Mulut Lubang Tambang di Hulu Sungai Martapura Masih Menganga
Bagian hulu Sungai Martapura rusak berat karena masih banyak lubang bekas tambang yang belum ditutup. Perbaikan lingkungan di hulu sungai akan mengurangi potensi bencana di hilir.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
MARTAPURA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan pada hulu sungai di Kalimantan Selatan mendesak dibenahi. Di Pengaron, bagian hulu Sungai Martapura yang meluap, lubang bekas tambang justru dijadikan destinasi wisata. Reklamasi pun belum tuntas.
Banjir di Kalimantan Selatan, dari laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalsel, berdampak pada terendamnya 66.768 rumah dan membuat 63.608 warga mengungsi. Banjir kali ini juga merenggut nyawa 21 orang dan hingga kini terdapat enam orang yang dilaporkan hilang.
Banjir besar itu merendam 11 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Hingga kini, dari pantauan Kompas di lapangan banjir dan genangan air di sejumlah wilayah belum surut.
Tingginya curah hujan membuat sungai-sungai meluap hingga merendam Kota Banjarmasin, hal yang sebelumnya jarang terjadi. Sungai-Sungai yang meluap itu adalah Sungai Martapura dan Sungai Barito.
Kompas mencoba menelusuri bagian hulu Sungai Martapura di Desa Pengaron, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel. Di lokasi itu, masih terdapat bekas lubang tambang yang belum ditutup atau direklamasi.
Untuk menuju lokasi tambang dari Kota Banjarbaru, membutuhkan waktu normal 1,5 jam, tetapi karena jembatan yang putus baru diperbaiki, perjalanan bisa menjadi lebih lama dengan jarak mencapai 65 kilometer. Sampai di Kecamatan Pengaron, lubang tambang pertama bisa dilihat karena memang terdapat plang destinasi wisata di pinggir jalan dengan tulisan Wisata Alam Danau Biru Pengaron. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari Sungai Martapura.
Masuk ke Danau Biru Pengaron itu harus melewati jalan bekas tambang yang berlumpur sepanjang 4 kilometer. Saat musim hujan seperti ini, warga sekitar akan mengingatkan untuk tidak ke sana lantaran longsor dan jalan yang buruk.
Terdapat papan informasi reklamasi di mana luas 0,3 hektar atau di sekitar lubang bekas tambang itu sudah ditanami 225 pohon sengon dan 110 pohon galam.
Sampai di lokasi, setidaknya terdapat empat lubang bekas tambang dengan ukuran sangat besar berbentuk oval. Di pinggirannya terdapat tebing curam yang pada Jumat siang saat dikunjungi Kompas sempat longsor di bagian ujung atas dan menimbulkan bunyi seperti letupan saat menghantam air biru di bawahnya.
Jaelani (57), warga Desa Pengaron, mengatakan, di Kecamatan Pengaron tambang sudah beroperasi belasan tahun. Ia pun tak mengingat kapan pertama kali tambang datang. Tapi ia ingat tahun 1979 sebuah perusahaan kayu datang dan menghabisi hutan di Bukti Hayuti lalu mereka pergi dan diganti tambang.
”Banjir di sini sebenarnya hampir setiap tahun terjadi. Banjir bulan ini saja sudah dua kali, tetapi baru kali ini kami sampai terisolasi,” kata Jaelani.
Jaelani mengungkapkan, sejak menjadi destinasi wisata memang mendatangkan keuntungan bagi warga sekitar karena banyak yang berjualan di sana di saat ramai. Namun, di musim hujan biasanya tidak ada pengunjung. Lokasi wisata itu bukan satu-satunnya lubang bekas tambang yang ada di desanya.
Banjir di sini sebenarnya hampir setiap tahun terjadi. Banjir bulan ini saja sudah dua kali, tetapi baru kali ini kami sampai terisolasi.
Pengaron memang dikenal dengan sejarah pertambangan. Di tempat ini masih terdapat bekas bangunan bentang zaman Belanda yang menjaga wilayah pertambangan mereka pada 1859.
Di Desa Maniapun dan sekitarnya, terdapat setidaknya dua bekas lubang tambang dan bahkan masih ada aktivitas pertambang. ”Di desa kami juga masih ada perusahaan, jadi jembatan besar di depan itu jalan truk pengangkut batubara,” kata Jaelani.
Hal serupa juga disampaikan Muhammad Sani (48), warga Desa Lobang Baru. Menurut dia, banjir kali ini parah lantaran di hulu dekat perbukitan dan gunung-gunung sudah tidak ada lagi hutan karena dibabat perusahaan kayu puluhan tahun lalu. ”Ayah saya dulu kerja di sana juga, diupah harian,” ujarnya.
Saat Kota Banjarmasin dan sekitarnya baru merasakan banjir selama satu minggu, baik Jaelani maupun Sani dan juga masyarakat di hulu Sungai Martapura sudah merasakan banjir sejak sebulan lamanya.
”Banjir pertama tidak membuat kami mengungsi, banjir berikutnya yang parah sekali,” kata Muhammad Sani.
Baik Muhammad Sani maupun Jaelani berharap, wilayah yang menjadi lubang bekas tambang pun hutan yang dibabat bisa kembali menjadi hutan. Mereka percaya hutan mampu menahan tingginya curah hujan.
Dari catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), untuk tambang saja terdapat 789 izin pertambangan batubara, dengan rincian 553 izin belum clean and clear (non-CnC), sisanya 236 izin berstatus CNC. Luasnya mencapai lebih kurang 1,2 juta hektar dari luas Kalsel yang hanya 3,7 juta hektar.
Menjawab persoalan lingkungan itu, sebelumnya, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Roy Rizali Anwar menjelaskan, di sekitar Sungai Barito setidaknya terdapat 168 lubang bekas tambang yang terungkap dalam konsultasi publik yang dibuat pihaknya. Menurut dia, pemerintah bakal menyiapkan usulan ke pemerintah pusat untuk menerbitkan kebijakan penanganan setelah penambangan.
”Kami akan mengambil langkah-langkah ke depan, tetapi saat ini fokusnya di penanganan dulu,” kata Roy.