukan kali ini saja terjadi. Pada Januari lalu, Kejati Sultra juga menetapkan seorang Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan di Dinas Kesehatan Sultra, yaitu dr AH, sebagai tersangka.
Ia diduga terlibat kasus suap pengadaan alat tes usap PCR pada tahun anggaran 2020. Kasus ini masih bergulir dan masih dalam proses persidangan. Sidang tuntutan, yang sedianya digelar pada Rabu (9/6/2021), ditunda karena jaksa penuntut umum belum merampungkan berkas.