Surabaya mengembangkan sentra wisata kuliner bukan sekadar wadah UMKM. Keberadaan SWK menjadi pijakan program pembangunan, penataan, dan pemberdayaan agar kota metropolitan ini tertib, nyaman, dan membahagiakan warganya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
Jelang buka puasa pada awal Mei 2021, dari Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, supercar Lamborghini melaju menuju Sentra Wisata Kuliner Wiyung. Di dalam mobil sport mewah, jantung Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berdetak kencang. Padahal, si pemilik, Melvin Tenggara (29), tidak sedang menggeber ”jet darat” abu-abu metalik itu.
Saat Lamborghini itu berhenti dan parkir di Sentra Wisata Kuliner (SWK) Wiyung, perhatian sebagian pengunjung tertuju pada mobil mewah itu. Eri dan Melvin segera keluar dari mobil, mencari tempat duduk, dan memesan makanan serta minuman.
Melvin, pengusaha muda Surabaya itu, memesan dan menikmati nasi goreng Jawa, iga bakar, dan pisang keju. Pemuda yang dijuluki sebagai salah satu ”crazy rich” alias superkaya di Surabaya itu menikmati hidangan seharga Rp 15.000-Rp 30.000 per porsi. Bagi dia, makanan itu enak, harganya sangat terjangkau. Tempatnya pun bersih dan nyaman.
”Ada penerapan protokol kesehatan, jadi aku merasa aman makan di sini. Tempat parkirnya juga oke, Lamborghini aku bisa parkir,” katanya.
Melvin, lulusan beberapa universitas di Indonesia dan luar negeri itu, mengaku baru tahu saat mencoba makan di SWK Wiyung. ”Kita punya kesempatan untuk berkontribusi bagi ekonomi masyarakat dengan datang ke SWK. Tempat ini aman, lho, dan mungkin belum banyak yang tahu,” ujar Melvin yang sempat menghebohkan warga Surabaya dengan menyumbang beribu-ribu kelengkapan penanganan pandemi Covid-19 kepada pemerintah pada Agustus 2020.
”Aku berharap makin banyak yang datang dan menikmati SWK sehingga perekonomian yang terlibat di sini bergerak dan berkembang,” imbuhnya.
Di hari-hari berikutnya, Eri mengajak influencer atau pemengaruh lain untuk mengunjungi sejumlah SWK. Harapannya, kalangan pesohor di media sosial itu dapat mempromosikan keberadaan SWK yang menampung pengelola usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) makanan-minuman.
Keberadaan 42 SWK kian mewarnai wajah Surabaya, selain ratusan tamannya. Pusat jajan ini bakal dibangun di tiap kelurahan untuk menampung sejumlah UMKM. SWK menampung pengasong makanan-minuman yang sebelumnya berada di jalan yang mungkin mengganggu kenyamanan masyarakat. Dengan terkonsentrasi di suatu wilayah, UMKM makanan-minuman diharapkan dapat dikelola, diawasi, dan dikembangkan dengan baik.
Aku berharap makin banyak yang datang dan menikmati SWK sehingga perekonomian yang terlibat di sini bergerak dan berkembang.
Di SWK dijual aneka makanan-minuman tradisional, modern, khas, umum, lokal, dan atau internasional. Ada penjual rawon, pecel, lontong balap, rujak cingur, tahu campur, hingga kuliner Korea, Jepang, dan Eropa. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, eksistensi SWK benar-benar diuji. Sebelum pandemi, rata-rata perputaran satu bulan di SWK mencapai Rp 50 juta-Rp 200 juta per pedagang. Saat pandemi ini, omzet turun sampai 70 persen.
”Pengusaha harus berusaha sekuat tenaga agar sentra terus dikunjungi meski saat ini juga perlu disiplin protokol kesehatan,” kata Sulistyaningsih (50), pengusaha makanan-minuman di SWK Jambangan. Kualitas makanan, harga, kebersihan lokasi, keramahan, dan kenyamanan menjadi penting bagi pengusaha UMKM agar SWK yang ditempati terus dikunjungi.
Keberadaan SWK setidaknya mencerminkan keinginan Pemerintah Kota Surabaya untuk mewujudkan kota metropolitan yang nyaman dan tenteram bagi warganya. Surabaya yang mulai dikenal karena taman, pohon, trotoar, museum, serta kebersihannya ke depan juga ingin tersohor sebagai surga belanja dan kuliner.
Memasuki hari jadi ke-728, Kota Surabaya terus berbenah. Kota ini diyakini ada pada 31 Mei 1293, mengacu pada peristiwa kemenangan laskar Singhasari pimpinan Raden Wijaya atas tentara Mongol di wilayah yang diyakini sebagai Surabaya.
Surabaya yang dulu sekadar kampung niaga Peneleh berkembang menjadi salah satu sentra peradaban Nusantara. Salah satu penandanya, syiar agama Islam oleh Sunan Ampel di Surabaya pada abad ke-15.
Seiring perjalanan waktu, Surabaya menjadi bandar yang sibuk untuk jalur rempah Nusantara. Sejak abad ke-19, Belanda menjadikan Surabaya pusat maritim Asia.
Surabaya yang berada di jalur pantai utara Jawa, di tepi Selat Madura, membuat masyarakatnya secara sosiologis memiliki karakter terbuka dan demokratis. Surabaya turut menjadi Nusantara mini atau tempat pertemuan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dengan rekam jejak panjang, tidak keliru jika Surabaya menjadi salah satu kota yang cukup banyak dikunjungi wisatawan. Pembenahan terus dilakukan untuk menggaet wisatawan, termasuk SWK yang diinisiasi Tri Rismaharini sekitar satu dekade silam, saat ia menjabat Wali Kota Surabaya.
Eri Cahyadi pun ingin melestarikan SWK sebagai salah satu wadah bagi rakyat menggerakkan perekonomian untuk menjadi berdaya dan sejahtera. Selain itu, SWK bisa menjadi sarana pengembangan masyarakat yang dapat terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Sentra wisata kuliner akan menjadi salah satu pintu bagi kami untuk menjadikan Surabaya yang tertib, nyaman, dan membahagiakan warganya.
SWK sedang diupayakan untuk menjadi khas atau berbeda satu dengan lainnya. Sentra Ikan Bulak, misalnya, akan dikembangkan sebagai ”surga” jajanan pangan bahari. Dengan begitu, keberadaannya diharapkan akan selalu dikangeni, didatangi, dan bertahan lalu berkembang.
Pengembangan SWK terus dilakukan, salah satunya lewat program pendampingan pakar kuliner ke SWK. Pendampingan oleh juru masak kompeten itu untuk memastikan bahwa kuliner yang diperdagangkan berkualitas bintang lima atau memuaskan, tetapi berharga kaki lima alias sangat terjangkau.
Ada pula program pelatihan pengelolaan keuangan UMKM. Program ini untuk menekan risiko kebangkrutan UMKM. Setiap SWK berada dalam satu koperasi yang akan dipantau kinerjanya oleh Pemkot. Penurunan omzet segera dicari masalahnya dan diatasi. Jika perlu perubahan, revitalisasi prasarana dan sarana, misalnya, harus ditempuh untuk memuaskan pelanggan.
Di sisi lain, jumlah SWK akan ditambah setidaknya sampai menyamai jumlah 154 kelurahan. SWK bisa menjadi wadah bagi semua pengasong makanan-minuman. Dengan begitu, mereka tidak kembali ke jalan yang rentan dan banyak risiko, antara lain kecelakaan, keamanan pangan, kebersihan, dan tekanan perekonomian.
”Sentra wisata kuliner akan menjadi salah satu pintu bagi kami untuk menjadikan Surabaya yang tertib, nyaman, dan membahagiakan warganya,” ujar Eri.