Desa Wisata di Jawa Barat, Ubah Masalah Jadi Berkah
Sebagian desa di Jawa Barat berhasil mengubah masalah menjadi sumber kesejahteraan. Contoh selalu ada harapan untuk mereka yang mau tidak kenal lelah mendapatkan beragam hal baik.
Sebagian desa wisata di Jawa Barat mampu mengubah masalah jadi berkah melalui jalan pariwisata. Desa yang dulu dikeruk manusia, pasrah diempaskan gelombang laut, hingga ditinggalkan warga kini membagikan lembar kesejahteraan baru. Roda perekonomian lantas berputar, mengantarkan kebanggaan bagi mereka yang setia.
Mengenakan pakaian adat serba hitam dan iket khas Sunda, Tirtayasa (52) ramah menyambut rombongan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno di Desa Cibuntu, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Senin (31/5/2021). Dengan runut, ia perkenalkan spot wisata, dari homestay, tempat terapi ikan, hingga area kemah.
”Di sini dulu galian C. Tempatnya gersang,” kata Tirta, sapaannya, sambil menunjuk area kemah beralas rerumputan hijau yang dikelilingi bukit sisa galian setinggi lebih dari 20 meter itu. Kawasan seluas hampir 2 hektar itu belasan tahun lalu hanya diisi alat berat, truk, dan pekerja.
Tirta pernah jadi salah seorang sopir truk di sana. Gajinya Rp 1,5 juta per bulan dari hasil mengeruk tanah kelahirannya itu. Pada saat yang sama, sumber air menipis. Lahan hijau jadi coklat, berdebu, dan gerah. Meskipun tidak ada korban, usaha eksploitasi alam itu, lanjutnya, berisiko bagi keselamatan warga.
Hingga pada 2011, pemerintah desa dan tokoh masyarakat memastikan tidak ada lagi galian pasir. Lubang galian diuruk. Warga dibekali cara menyambut wisatawan hingga menjadikan rumahnya sebagai homestay.
Ilmu pasti ada gunanya. Ini ibarat sedia payung sebelum hujan.
Hal itu ikut membawa Tirta pulang ke desa pada 2015. Kala itu, ia diminta membantu memindahkan kandang domba dari rumah warga ke tempat khusus yang jauh dari permukiman. Kepercayaan itu berlanjut hingga dia diminta menjadi Ketua Kelompok Ternak Silutung Indah, salah satu andalan Cibuntu.
Tirta juga mengikuti pelatihan sebagai pemandu wisata hingga ke Yogyakarta. Cara berpakaian hingga bicaranya pun berubah. ”Kalau saya ngomong dan orang seperti enggak nyaman, harus stop,” katanya membeberkan salah satu tips pemandu wisata.
Meskipun pendapatan dari sektor pariwisata belum sebesar saat di galian C, Tirta bangga dengan pengembangan dirinya. Bahkan, bapak tiga anak dan kakek satu cucu ini tengah menempuh kuliah di bidang manajemen di Universitas Muhammadiyah Cirebon. ”Ilmu pasti ada gunanya. Ini ibarat sedia payung sebelum hujan,” katanya.
Cibuntu kini jadi destinasi wisata andalan di Kuningan. Kunjungan wisatawan melonjak dari hanya 5.772 orang pada 2014 menjadi 28.964 orang tahun 2019. Cibuntu pun diganjar aneka penghargaan. Salah satunya, peringkat kelima dalam ASEAN Homestay Standard pada 2016.
Baca juga : Pengembangan Pariwisata Desa Cibuntu di Kuningan
Bumi kedelai
Sekitar 47 kilometer dari Cibuntu, pemerintah dan warga Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kuningan, menyulap bekas galian C menjadi lahan kedelai menuju kawasan agrowisata. Tidak hanya dikunjungi pemerintah pusat dan kampus, kisah Cibulan pun tayang di Al Jazeera, stasiun televisi internasional.
Setelah 18 tahun dieksploitasi, galian C di Cibulan direvitalisasi untuk lahan kedelai seluas 75 hektar pada 2018. Sempat diancam kelompok yang berkepentingan terhadap galian C, nyali pemerintah desa tidak ciut. Mereka memfasilitasi lahan dan upah olah tanah Rp 100.000 per 1.400 meter persegi bagi warga yang bertani kedelai.
Sebanyak 150 hektar sudah panen. Hasilnya, 120 ton sudah dikirim ke Serang, Banten, untuk bibit. Harga di petani, Rp 8.000-Rp 8.500 per kilogram.
Upaya ini pun terus berkembang. Tahun ini, lahan kedelai mencapai 200 hektar. ”Sebanyak 150 hektar sudah panen. Hasilnya, 120 ton sudah dikirim ke Serang, Banten, untuk bibit. Harga di petani, Rp 8.000-Rp 8.500 per kilogram,” kata Kuwu (Kepala Desa) Cibulan Iwan Gunawan.
Hasil panen petani juga dijadikan produk olahan kedelai di tempat pengolahan Bumi Kedelai Cibulan. Produknya mulai dari tempe, susu, hingga yang terbaru kue kering. ”Lebaran kemarin pesanannya lebih dari 2.000 stoples. Kami juga sedang menjajaki ekspor kedelai ke Qatar,” ungkapnya.
Pihaknya tengah merancang kawasan agrowisata kedelai. Jadi, pengunjung nantinya bisa melihat langsung bagaimana bekas galian C yang disulap jadi lahan kedelai. Wisatawan pun bisa belajar menanam kedelai, panen, pengolahan, hingga pemasaran. ”Rencananya, tahun depan, wisatanya kami buka,” katanya.
Baca juga : Bersama Kedelai, Harapan Warga Cibulan Kini Terbang Tinggi
Tawaran miliaran rupiah
Pernah lama menjadi kawasan tambang, Curug Batu Templek di Cimenyan, Kabupaten Bandung, juga membanggakan bangsa. Kawasan seluas 3 hektar ini punya air terjun setinggi 40 meter. Dindingnya berupa batu-batu alam hitam besar. Ragam kegiatan kerap digelar tempat itu. Salah satunya Bandung International Arts Festival 2016 dan 2017.
Kemauan Ujang Sahla (62) menyelamatkan lingkungan dan berbagi dengan warga Cikadut, Kecamatan Cimenyan, jadi motor utama perubahan di Batu Templek. Pernah mendapat keuntungan puluhan juta rupiah dalam sebulan dari penambangan batu di Batu Templek, hidupnya justru tidak tenang. Hati kecilnya berkata, menambang rentan merusak lingkungan.
Pada 1999, Ujang membuat keputusan besar. Dia menghentikan kegiatan tambang warisan orangtua yang sudah berlangsung sejak tahun 1950-an itu. Padahal, potensi batu alamnya masih melimpah untuk digali. Ujang tetap ikut kata hatinya.
Pernah ada investor menawar Rp 1,5 miliar dan akan dibayar tunai. Tawaran itu langsung saya tolak.
Pilihan Ujang tak keliru. Niat baiknya berbuah manis. Mata air utama di kawasan itu, Seke Balimbing, terus mengalirkan air. Jaraknya hanya 300 meter dari air terjun Batu Templek. Seke (mata air), kata Ujang, berperan besar menunjang kehidupan. Ada 400 rumah tangga di Kampung Centeng, Pasir Impun Bawah, dan Kampung Cibentar menggunakannya untuk keperluan rumah tangga dan mengairi sawah.
”Ada iuran Rp 30.000 per rumah tangga. Namun, tak semua harus membayar. Sebanyak 100 rumah tangga keluarga tidak mampu kami gratiskan. Uang iuran kami sumbangkan untuk pembuatan jalan desa dan penataan saluran air,” kata Ujang.
Sikap sosialnya membawa berkah. Tak pernah berpromosi, Curug Batu Templek dikunjungi banyak orang. Dengan tarif masuk Rp 10.000 untuk umum dan Rp 5.000 untuk anak sekolah, ratusan orang datang ke Curug Batu Templek setiap bulan.
”Pernah ada investor menawar Rp 1,5 miliar dan akan dibayar tunai. Tawaran itu langsung saya tolak. Kalau lahan di sini dikuasai investor, saya khawatir manfaat tempat ini tidak akan dinikmati masyarakat lagi,” katanya.
Baca juga : Tinggalkan Tambang, Selamatkan Alam
Hantaman gelombang
Tidak hanya di daerah dataran tinggi, upaya adaptasi demi masa depan yang lebih baik dilakukan warga Desa Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Bertahun-tahun, Pantai Rembat di daerah itu terkikis air laut. Daratan hilang, berganti tumpukan sampah. Hanya petani yang ke sana untuk memastikan sawahnya tidak diambil abrasi.
Semuanya berubah sejak pemerintah desa dan warga menjadikan pantai itu sebagai destinasi wisata pada 2019. Jembatan kayu berwarna biru sepanjang 150 meter dan lebar 1,5 meter dibangun. Pohon mangrove dan kelapa tersebar di bibir pantai. Instalasi bambu dan daun kelapa berbentuk lingkaran berdiameter lebih dari 1 meter jadi sasaran swafoto.
Pantai Rembat dijadikan lokasi foto pranikah hingga pembuatan video artis pantura.
Warung warga tumbuh seiring ramainya pengunjung. Kawasan yang dibangun dengan dana desa sekitar Rp 144 juta itu mengundang pengunjung dari dalam dan luar Indramayu. Bahkan, Pantai Rembat dijadikan lokasi foto pranikah hingga pembuatan video artis pantura.
Sayangnya, pada pertengahan 2020, banjir rob memutus jembatan dan merusak warung di pantai. Wisata ditutup seiring melonjaknya kasus Covid-19. ”Kami kembali membangun jembatan dari dana desa dan sisa kas,” kata Angga Rahman (31) dari Kelompok Penggerak Pariwisata Juntinyuat.
Kini, aktivitas Pantai Rembat telah normal meskipun jumlah pengunjung anjlok. Saat akhir pekan, lanjutnya, pengunjung hanya di bawah 500 orang. Padahal, dulu, jumlahnya bisa dua kali lipat. Pembatasan wisatawan itu merupakan penerapan protokol kesehatan di tengah pandemi.
Bagi Angga, Pantai Rembat telah mengubah Juntinyuat yang dulu dikaitkan dengan kantong pekerja migran Indonesia dan rawan begal menjadi tujuan wisata. ”Warga di sini jadi bangga dengan daerahnya. Mereka juga mendapat pekerjaan tambahan, mulai dari tukang ojek sampai pengelola pantai,” ungkap Angga yang mengelola warung kelontongan.
Kisah desa-desa yang berubah itu menjadi bukti masalah bisa berubah jadi berkah melalui pariwisata. Selain kreativitas, kolaborasi warga dan pemerintah desa juga jadi kunci perubahan. Saat pandemi belum berakhir, semuanya jelas tidak boleh berhenti.
Baca juga : Tanam Mangrove Tolak Abrasi