logo Kompas.id
NusantaraBanjir Besar di Kalsel, Potret...
Iklan

Banjir Besar di Kalsel, Potret Suram Kerusakan Alam

Ratusan ribu warga terdampak banjir besar di Kalimantan Selatan dalam dua pekan terakhir. Selain hujan ekstrem, bencana turut dipicu faktor kerusakan alam Borneo.

Oleh
Jumarto Yulianus/Dionisius Reynaldo Triwibowo/Ahmad Arif/Pradipta Pandu Mustika
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/MxGiOSIGHN-iG7UTfoBnQeMYN0A=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fcd2eeefb-575e-4574-bdf6-f9d18a0840dd_jpg.jpg
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Warga Kota Banjarmasin menggunakan perahu saat melintasi permukiman mereka di Kelurahan Sungai Lulut, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (24/1/2021). Hampir dua pekan permukiman warga di tepian Sungai Lulut, anak Sungai Martapura, itu dilanda banjir dan air belum juga surut.

BANJARMASIN, KOMPASBanjir besar di Kalimantan Selatan pada awal tahun ini disinyalir tidak hanya dipicu hujan ekstrem, tetapi juga akibat rusaknya daerah tangkapan air. Di wilayah hulu, degradasi hutan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan monokultur sudah berlangsung lama. Sementara di bagian hilir terjadi alih fungsi lahan menjadi permukiman.

Banjir melanda 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalsel, sebagian di antaranya berlangsung selama dua pekan terakhir, dengan ketinggian air hingga lebih dari 1 meter. Hanya Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru yang tidak terdampak.

Hingga Minggu (24/1/2021) sore, Posko Tanggap Darurat Banjir Kalsel mencatat 712.129 jiwa terdampak banjir, 113.420 di antaranya mengungsi, serta sebanyak 24 orang tewas dan 3 orang hilang.

https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/01/20210124-H01-DMS-hutan-kalimantan-mumed_1611508496.gif

Banjir merendam 122.166 rumah, 609 tempat ibadah, dan 628 sekolah. Beberapa infrastruktur jalan dan jembatan juga rusak. Sekitar 46.235 hektar sawah terendam banjir. Selain itu, sebanyak 8.817 pembudidaya ikan juga terdampak banjir dengan kerugian mencapai Rp 93,68 miliar dan sektor kehutanan pun terdampak banjir dengan kerugian sekitar Rp 1,45 miliar. Belum ada perhitungan total kerugian banjir, tetapi diperkirakan ratusan miliar rupiah hingga triliunan rupiah.

Banjir di Kalsel tidak lepas dari hujan ekstrem. Mengacu data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan dengan intensitas tinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin pada 10-15 Januari 2021 dengan intensitas harian berturut-turut 125 milimeter (mm), 30 mm, 35 mm, 51 mm, 249 mm, dan 131 mm.

Baca juga : Penyebab Banjir di Kalsel Dikaji

https://cdn-assetd.kompas.id/qDEVJsDUiqyOT32AB7oo2ZGIDKI=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fb31a1975-68cb-4ae3-9222-e324b97ace37_jpg.jpg
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Warga Kelurahan Sungai Lulut, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan masih mengungsi di Masjid Baiturrahman, Minggu (24/1/2021). Hampir dua pekan permukiman warga di tepian Sungai Lulut, anak Sungai Martapura, itu dilanda banjir dan air belum juga surut. Warga Banjarmasin yang mengungsi akibat banjir mencapai 8.799 orang.

Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, intensitas hujan di Kalsel ini merupakan yang tertinggi dalam catatan sejarah. Anomali hujan ekstrem dipicu fenomena La Nina yang memicu pergerakan suplai uap air dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat dan meningkatkan awan hujan di wilayah Indonesia di bagian tengah, termasuk di Kalsel.

Sekalipun curah hujan cenderung ekstrem,  menurut Siswanto, eskalasi bencana juga sangat ditentukan kapasitas lingkungan. ”Banjir ini karena banyak faktor, tetapi terutama karena kesetimbangan air sudah terganggu akibat ulah manusia,” katanya.

Senada, Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang Sudharto P Hadi menyatakan, tingginya curah hujan menjadi salah satu faktor penyebab banjir di Kalsel. Namun, aliran air yang terakumulasi menjadi banjir itu dipicu penurunan daya serap permukaan tanah. ”Penurunan daya serap permukaan tanah disebabkan alih fungsi lahan hutan untuk  perkebunan kelapa sawit dan pertambangan,” ujarnya.

Meskipun curah hujan tinggi, menurut dia, banjir tidak akan separah sekarang jika tutupan hutan di Kalsel masih luas. Sebab, salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air sehingga sebagian air hujan yang turun akan terserap ke dalam tanah.

Penurunan daya serap permukaan tanah disebabkan alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Deforestasi di Kalimantan terjadi selama puluhan tahun. Hampir tujuh dekade, deforestasi nyaris separuhnya. Jika luas tutupan hutan Borneo pada 1950 mencapai 51,5 juta hektar, kini tersisa 26,7 juta hektar. Khusus Kalsel, luas tutupan hutan juga menyusut, dari 1,18 juta hektar pada 2005 menjadi 0,92 juta hektar pada 2019.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/uA0qxGO7Tbn7pHjPASBG2u37cY0=/1024x2385/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F20210119-HKT-Penyusutan-Hutan-mumed-01_1611075616.jpg

Kordinator Informasi Geospasial Tematik Bidang Kebencanaan Badan Informasi Geospasial (BIG) Ferari Pinem mengatakan, wilayah Kalsel dari aspek morfometri dan morfologi memang rentan banjir. Perubahan guna lahan menambah kerentanan itu sehingga ketika terjadi hujan ektrem, risiko banjir meluas seperti terjadi saat ini.

”Jadi, tidak ada faktor tunggal. Kalau morfometri dan morfologi mungkin relatif minim perubahan, yang mungkin berubah dan bisa dibenahi adalah tata guna lahan dan tutupan,” katanya.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  RM Karliansyah dalam pertemuan pers daring, pekan lalu, mengatakan, lokasi banjir Kalsel terjadi di sepanjang daerah aliran Sungai Barito. ”Memang, dari evaluasi yang ada, kondisi infrastruktur ekologisnya, yaitu jasa lingkungan pengatur air, sudah tidak memadai sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air masuk,” katanya.

Memang, dari evaluasi yang ada, kondisi infrastruktur ekologisnya, yaitu jasa lingkungan pengatur air, sudah tidak memadai sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air masuk.

Faktor ekologis yang turut memicu banjir besar Kalsel tecermin kondisi kerusakan lingkungan saat ini. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat sebanyak 814 lubang tambang di Kalsel, baik yang masih aktif digunakan maupun yang ditinggalkan tanpa ditutup. Selain itu, 700 hektar lahan tambang tumpang-tindih dengan permukiman warga, 251.000 hektar pertambangan berada di kawasan pertanian dan ladang, dan seluas 464.000 hektar pertambangan berada di kawasan hutan.

Baca juga : Lubang Tambang di Hulu Sungai Martapura Masih Menganga

https://cdn-assetd.kompas.id/RO4ULnjQjM93MI2MNZ-V0XCqw5Y=/1024x575/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F035336cb-34fc-4cd8-ae30-a9b2cddb7729_jpg.jpg
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Sebuah batu runtuh dari ujung tebing di lubang bekas tambang sehingga menimbulkan riak dan bunyi seperti dentuman, di Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (22/1/2021). Lubang tambang di Kalsel yang penuh dengan izin pertambangan masih banyak yang belum direklamasi.

Lubang tambang salah satunya dijumpai di hulu Sungai Martapura, anak Sungai Barito. Berdasarkan penelusuran Kompas, beberapa hari terakhir, di Kabupaten Banjar, tepatnya di Desa Pengaron, Lubang Baru, Maniapun, di Kecamatan Pengaron, serta Desa Simpang Empat di Kecamatan Simpang Empat, terdapat banyak lubang tambang yang dibiarkan menganga.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menyatakan, saat di kawasan hulu sungai ”dihajar” tambang, bagian hilir yang sebagian besar merupakan kawasan hidrologis gambut perlahan diganti perkebunan sawit. Hal ini, di antaranya, terjadi di Kabupaten Tapin, Kalsel, yang juga menjadi hulu Sungai Barito dan Martapura.

Momen perbaikan

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kamis (21/1/2021), berharap banjir di Kalsel menjadi momen untuk lebih menata lingkungan. ”Ini saatnya membuat koreksi radikal terhadap tata lingkungan dan tata tanah karena bencana dimulai dari pengelolaan tanah yang tidak bijak,” katanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/jsgfVZUGd15kbzJE5GR602t0XfU=/1024x575/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F978d2e7b-5c18-45cd-ba26-8f20fa6074c4_jpg.jpg
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Zahrani (43), warga Simpang Empat, Kabupaten Banjar, Kalsel, pasrah melihat rumahnya yang tergerus oleh derasnya luapan aliran Sungai Martapura,  Jumat (22/1/2021).

”Kalimantan dengan kekayaannya memang menjadi incaran banyak orang. Jangan sampai kekayaan dikeruk demi keuntungan sekelompok orang, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat banyak,” ujarnya.

Ini saatnya membuat koreksi radikal terhadap tata lingkungan dan tata tanah karena bencana dimulai dari pengelolaan tanah yang tidak bijak.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalsel Hanifah Dwi Nirwana mengatakan, pihaknya tengah mengkaji lebih mendalam faktor penyebab banjir guna mencari solusi ke depan.

”Seluruh elemen dan komponen bisa bekerja bersama agar ke depannya tidak akan ada kejadian sedramatis sekarang ini,” katanya.

Baca juga : Akses Desa Terisolasi Banjir Mulai Terbuka Ancaman Masih Ada

Editor:
wahyuharyo
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000