Kasus Covid-19 di Bangkalan Melonjak, Surabaya Jadi Tempat Rujukan
Ledakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Jawa Timur, diatasi dengan mengirim sebagian pasien ke Surabaya. Untuk menekan penularan, Surabaya menerapkan tes antigen massal terhadap warga Madura ke ibu kota Jatim itu.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 di Bangkalan, Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, memburuk. Satuan tugas Covid-19 setempat memberlakukan karantina wilayah (lockdown) di puskesmas dan rumah sakit dengan temuan lonjakan kasus. Tujuh rumah sakit di Surabaya disiapkan membantu meringankan beban penanganan pasien Covid-19 di Bangkalan.
Sepekan terakhir kasus Covid-19 di Bangkalan bertambah 56 orang dengan kematian lima orang. Sebanyak 25 kasus baru dengan dua kematian terjadi dalam sehari terakhir. Kematian dialami bidan Puskesmas, Arosbaya Kusadalina Ekawati, dan dr Eko Sonny Tejolaksito, SpRad dari Unit Organisasi Bersifat Khusus (UOBK) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Syarifah Ambami Rato Ebu (Syamrabu).
Direktur RSUD Syamrabu Nunuk Kristiani telah mengajukan penutupan layanan instalasi gawat darurat (IGD) pada 5-8 Juni 2021. Permintaan itu terkait dengan situasi pandemi Covid-19 yang menjangkiti lebih dari 30 tenaga kesehatan di Puskesmas Arosbaya, Puskesmas Tongguh, dan RSUD itu. Fasilitas kesehatan tidak mampu menangani keluhan masyarakat yang ternyata menderita Covid-19.
Namun, Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron tidak menyetujui permintaan penutupan sementara IGD Syamrabu itu. Salah satu alasannya, Satuan Tugas Covid-19 Jatim telah menyiapkan enam RS di Surabaya untuk menampung pasien Covid-19 dari Bangkalan.
Selain enam RS itu, Rumah Sakit Lapangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 2 Surabaya juga telah siap dan menerima pasien dari Bangkalan. Jatim menyalurkan obat tambahan, tenaga kesehatan, dan mobil tes usap PCR ke Bangkalan untuk meningkatkan pengetesan, pelacakan, dan penanganan pandemi.
Satuan Tugas Covid-19 Bangkalan kesulitan meningkatkan kapasitas tes usap PCR dan penelusuran kontak erat karena petugas, terutama dari puskesmas, banyak yang terjangkit. Tenaga kesehatan terkena Covid-19 karena tidak terlindungi. Mereka memeriksa masyarakat tanpa alat pelindung diri (APD) memadai. Mereka hanya bermasker sehingga sangat rentan tertular Covid-19 dari masyarakat yang terjangkit, tetapi tidak bergejala.
Di Surabaya, selain RS Lapangan, enam fasilitas RS lain yang disiapkan ialah RSUD Dr Soetomo, RSU Haji, RS Universitas Airlangga, RS Primasatya Husada Citra, RS Adi Husada Undaan, dan RS Al Irsyad. Satgas juga mendirikan RS Darurat di halaman kantor Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura untuk mendukung tes usap antigen massal pengendara dari Madura ke Surabaya.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jatim Herlin Ferliana, seluruh warga yang melintas dari Pulau Madura ke Surabaya harus menjalani tes cepat antigen terlebih dahulu di Jembatan Suramadu atau pelabuhan. Mereka yang reaktif diminta kembali atau menjalani karantina serta tes usap PCR. Adapun yang positif sesuai hasil tes usap PCR akan diteruskan ke RS Lapangan guna isolasi dan penanganan sampai dinyatakan sembuh atau boleh keluar.
Seluruh warga yang melintas dari Pulau Madura ke Surabaya harus menjalani tes cepat antigen terlebih dahulu di Jembatan Suramadu atau pelabuhan.
Mengutip laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/, Minggu petang, secara akumulatif, pandemi Covid-19 telah menjangkiti 1.779 jiwa warga Bangkalan, kabupaten terbarat di Madura. Sebanyak 180 jiwa meninggal dunia berstatus positif Covid-19 sehingga tingkat kematian atau fatalitas 10,17 persen. Fatalitas di Bangkalan jauh di atas rata-rata Jatim, yakni 7,39 persen, termasuk standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 3 persen. Terdapat 79 kasus aktif atau jumlah pasien Covid-19 yang sedang dirawat.
Penanggung Jawab RS Lapangan Laksamana Pertama IDG Nalendra Djaya Iswara mengatakan, pihaknya menerima tambahan lima pasien dari pemeriksaan di Jembatan Suramadu. RS dalam kompleks Museum Kesehatan Dr Adhyatma MPH itu kini menangani 113 pasien yang separuh di antaranya buruh migran dari mancanegara.
”Kami siap menangani sebab kapasitas tempat tidur 350 unit dan bisa dioptimalkan menjadi 400, termasuk ruang isolasi khusus bagi pasien mutasi,” kata Nalendra.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febria Rachmanita mengungkapkan, dari kebijakan tes usap antigen di Jembatan Suramadu, di sisi Surabaya, sejak Sabtu (5/6/2021) didapati 50 orang dinyatakan reaktif. Mereka kemudian dikarantina dan menjalani tes usap PCR. Lima orang yang positif telah dikirim ke RS Lapangan. Yang negatif diperkenankan melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
”Warga dari Madura diharapkan tidak bepergian terlebih dahulu ke Surabaya. Jika berkepentingan mendesak, wajib membawa dokumen kesehatan negatif Covid-19,” kata Febria.
Lamongan
Di Kabupaten Lamongan, Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Pemkab Lamongan Arif Bachtiar mengatakan, penguncian terbatas di wilayah tersebut sedang dilakukan di Desa Sidodowo, Kecamatan Modo. Sepekan terakhir diketahui ada 36 warga Sidodowo yang positif dan lima orang di antaranya meninggal. Kluster penularan terjadi setelah ada rombongan warga kembali dari acara pernikahan di Bojonegoro dan Sidoarjo.
Sidodowo memberlakukan penguncian sejak Jumat (4/6/2021) hingga dua pekan mendatang. Aktivitas masyarakat dibatasi hingga pukul 19.00. Warga tidak diperkenankan keluar-masuk daerah kecuali melalui pemeriksaan gugus tugas setempat. Sidodowo juga menempuh penyekatan untuk membatasi mobilitas masyarakat dari dan desa tetangga, yakni Kedungwaras.
”Lockdown terbatas ditempuh dalam prinsip masih berlakunya PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) skala mikro,” ujar Arif. Penguncian untuk Sidodowo diharapkan meredam penularan Covid-19.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menduga kuat peningkatan kasus di Bangkalan dan beberapa wilayah di Jatim dipicu mobilitas masyarakat serta dibarengi kendurnya protokol kesehatan. Selama bulan Mei, pemerintah menerapkan pembatasan mobilitas, bahkan larangan mudik Lebaran. Namun, pelanggaran masih berlangsung dan diperparah dengan kendurnya disiplin protokol kesehatan.
”Mobilitas publik mendorong kerumunan, kontak dekat, dan abai terhadap protokol, terutama soal disiplin bermasker, sehingga memicu penularan yang situasinya terasa dua atau tiga pekan kemudian,” kata Windhu.