Terdapat beberapa pertimbangan untuk melakukan pengembangan pelabuhan di Teluk Balikpapan. Hal itu berkaitan dengan kapasitas pelabuhan, kebutuhan pelayaran, lingkungan hidup, dan transfer moda.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Lebih dari 120 tahun, kawasan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, tak lepas dari eksploitasi manusia. Dengan adanya rencana pemindahan ibu kota, kawasan ini akan menjadi lebih sibuk. Peneliti menganjurkan pemerintah menyiapkan mitigasi serius untuk menekan dampak negatif.
Ibu kota negara akan dipindahkan dari Jakarta ke kawasan yang secara administrasi berada di Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara serta Kecamatan Muara Jawa dan Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ibu kota negara baru ini berada tepat di hulu Teluk Balikpapan.
Dalam catatan sejarah, setidaknya eksploitasi Teluk Balikpapan dimulai pada 1897 saat Belanda melakukan pengeboran minyak perdana di sisi timur teluk. Setelah itu, pengeboran selanjutnya dilakukan. Setelah Indonesia merdeka, industri pengolahan minyak diambil alih negara dan dikelola Pertamina. Hasilnya didistribusikan ke Kalimantan dan Indonesia bagian timur.
Selain itu, di Teluk Balikpapan juga terdapat salah satu terminal batubara terbesar di Indonesia, yakni Balikpapan Coal Terminal. Terminal batubara ini memiliki satu tempat kapal berlabuh dengan dilengkapi dua pemuat tongkang dengan kecepatan gabungan 8.000 ton per jam.
Tak pelak, saat ini mudah sekali melihat lalu lalang kapal minyak, tongkang batubara, hingga kapal crane di perairan Teluk Balikpapan. Selain itu, sejak tahun 1960-an, perusahaan kayu dengan wilayah konsesi ratusan ribu hektar mulai bermunculan di wilayah hulu Teluk Balikpapan.
Ada beberapa mangrove yang memiliki akar pensil untuk bernapas. Saat kena ombak, dia tertutup air, pohonnya bisa mati. (Dhanang Puspita)
Pembangunan pelabuhan juga dilakukan untuk memenuhi kepentingan mobilitas orang dan barang. Di bagian hulu hingga tengah, terdapat Kaltim Kariangau Terminal untuk mengangkut orang dan barang, Pelabuhan ITCI Hutani Manunggal untuk kepentingan perusahaan kayu, dan Pelabuhan ITCI Kartika Utama. Adapun di bagian hilir teluk terdapat Pelabuhan Semayang.
Pembangunan itu membuat tutupan mangrove di Teluk Balikpapan menyusut perlahan seiring pembangunan. Pokja Pesisir, organisasi yang fokus pendampingan nelayan di sekitar Teluk Balikpapan, mencatat, total luas kawasan Teluk Balikpapan lebih dari 180.000 hektar dengan kawasan hutan mangrove sekitar 19.400 hektar. Kawasan mangrove yang masih bagus tersisa sekitar 17.000 hektar, lebih dari 2.000 hektar sudah menurun kualitasnya.
Sejak 23 Mei, arkeolog yang dipimpin Harry Truman Simanjuntak tengah meneliti arkeologi dengan didukung ahli dari berbagai bidang. Salah satu peneliti pendukungnya adalah Peneliti Penyelia Etnobotani, Dhanang Puspita. Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana itu mengatakan sebagian besar Teluk Balikpapan masih bagus dan berhubungan erat dengan satwa serta manusia di sekitarnya.
Untuk manusia, mangrove bisa menyerap karbon 10 kali lebih banyak dibandingkan pohon biasa. Selain itu, terdapat pesut, buaya, hingga bekantan yang bertalian erat dengan hutan mangrove sebagai bagian habitat. Menurut dia, mitigasi di Teluk Balikpapan sangat penting dalam rencana pembangunan ibu kota negara kelak.
”Lalu lintas perairan pasti akan lebih banyak. Imbasnya, ombak akibat lalu lalang kapal akan semakin banyak. Itu bisa berpengaruh ke mangrove. Ada beberapa mangrove yang memiliki akar pensil untuk bernapas. Saat kena ombak, dia tertutup air, pohonnya bisa mati,” ujar Dhanang saat meninjau lokasi di hulu Teluk Balikpapan, Kamis (27/5/2021).
Selain itu, pembangunan dan aktivitas manusia di Teluk Balikpapan bisa mengusik satwa. Dhanang menyebutkan, bisingnya kendaraan dan banyaknya aktivitas lain berpotensi membuat satwa, seperti buaya dan bekantan, bermigrasi ke permukiman warga. Untuk itu, ia menyebutkan, mitigasi dari potensi-potensi itu penting dilakukan.
Menurut data yang dimiliki peneliti Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, konversi mangrove di Teluk Balikpapan pada 1995-2015 sebanyak 780 hektar. Akibatnya, terdapat sedimentasi yang berdampak ke sumber daya ikan dan lamun yang merupakan tempat ikan mencari makan dan perlindungan.
Pencemaran besar juga pernah terjadi akibat kebocoran pipa minyak milik Pertamina tahun 2018. Tumpahan minyak mencemari areal seluas 20.000 hektar dan 300 hektar di dalam Teluk Balikpapan.
”Konsentrasi minyak dua minggu setelah kejadian melewati baku mutu di empat dari sembilan stasiun sampling,” ujar Danielle.
Pemerintah berencana mengembangkan sejumlah pelabuhan di Teluk Balikpapan untuk membawa logistik ketika membangun ibu kota negara. Dalam seminar daring bertajuk ”Sistem Transportasi Cerdas di Ibu Kota Negara: Pembangunan dan Kebutuhan Penerapannya”, Selasa (25/5/2021), Kementerian Perhubungan mempertimbangkan teknologi ramah lingkungan dalam menyediakan transportasi untuk kawasan ibu kota negara.
Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub Agus H Purnomo menjelaskan, pelabuhan yang diproyeksikan menjadi pelabuhan logistik penunjang ibu kota negara ada di Teluk Balikpapan. Pelabuhan itu adalah Kaltim Kariangau Terminal, Pelabuhan ITCI Hutani Manunggal, dan Pelabuhan ITCI Kartika Utama.
Terdapat beberapa pertimbangan untuk melakukan pengembangan pelabuhan di Teluk Balikpapan. Hal itu berkaitan dengan kapasitas pelabuhan, kebutuhan pelayaran, lingkungan hidup, dan transfer moda.
”Terkait lingkungan hidup, Teluk Balikpapan memiliki tutupan mangrove luas dan unik yang juga terdapat satwa khas Kalimantan, yakni bekantan. Pertimbangan lingkungan sangat kami pertimbangkan,” ujar Agus.
Dengan melihat kompleksitas kawasan Teluk Balikpapan, perubahan di teluk itu dalam pembangunan ibu kota negara adalah keniscayaan. Seperti diutarakan Dhanang, kehati-hatian dan mitigasi yang baik adalah kunci menekan dampak buruk dari pembangunan, baik untuk manusia maupun satwa di sekitarnya.