Kasus Kekerasan terhadap Anak di Aceh Utara Berakhir Damai
Kasus kekerasan terhadap MF (13), seorang anak di Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, berakhir damai. Keluarga korban, pelaku, dan aparat desa sepakat menyelesaikannya secara musyawarah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
LHOKSUKON, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap MF (13), seorang anak di Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, berakhir damai. Kasus itu tidak berlanjut ke ranah hukum sebab keluarga korban, pelaku, dan aparat desa sepakat menyelesaikannya secara musyawarah.
Kepala Kepolisian Sektor Jambo Aye Ajun Komisaris Ahmad Yani saat dihubungi, Senin (31/5/2021), menuturkan, pihaknya mempertemukan keluarga korban, pelaku, dan tokoh warga. Karena para pihak sepakat damai, kasus ini tidak ditindak hukum. ”Kami juga tidak bisa proses hukum kalau tidak ada yang melapor,” kata Ahmad.
Kasus kekerasan terhadap MF terjadi pada Rabu (26/5). MF dituduh mencuri tabungan masjid. Seorang perangkat desa, BJ, mengikat tangan dan leher MF kemudian diarak. Video MF dalam keadaan terikat beredar cepat di media sosial.
Ahmad mengatakan, BJ telah meminta maaf. Kepada polisi, BJ mengatakan, ia mengikat tangan dan leher korban sebagai efek jera agar tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Sementara keluarga MF telah mengembalikan uang tersebut kepada pengurus masjid. Besaran uang yang diambil Rp 1,5 juta. Sebagian uang tersebut telah digunakan oleh MF untuk membeli makan. MF adalah anak seorang tukang ojek, keluarga berekonomi lemah.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Aulia, mengatakan, dalam peristiwa itu terdapat dua kasus, yakni anak yang melakukan pencurian dan orang dewasa yang melakukan kekerasan terhadap anak.
Anak sebagai pelaku pelanggaran hukum dapat diselesaikan melalui skema keadilan restoratif (restorative justice), apalagi itu hanya pidana ringan. Namun, orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak termasuk dalam kejahatan berat sehingga harus dihukum.
”Seharusnya tidak perlu menunggu laporan sebab barang bukti video dan saksi cukup untuk memproses pelaku,” kata Aulia.
Aulia mengatakan, anak yang mengalami kekerasan akan menerima dampak jangka panjang. Anak akan tertekan secara psikologis dan cenderung muncul stigma dari lingkungan.
Aulia menambahkan, seharusnya warga tidak merespons pelanggaran hukum dengan kekerasan. Hal itu sama dengan warga menghakimi tersangka di luar pengadilan resmi. ”Ada pengadilan jalanan di luar pengadilan negara,” kata Aulia.
Anak yang menjadi korban kekerasan akan mengalami trauma, tidak percaya diri, dan membatasi diri bergaul dengan lingkungan.
Potret buruk tersebut sering terjadi di Aceh. Saat ada pelanggaran hukum, pelaku dihakimi massa, seperti dipukuli, dipermalukan, dan dimandikan menggunakan air comberan.
Pengajar Ilmu Sosiologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Fajri, mengatakan, anak yang menjadi korban kekerasan akan mengalami trauma, tidak percaya diri, dan membatasi diri bergaul dengan lingkungan. Kondisi ini akan menghambat tumbuh kembang anak.
Fajri mengatakan, anak dari keluarga kelas akar rumput yang minim pendidikan dan berekonomi rendah lebih besar potensinya melakukan pelanggaran hukum. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperbaiki ekonomi dan pendidikan mereka.
Di sini lain, warga yang melakukan kekerasan terhadap pelaku pelanggar hukum biasanya juga dari kalangan kelas bawah. ”Kalau orang berpendidikan dan pengetahuan agamanya bagus, akan lebih bijak merespons persoalan,” kata Fajri.
Menurut Fajri, kedua kasus tersebut tidak masalah diselesaikan melalui musyawarah sesuai dengan kearifan lokal. Namun, dia berharap pemerintah menjamin pendidikan korban, memperbaiki ekonomi keluarga, dan melakukan sosialisasi perlindungan anak kepada warga.