Tinggalkan Tambang, Selamatkan Alam
Aktivitas tambang batu alam pernah memberikan kesejahteraan bagi keluarga besar Ujang Sahla (59). Namun, sejak 18 tahun lalu, Ujang memutuskan berhenti. Dia ingin menyelamatkan alam dari kehancuran akibat penambangan batu dan beralih menggarap pariwisata.
Langit Bandung masih terang, Minggu (30/7) sore, saat Ujang tiba di rumahnya di Desa di Cikadut, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Seharian menghadiri acara pernikahan keponakannya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, hatinya tak nyaman.
Di kediamannya, Ujang tengah kedatangan tamu dari dalam dan luar negeri yang datang ke Ajang Bandung International Arts Festival (BIAF) 2017 yang digelar di sana pada 28-30 Juli. Total ada 66 seniman dari 10 negara serta 11 kabupaten dan kota di Indonesia yang meramaikan acara itu. Curug Batu Templek, yang lokasinya berada di lahan milik Ujang, jadi tempat penutup dan pembuka acara.
Pemilihan Curug Batu Templek tak sembarangan. Lahan bekas tambang itu memang sedap dipandang. Punya air terjun setinggi 40 meter, dengan dinding batu-batu alam hitam besar. Pernah dikeruk habis-habisan, Curug Batu Templek kini jadi duta bangsa.
Berada 12 kilometer dari pusat Kota Bandung, Ujang memperoleh hak pengelolaan Curug Batu Templek dari almarhum ayahnya, Edi Umar Ma’soem. Luasnya sekitar 3 hektar. Kaya potensi batu alam, Batu Templek dijadikan areal penambangan sejak 1940-an. Ujang adalah generasi ketujuh yang mengelola kawasan itu. Hasilnya pernah menjanjikan. Dalam sebulan, ia bisa mendapat puluhan juta rupiah dari penambangan batu.
Akan tetapi, banyak uang membuat hati Ujang justru tak tenang. Dia sadar penambangan batu secara tradisional yang ia lakukan tak ramah lingkungan. Pada 1999, ia menghentikan kegiatan tambang di sana meski potensi tambang batu masih terpendam di sana dalam jumlah besar.
”Ayah memberikan amanat agar lahan warisan itu dapat dikelola sebaik-baiknya untuk anak cucu. Apabila terus ditambang sembarangan, saya khawatir amanat itu tak bisa dijaga. Lewat wisata, harapan itu tumbuh,” katanya.
Pernah gagal
Bukan perkara mudah bagi Ujang untuk memulai hidup baru. Dengan berat hati, ia memutus hubungan kerja 40 pekerjanya. Beragam usaha dicoba, tetapi ia gagal total.
Usaha ternak lele yang ia kerjakan pada 2006 gugur di tengah jalan. Ajakan salah seorang rekannya membuka ternak lele dengan modal Rp 45 juta tak berhasil. Kolam yang telanjur dibuat pun tak terpakai.
Usaha pemancingan di bekas lubang galian tambang yang dirintis pada 2008 juga tak berhasil. Banyak pengunjung, umumnya warga sekitar Cikadut, kerap tak membayar penuh. Ujung-ujungnya Ujang sulit mendapat keuntungan.
Dia kapok. Hanya bertahan sebentar, pemancingan dihentikan. Kolam ikan akhirnya hanya digunakan untuk acara tertentu, seperti lomba memancing ikan antarwarga.
”Ikannya dibawa sendiri oleh penyelenggara lomba. Saya hanya sedia tempat. Bayar seikhlasnya,” kata Ujang.
Meski beberapa kali gagal, semangatnya tak kendur. Ketika rupiah masih sulit didapat, sikap sosialnya pantang mati. Salah satunya menjaga mata air Balimbing yang ada dalam area tanah miliknya.
Ujang mengatakan, mata air itu sangat vital untuk masyarakat setempat. Total ada 400 rumah tangga di tiga kampung di Desa Cikadut yang memanfaatkan sumber airnya, yakni Centeng, Pasir Impun Bawah, dan Cibentar.
Untuk pemeliharaan air yang digunakan untuk mandi, minum, dan mengairi sawah itu, Ujang menetapkan tarif Rp 30.000 per rumah tangga per bulan. Puluhan pohon ditanam untuk menjaga debit air.
Ujang tidak serakah. Ada sekitar 100 rumah tangga kurang mampu ia bebaskan dari biaya pemanfaatan air. Khusus untuk fasilitas mandi, cuci, kakus umum, Ujang juga memberikan airnya gratis. Ada juga dua sekolah dasar dan dua madrasah yang mendapat keistimewaan serupa.
Dia juga menyisihkan penghasilannya untuk pembangunan desa. Setelah dipotong untuk pembayaran lima karyawan yang mengelola mata air, uangnya disumbangkan untuk membangun jalan kampung. Ujang jadi donatur tetap setiap ada acara bersama warga, seperti peringatan hari kemerdekaan RI, di Cikadut.
Sikap sosialnya membawa berkah. Tak pernah berpromosi, Curug Batu Templek dikunjungi banyak orang. Kawasan itu menjadi tempat anyar swafoto yang kini tengah jadi tren.
Beragam acara digelar di sana, salah satunya menjadi rumah ajang BIAF sejak 2016. Dengan tarif masuk Rp 10.000 untuk umum dan Rp 5.000 untuk anak sekolah, ratusan orang datang ke Curug Batu Templek setiap bulan.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa Cikadut Ansor mengatakan, Ujang adalah sosok yang peduli pada masyarakat tempat tinggalnya. Dia tak pelit meski punya kesempatan kaya raya.
Akan tetapi, Ansor mengatakan, peran Ujang masih butuh dukungan banyak pihak. Indah air terjun kerap diganggu erosi, limbah, dan sampah dari kawasan hulu di atasnya. Akibatnya, air yang dibawa Sungai Cisanggarung itu kerap keruh, terutama pada musim hujan.
”Masyarakat di hulu masih banyak yang tidak mempunyai jamban sehingga mereka kalau buang air besar langsung ke sungai. Kami berharap pemerintah daerah peduli dengan hal ini juga,” ucap Ansor.
Kerja sama
Ke depannya, Ujang punya mimpi besar. Apabila sekarang Curug Batu Templek masih dinikmati sekadar keindahan alamnya, dia ingin membangun beragam fasilitas tambahan lainnya kelak. Mulai dari panjat tebing di dinding batu hingga bumi perkemahan. ”Sekarang belum ada modalnya,” katanya.
Ujang sebenarnya telah membuka ruang bagi investor untuk bekerja sama. Pada tahun ini ada tiga investor dari Jakarta, Bandung, dan Kalimantan Timur yang tertarik. Akan tetapi, tawaran dari ketiga investor itu ia tolak semuanya. Alasannya, semua investor cenderung ingin membeli lahan milik Ujang.
”Ada investor yang sudah menawar Rp 1,5 miliar dan akan dibayar tunai. Tawaran itu langsung saya tolak. Kalau lahan di sini dikuasai investor, saya khawatir manfaat tempat ini tidak akan dinikmati masyarakat,” katanya.
Pilihan Ujang meninggalkan bisnis tambang dengan beralih pada pengembangan usaha di sektor wisata alam yang ramah lingkungan sudah tepat. Masa depan lebih menjanjikan dan kecil risiko terjadinya kerusakan lingkungan.