Perkuat Pencegahan Kekerasan pada Anak, Perberat Hukuman Pelaku
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh sejak 2017 hingga 2019, kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 2.692 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan 2017-2019 sebanyak 3.107 kasus.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Para pihak diminta untuk terlibat memperkuat perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak di Provinsi Aceh. Di samping itu, hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak harus diperberat agar ada efek jera.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Koordinasi Lintas Sektor membahas Perlindungan Anak Aceh, Senin (19/10/2020), di aula utama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Rapat dihadiri Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Dahlan Jamaluddin, kepolisian, kejaksaan, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh ulama.
Dahlan Jamaluddin mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak di Aceh cukup tinggi. Kasus pembunuhan dan pemerkosaan di Aceh Timur, perdagangan anak di Pidie, dan kasus pencabulan di Banda Aceh yang terjadi sepanjang September-Oktober hanya beberapa kasus yang mencuat ke publik.
”Kasus di Aceh Timur sangat menyentak kita. Kasus-kasus seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Kita semua harus bergerak untuk melindungi anak dan perempuan,” kata Dahlan.
Kasus di Aceh Timur terjadi pada Sabtu, 10 Oktober 2020, seorang anak RG (9) dibunuh oleh SB (41). Selain membunuh, SB juga memerkosa ibu anak itu, DN (28). Kasus itu sangat mengejutkan publik karena di luar batas nilai kemanusiaan. Namun, SB meninggal di dalam tahanan Polres Langsa sebelum disidang karena sakit.
Dahlan mengatakan, selain perlindungan, hukuman terhadap pelaku juga harus diperberat agar memberikan efek jera. Selama ini, beberapa pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh hanya dihukum cambuk. Menurut Dahlan, hukuman cambuk tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan tidak menghadirkan rasa keadilan bagi korban.
Dualisme regulasi di Aceh menjadi perhatian kita semua. Revisi qanun tersebut akan dikaji. (Dahlan Jamaluddin)
Provinsi Aceh memiliki regulasi khusus, yakni Qanun Jinayah/Perda Syariat Islam yang mengatur tentang sanksi bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Dalam qanun tersebut disebutkan hukuman bagi pelaku adalah cambuk/kurungan/denda. Sementara dalam Undang-undang Perlindungan Anak disebutkan sanksi bagi pelaku adalah penjara.
”Dualisme regulasi di Aceh menjadi perhatian kita semua. Revisi qanun tersebut akan dikaji,” kata Dahlan.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh sejak 2017 hingga 2019 menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak mencapai 2.692 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan 2017-2019 sebanyak 3.107 kasus.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh Syahrul mengatakan, penegakan hukum dan perlindungan terhadap korban masih lemah. Dalam kasus pelecehan yang pelaku dihukum cambuk, menurut Syahrul, itu tidak adil bagi korban.
”Tumpang-tindih regulasi harus diselesaikan. Kami menyarankan agar dalam kasus kekerasan seksual pada anak digunakan UU Perlindungan Anak,” kata Syahrul. Pihaknya juga mendesak Pemprov Aceh agar memberikan hak restitusi bagi anak korban kekerasan seksual.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Komisaris Besar Sony Sanjaya menuturkan, menekan kasus kekerasan pada anak jangan hanya disorot pada penegakan hukum, tetapi juga pada upaya perlindungan. Upaya pencegahan justru lebih penting daripada penegakan hukum.
”Kegagalan dan kelemahan dalam mencegah menjadi masalah serius. Semua harus berperan agar kasus-kasus seperti itu bisa dicegah,” kata Sony.
Sony mengajak keluarga, masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dan lainnya agar terlibat dan berkomitmen melindungi anak dan perempuan dari kasus kekerasan.