Warga Korban Banjir Gugat Pemprov Kalimantan Selatan
Sejumlah warga korban banjir Januari 2021 menggugat Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin. Gugatan dimaksudkan untuk perbaikan tata kelola penanggulangan bencana.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Sejumlah warga korban banjir di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin. Mereka menggugat Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang dianggap lalai menanggulangi banjir.
Sebanyak 53 warga memberikan kuasa kepada Tim Advokasi Hukum Korban Banjir Kalimantan Selatan untuk menggugat Pemprov Kalsel. Warga berasal dari enam kabupaten/kota terdampak banjir, yakni Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Hulu Sungai Tengah, dan Balangan.
Koordinator Tim Advokasi Hukum Korban Banjir Kalsel Muhamad Pazri menyampaikan, ada 18 advokat yang akan memperjuangkan gugatan warga korban banjir. Gugatan telah didaftarkan secara daring melalui layanan e-Court Mahkamah Agung pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin, Jumat (28/5/2021).
”Gugatan didaftarkan ke PTUN Banjarmasin setelah kami melayangkan surat keberatan kepada Pemprov Kalsel dan banding administratif kepada Presiden Republik Indonesia,” kata Pazri di Banjarmasin, Sabtu (29/5/2021).
Advokat dari Borneo Law Firm itu mengatakan, surat keberatan yang dikirim Tim Advokasi Hukum Korban Banjir Kalsel ke Pemprov Kalsel pada 29 Maret 2021 tidak ditanggapi. Selanjutnya, banding administratif kepada atasan Pemprov Kalsel, yakni Presiden RI, yang dilayangkan pada 14 April 2021 juga tidak ditanggapi.
Gugatan akhirnya didaftarkan ke PTUN Banjarmasin dengan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Menurut Pazri, ada tiga substansi gugatan warga terkait tindakan administrasi pemerintah dan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah. Pertama, Pemprov Kalsel tidak memberikan informasi peringatan dini (early warning system) terkait bencana banjir pada Januari lalu.
Kedua, pemprov lambat dalam penanggulangan saat sudah tanggap darurat banjir. Ketiga, pemprov tidak membuat peraturan petunjuk teknis berupa peraturan gubernur tentang penanggulangan bencana di Kalsel. Padahal, pemprov memiliki Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 juncto Perda Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Provinsi Kalsel.
Atas dasar itu, Tim Advokasi Hukum Korban Banjir Kalsel meminta majelis hakim PTUN Banjarmasin menghukum Pemprov Kalsel untuk menerbitkan Peraturan Gubernur tentang Penanggulangan Bencana Banjir dari Perencanaan, Adaptasi Bencana, Mitigasi Bencana, dan Kelembagaannya.
Pemprov Kalsel juga harus dihukum melakukan evaluasi sistem informasi peringatan dini dan tanggap darurat bencana di Kalsel. Selanjutnya, dihukum untuk mengevaluasi perizinan pertambangan dan evaluasi pengelolaan kegiatan pertambangan, serta penegakan hukum lingkungan hidup di Kalsel.
”Pemprov Kalsel juga harus dihukum membayar kerugian material yang dialami 53 warga korban banjir yang mengajukan gugatan, yakni sebesar Rp 890.235.000,” kata Pazri.
Bertanggung jawab
Banjir di Kalsel pada Januari 2021 disebut-sebut sebagai bencana besar yang belum pernah dialami dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun. Bahkan, Pemprov Kalsel menyebut banjir besar ini merupakan siklus 100 tahun sekali karena pernah terjadi pada 1928 di Hulu Sungai Tengah. Banjir melanda 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel.
Pos Komando Tanggap Darurat Banjir Provinsi Kalsel pada 8 Februari 2021 mencatat, sebanyak 102.340 rumah penduduk terendam dan 176.290 keluarga atau 633.723 jiwa terdampak banjir. Jumlah warga yang harus mengungsi mencapai 135.656 jiwa. Bencana banjir juga mengakibatkan 35 orang meninggal.
Berdasarkan rekapitulasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalsel, nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana banjir dan tanah longsor di Kalsel pada Januari lalu mencapai Rp 2,69 triliun. Nilai tersebut dihitung dari sektor permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan lintas sektor.
Menurut Pazri, Pemprov Kalsel adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kejadian bencana tersebut. ”Tujuan kami mengajukan gugatan ini bukan untuk menang, tetapi perbaikan tata kelola penanggulangan bencana ke depan,” ujarnya.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hairansyah, dalam diskusi dengan topik ”Class Action Banjir Kalsel: Pentingkah?” pada Maret 2021 mengatakan, dalam setiap kejadian bencana tidak bisa hanya alam yang disalahkan. Dalam hal ini selalu ada tindakan atau kebijakan yang menyebabkan alam atau lingkungan hidup menjadi bermasalah.
”Ketika terjadi bencana, dugaan pelanggaran HAM sangatlah banyak, termasuk hak hidup. Karena itu, gugatan class action penting bagi warga untuk memperjuangkan haknya dan turut serta mengawasi kinerja pemerintah,” kata Hairansyah, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM yang juga Komisioner Mediasi Komnas HAM itu.
Menanggapi adanya gugatan class action yang diajukan warga korban banjir ke PTUN Banjarmasin, Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Kalsel Mujiyat hanya memberikan respons singkat saat dihubungi. ”Ya, nanti biar tim (Biro Hukum) yang membahasnya,” kata Mujiyat.